BREAKING NEWS
latest

728x90

Ads

468x60

header-ad

Fokus Mingguan

Slider
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Penalaran Dalam Logika: Mengenal Tentang Kegiatan Akal Budi



Istilah “penalaran” adalah sebuah kata yang dalam bahasa Inggris disebutkan dengan “reasoning”, dan dalam bahasa Belanda adalah “redenering”. Dalam logika, penalaran adalah unsur paling terpenting. Mengapa? Sebab penalaran merupakan kegiatan akal budi dalam melihat dan memahami proposisi, yang berdasarkan pemahaman tentang proposisi itu maka akal budi memunculkan proposisi yang baru. 

Jadi, kegiatan berpikir terwujud dalam proses akal budi yang berupa gerakan satu pikiran kepada pikiran lain dengan cara "menalar". Maka penalaran adalah proses dalam akal budi yang berupa kegiatan menghubungkan satu pikiran dengan pikiran-pikiran lain, untuk menarik sebuah kesimpulan (Sidharta Arief, 2010). 

Hal yang sama ditegaskan oleh Daito Apollo (2011), bahwa penalaran adalah proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu bisa mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir harus dilakukan dengan cara tertentu. Pada dasarnya, terdapat dua cara untuk bisa mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu dengan rasio berdasarkan pengalaman. Kaum rasionalime mengembangkan diri melalui rasio, sementara kaum empiris mengembangkan diri melalui pengalaman. 

Berdasarkan uraian kedua ahli di atas, maka penalaran adalah proses berpikir dalam bentuk kegiatan yang menghubungkan pikiran-pikiran untuk memunculkan kesimpulan. Atau dengan kata lain, proses berpikir dengan rangkaian pernyataan yang tertata dan tersusun dengan cara tertentu untuk menyimpulkan sesuatu hal. 

Setiap penalaran memiliki struktur berupa pernyataan (premis dan argumen). Pernyataan itu kemudian di olah nalar, sebelum menghasilkan kesimpulan. 

Sedangkan suatu kesimpulan akan dianggap valid jikalau proses penarikan kesimpulan itu dilakukan dengan cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan inilah yang disebutkan sebagai logika. 

Contoh penalaran sbb: 
~ Semua manusia akan mati
~ Jefri adalah manusia 
~ Jadi, Jefri akan mati 

~ Singa adalah binatang 
~ Binatang adalah makhluk hidup
~ Jadi, Singa adalah makhluk hidup 

~ Beberapa Yamaha adalah motor 
~ Beberapa motor adalah Honda 
~ Jadi, beberapa Honda adalah Yamaha 

~ Beberapa tanaman adalah bunga 
~ Beberapa bunga adalah objek berwarna merah 
~ Jadi, beberapa tanaman adalah objek berwarna merah 

Oleh: Abdy Busthan

Bagaimana Hubungan antara Isi dengan Luas Pengertian dalam Logika



Dalam ilmu logika, komprehensi adalah isi dari sebuah pengertian. Sedangkan eksistensi adalah luasnya pengertian. Isi pengertian (komprehensi) adalah semua unsur yang termuat dalam pengertian. 

Isi (komprehensi) dan luas (eksistensi) pengertian akan tergantung pada cakupan pengertian dari hal yang ditangkap dalam pengertian itu sendiri. 

Misalnya, tangkapan pengertian kita terhadap monyet, maka pasti memiliki luas pengertian yang akan lebih sempit daripada tangkapan pengertian kita tentang binatang (Monyet adalah jenis binatang). 

Dalam hal ini, luas pengertian (eksistensi) pada binatang, lebih besar dari pada luas pengertian pada monyet. Tetapi isi pengertian (komprehensi) pada monyet lebih besar dari pada isi pengertian pada binatang. 

Artinya bahwa kita lebih jelas memahami apa yang ditunjuk oleh monyet karena luasnya lebih terfokus, dibandingkan dengan yang ditunjuk oleh binatang yang kurang terfokus. Inilah perbedaan isi dan luas pengertian, atau dengan istilah logika, seperti judul di atas, yakni: perbedaan antara komprehensi dengan eksistensi.

Bandingkan dengan hal lainnya. Ketika saya berdiri dipinggir pelabuhan Sambabusa Nabire, saya melihat di satu batas cakrawala ada satu titik kecil. Saya tidak bisa mengidentifikasi dengan jelas benda apakah itu, karena jaraknya sangat jauh (artinya eksistensinya besar). Tetapi ketika benda itu (titik kecil tadi) semakin dekat, berarti eksistensinya makin kecil, maka pengertian saya tentang titik kecil itu semakin jelas. Ternyata titik itu adalah sebuah kapal KM Tidar. 

Jadi, setelah kapal itu semakin dekat, berarti eksistensinya semakin kecil, tangkapan (komprehensi) saya tentang kapal itu semakin jelas sekali, bahwa ternyata itu adalah kapal KM. Tidar. 

Nah, dari contoh di atas, maka menjadi jelaslah apa yang menjadi prinsip hubungan antara eksistensi (luas pengertian) dan komprehensi (isi pengertian). Bahwa, makin besar komprehensi, makin kecil eksistensi. Dan sebaliknya, makin besar eksistensi maka makin kecil komprehensinya. 

Salam Logici, 
Wassalam..Hormat di bri 
Oleh: Abdy Busthan

Analogi Induktif: Mengenal Prinsip Dasar dan Penyimpulan Argumen Analogi


Inti dari argumen induktif adalah analogi. Yaitu kegiatan membanding-bandingkan dua hal atau lebih, dimana masing-masing bisa terwujud dalam bentuk proposisi-proposi partikular atau pun singular. Sehingga berdasarkan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan yang ditemukan, maka bisa ditarik kesimpulan tertentu.

Jadi, jenis argumen induktif pada umumnya mengandalkan analogi. Mengapa? Sebab analogi adalah landasan umum yang dapat digunakan untuk menyimpulkan pengalaman masa lalu yang sudah pernah dialami sebelumnya, kepada masa yang akan terjadi di kemudian hari (baca:masa datang).

Misalnya, di masa yang lalu, kita pernah dicurangi oleh cewek A, maka masa ke depannya, tingkat kepercayaan kita kepada cewek A tentu akan berkurang. Apa yang menyebabkan berkurang? Karena kita menganaloginya dari apa yang pernah terjadi sebelumnya (bukan belum).

Sehingga dapat dipahami bahwa, yang menjadi titik perhatian dalam analogi induktif adalah hal-hal yang analog (bisa dianalogikan, karena sudah terjadi dan sudah pernah dialami sebelumnya). Atas dasar ini, maka kesimpulan dapat ditarik untuk hal atau individu lain yang sifatnya analog dengan apa yang sudah dialami. Ini penting dalam metode induktif!

Misalnya, Markus sedang dekat dengan seorang cewek asal Papua bernama Florensia. Dimana sebelumnya, Markus juga pernah mengenal dan dekat sekali dengan empat orang cewek dari Papua. Berdasarkan apa yang sudah pernah dialami oleh Markus sendiri, maka, cewek pertama bernama Yakomina baik dan sabar; cewek kedua bernama Penina baik dan sabar; cewek ketiga bernama Yakoba sabar; cewek keempat bernama Magdalena sabar dan penyayang. 

Maka kesimpulan yang dapat dilambil oleh markus adalah: 
  • Yakomina cewek asal Papua, baik dan sabar
  • Penina cewek asal Papua, baik dan sabar
  • Yakoba cewek asal Papua, baik dan sabar
  • Magdalena cewek asal Papua, baik dan sabar
  • Maka, Florensia cewek asal Papua, adalah baik dan sabar
Berdasarkan analogi dari empat cewek sebelumnya, Markus bisa menyimpulkan bahwa Florensia adalah cewek yang baik dan penyabar. Inilah prinsip dasar utama dan pertama dalam melakukan penyimpulan-penyimpulan induksi, yaitu analogi induktif

Semoga Bermanfaat, 
Wassalam..Hormat di Bri
Oleh: Abdy Busthan

Sumber Buku:
Busthan Abdy (2019). Pendidikan Logika: Konsep Dasar Berlogika. (Hal 102-103). Kupang: Desna Life Ministry

Realisme Pendidikan:Implikasi Filsafat Realisme dalam Pendidikan



Berdasarkan asal-usul bentuk kata (secara etimologi), istilah 'realisme' berasal dari bahasa Latin: ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh atau nyata dan benar”. Sehingga dalam hal ini realisme dikategorikan sebagai kajian filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal yang nyata dan dapat dikenali. 

Realisme berpandangan bahwa suatu objek dari persepsi indrawi dan pengertiannya, memang sungguh-sungguh ada. Dalam pemahaman bahwa terlepas dari indra dan akal budi yang menangkapnya, maka objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat.

Para penganut realisme mengakui bahwa seseorang bisa salah melihat benda-benda atau bisa saja ketika ia melihat, ia akan terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Yang sebenarnya mereka juga paham terdapat benda yang dianggap mempunyai wujud tersendiri, yaitu benda yang tetap, kendati bisa diamati. 


Karenanya, sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa ‘yang ada’, dan yang ditangkap oleh pancaindra, serta yang konsepnya terdapat dalam akal budi, itu memang nyata adanya. Misalnya: 
  1. Kaki yang tersandung batu yang ada di jalan yang baru dialami, memang ada.
  2. Bunga mawar yang bau harumnya hingga merangsang hidung, sungguh-sungguh nyata dan ada pada ranting pohonnya di taman bunga.
  3. Kucing yang dilihat mencuri ikan di atas meja makan, betul-betul ada dan hidup dalam rumah keluarga itu.

Jadi, realisme sebagai salah satu aliran filsafat yang memandang bahwa dunia materi diluar kesadaran, tetap ada sebagai sesuatu yang nyata dan penting untuk dikenal dengan mempergunakan intelegensi.

Objek indra adalah sesuatu yang real, yaitu benda-benda ada, yang adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu diketahui ada, atau dipersepsikan ada, atau ada hubungannya dengan pikiran manusia.

Menurut realisme, hakikat kebenaran itu berada pada kenyataan alam dan bukan pada ide atau jiwa seperti yang dikatakan kaum idealis. Zat merupakan dasar segala benda, yang disebut Ari
stoteles sebagai asas potensial, karena zat itu bisa menjadi apa saja. Zat dan bentuk harus dapat dipisahkan. Akan tetapi dalam dunia ini, keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, dunia bukanlah yang samar tetapi nyata dan di alami. 

Realisme yang berlandaskan ilmu pengetahuan memandang dunia yang diibaratkan seperti mesin yang tidak terjadi secara kebetulan saja, tetapi sengaja dibuat. 
Manusia dalam hal ini adalah pengamatnya. Apabila pengamatannya menjadi berguna, bernilai dan bertujuan, maka ia dapat dikatakan sebagai ilmuan. Dan keteraturan dapat dilihat dengan adanya perubahan kimiawi yang dapat diungkapkan dengan tegas. 

Singkatnya, dalam masalah manusia, tetap ada hukum yang berlaku; dalam masalah etika, tetap ada hukum moral yang berlaku; dan naturalisme masih merupakan kandungan dari realisme.

Dalam realisme sendiri, ada dua macam aliran yang berkembang, yaitu New Realisme dan Realisme Kritik.

New Realisme, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu sabagaimana ia nampak oleh indera-indera. Disini “pengalaman” individu adalah merupakan faktor yang penting.

Realisme Kritik, berpendapat bahwa bila sesuatu itu dapat diketahui dengan cepat dan betul sebagaimana adanya, mengapa masih dapat timbul kesimpangsiuran ilusi dari kenyataan yang ada. 

Untuk mengetahui kenyataan, setidaknya di dunia ini ada dua entitas, yaitu benda-benda materil dan keadaan jiwa atau ide. Cara kerja entitasnya ada tiga bagian meliputi:
  1. Orang mengetahui
  2. Objek yang menjadi sasaran untuk diketahui
  3. Data indera sebagai dasar penyimpulan.
Realisme Pendidikan
Dalam hubungan realisme dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam, dan dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan ini merupakan suatu kewajiban. 


Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah maka metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam, sebagaimana dasar dari teori belajar "behavioristik".

Namun sebenarnya, manusia tetap berbeda dalam derajat pencapainnya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik.

Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Dan paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat 
dan kebutuhan peserta didik. 

Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa dipandang sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.

Pandangan realita terhadap tugas pengembangan kepribadian manusia, dibebankan juga pada orang tua wali dan para guru. Dan pada tiap periode yang berlangsung, anak didik diharapkan semakin bertambah kegiatan belajarnya untuk mengahayati kehidupan dari kelompoknya, serta mau menerima tanggung jawab yang wajar dalam kaitannya dengan kehidupan tersebut.

Implikasi Filsafat Pendidikan Realisme  
Kaum realis menyatakan kebudayaan adalah tugas besar pertama dari pendidikan. Karenanya, implikasi filsafat pendidikan realisme adalah sebagai berikut:

Prinsip Pendidikan. Prinsip pendidikan realisme adalah belajar pada dasarnya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya. Inisiatif dalam pendidikan harus bersumber dari pendidik, bukan pada anak didik. Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi (penyesuaian untuk terjadi perubahan) dari subjek mater yang sebelumnya memang telah ditentukan.

Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan realisme adalah untuk penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial. Tujuan pendidikan dalam aliran realisme adalah dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial

Kurikulum Pendidikan. Kurikulum pendidikannya harus komprehensif, mencakup semua pengetahuan yang berguna, berisi pengetahuan umum dan pengetahuan praktis. Kurikulum komprehensif mengandung semua pengetahuan yang berguna bagi penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan liberal atau pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja. Semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Kurikulum dalam hal ini diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru. Secara luas, lingkungan materiil dan sosial, ditentukan oleh manusia sebagaimana seharusnya ia hidup.

Metode Mengajar.
Metode mengajar realisme bersifat logis, bertahap atau berurutan. Pembiasaan merupakan sebuah metode pokok yang dipergunakan oleh kalangan penganut realisme maupun behaviorisme. Belajar tergantung pada pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan psikologis. Metode kondisioning (Stimulus-Respon) adalah metode pokok yang digunakan.

Peranan Siswa. Peran peserta didik dalam pendidikan realisme adalah menguasai pengetahuan yang handal dan dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.

Peran Guru. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar, dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik. Pendidik memiliki kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang dibebankan padanya.

(Oleh: Abdy Busthan)

Sejarah dan Cabang-Cabang dalam Mempelajari Ilmu Logika

Logika muncul untuk pertama kalinya di Yunani Kuno, yang ditandai dengan kemunculan gebrakan pemikiran dari seorang filsuf Yunani pertama, bernama Thales (624-548 SM). Pada saat itu Thales membantah segala bentuk dongeng, takhyul, dan cerita-cerita isapan jempol untuk berpaling pada penalaran akal budi dalam memecahkan rahasia alam semesta. 

Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Dan saat itu juga Thales telah mengenalkan logika induktif.

Aristoteles selanjutnya mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebutkan dengan logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa, Thales menarik kesimpulan bagaimana air adalah arkhe dari alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, dan menurut Aristoteles disimpulkan dari beberapa hal-hal berikut ini:

  • Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
  • Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia (karena tanpa air jiwa manusia dan hewan mengalami dahaga)
  • Air jugalah uap
  • Air jugalah es
Jadi dalam hal ini air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti air adalah arkhe dari alam semesta. Dan sejak saat itulah Thales mengenalkan pernyataannya di atas, dan akhirnya logika pun mulai dikembangkan.

Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang logika ini. Pada masa Aristoteles, logika disebutkan dengan dua istilah, yaitu: 
  1. Analitica, yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari berbagai macam proposisi yang benar
  2. Dialektika, yang khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya.
Logika Aristoteles
Inti dari logika yang dikembangkan oleh Aristoteles adalah silogisme, yaitu cara berpikir dengan cara menarik simpulan dari: premis umum, khusus dan simpulan. Konsep silogisme ini dijelaskan buku Aristoteles yang berjudul: “to Oraganon”(alat), yang isinya berjumlah enam bagian, yaitu: 
  1. Categoriae, menguraikan pengertian-pengertian
  2. De interpretatione, tentang keputusan-keputusan
  3. Analytica Posteriora, tentang pembuktian.
  4. Analytica Priora, tentang Silogisme.
  5. Topica, tentang argumentasi dan metode berdebat.
  6. De sohisticis elenchis, tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.

Perkembangan Logika
Pada tahun 370 SM - 288 SM, Theophrastus murid Aristoteles yang pernah menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangan logika silogisme ini. 

Namun istilah logika untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Zeno dari Citium, yaitu pelopor kaum Stoa (334 SM-226 SM).

Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus tahun 200 M. Kedua dokter medis ini mengembangkan logika dengan cara menerapkan metode geometri.

Kemudian muncullah Porohyus (232 - 305) yang membuat suatu pengantar (eisagoge) dalam Categoriae dari buku Aristoteles, yang akhirnya Boethius (480-524) membuat terjemahan pada Eisagoge dari Porphyrius ini ke dalam bahasa Latin, dan menambahkan komentar-komentarnya yang pada akhirnya muncullah St. Yohanes dari Damaskus (674 - 749) dengan menerbitkan Fons Scienteae.

(1) Logika Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan yang dimulai dari abad ke-9 hingga abad ke-15, beberapa karya-karya terkenal seperti buku Aristoteles berjudul De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus, dan karya Boethius, masih digunakan di sini. 

Kemudian St. Thomas Aquinas (1224-1274) dan beberapa rekan-rekannya berusaha mengadakan sistematisasi logika secara lebih mendalam, yang akhirnya lahirlah “logika modern” yang kemudian dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti: Petrus Hispanus (1210 - 1278), Roger Bacon (1214-1292), Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dikenal dengan istilah “Ars Magna” yaitu semacam aljabar pengertian, dan William Ocham (1295 - 1349). 

Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni, diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya: Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam karya fenomenal berjudul “An Essay Concerning Human Understanding”.

(2) Logika Induksi
Francis Bacon (1561-1626) muncul dengan logika induktif dalam buku: Novum Organum Scientiarum, dan J. S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan pemikiran induksi dalam buku: System of Logic

Namun perkembangan logika induktif menjadi terkenal ketika Karl Popper (1902-1994) memunculkan karyanya: “The logic of Scientific Discovery”, dengan dua klaim besar mengenai tuntutan pengetahuan. 

Pertama, metode falsifikasi atau menguji pengetahuan bukan dengan cara menjabarkan kebenaran hipotesisnya, tetapi meletakkan negasi-negasi (penyangkalan/peniadaan). Menurut Popper, falsifikasi ini akan menyelamatkan dari munculnya kemungkinan-kemungkinan induksi pengetahuan. 

Kedua, tentang bagaimana pengetahuan dan bukan pengetahuan dibedakan dari preposisi-preposisinya. Hanya preposisi ilmu pengetahuan yang tahan terhadap falsifikasi. Kedua metode ini bisa dibandingkan pendapat Hume (Garvey James, 2006).

(3) Logika Simbolik 
Logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik, seperti: Gottfried Leibniz (1646-1716) yang muncul dan menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan untuk menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian

Terdapat pula beberapa nama besar yang muncul dan memperkuat dalili-dalil logika simbolik ini, seperti: George Boole (1815-1864), John Venn (1834-1923), dan Gottlob Frege (1848 - 1925).

Kemudian muncul pula Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di Johns Hopkins University, yang muncul dan melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs). 

Akhirnya, puncak kejayaan logika simbolik ini terjadi pada sekitar tahun 1910-1913 dengan diterbitkannya “Principia Mathematica” dalam tiga jilid sekaligus, yang merupakan karya bersama dari dua filsuf besar, yakni Alfred North Whitehead (1861-1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872-1970). 

Logika simbolik ini kemudian diteruskan oleh ketiga filsuf besar, yaitu: Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978). 

(4) Logika sebagai matematika murni. 
Logika masuk ke dalam kategori matematika murni karena matematika adalah logika yang tersistematisasi. Matematika adalah pendekatan logika pada metode ilmu ukur yang banyak menggunakan tanda sebagai simbol matematik (logika simbolik). Logika tersistematisasi pertama adalah yang dikenalkan oleh dua dokter medis yaitu: Galenus (130-201 M) dan rekannya Sextus Empiricus (sekitar 200 M). Mereka mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.

# Oleh Abdy Busthan
****************
Daftar Pustaka:
Busthan Abdy. (2019). Pendidikan Logika: Konsep Dasar Berlogika. hlm.23-26 (Cetakan ke-4). Kupang: Desna Life Ministry

Dalil-Dalil Psikologi Humanistik Pertama


Pada perkembangan awal, perspektif psikologi humanistik dapat di ringkas ke dalam 5 (lima) prinsip utama atau biasa disebutkan dengan “dalil-dalil psikologi humanistik pertama” yang diartikulasikan dalam sebuah artikel James Bugental tahun 1964, dan selanjutnya diadaptasi oleh Tom Greening, seorang psikolog dan editor lama dari Journal of Humanistic Psychology, dengan menyatakan kelima prinsip dasar psikologi humanistik sebagai berikut:
  1. Manusia, sebagai manusia, mewakili jumlah bagian mereka—manusia. Dimana mereka tidak bisa direduksi menjadi komponen.
  2. Manusia memiliki eksistensi mereka dalam konteks unik manusia, serta dalam ekologi kosmik.
  3. Manusia sadar dan sadar menjadi sadar—yaitu, mereka sadar. Kesadaran manusia selalu mencakup kesadaran diri sendiri dalam konteks orang lain.
  4. Manusia memiliki beberapa pilihan dan dengan itu, bertanggung jawab.
  5. Manusia adalah disengaja, memiliki tujuan, sadar bahwa mereka menyebabkan peristiwa masa depan, dan mencari makna, nilai, dan kreativitas.

Berdasarkan pada dalil-dalil di atas, kemudian di adopsi pendekatan holistik demi eksistensi manusia dan memberikan perhatian khusus terhadap fenomena seperti: kreativitas, kehendak bebas, dan potensi dalam diri manusia. Hal ini di dorong dengan melihat pribadi manusia sebagai “manusia seutuhnya" yang juga lebih besar daripada jumlah bagiannya, dan mendorong eksplorasi diri dari pada studi perilaku pada orang lain.

Maka, kajian bidang psikologi humanistik kemudian mengakui aspirasi spiritual sebagai bagian integral dari jiwa manusia, yang tentunya berhubungan dengan bidang yang muncul dari psikologi transpersonal.

Karena itu, humanisme merupakan paradigma pendekatan pedagogis, yang percaya bahwa proses kegiatan belajar dipandang sebagai “tindakan pribadi” untuk memenuhi “potensi” seseorang. Sebab sebagai paradigma berlajar, humanisme muncul pada tahun 1960, yang berfokus pada kebebasan, martabat, dan potensi yang terdapat dalam diri insan manusia, dengan asumsi sentralnya bahwa manusia bertindak dengan intensionalitas dan nilai-nilai (Huitt, 2001).

Term atau istilah pendidikan humanistik umumnya digunakan untuk menunjuk berbagai teori pendidikan dan praktek yang berkomitmen untuk pandangan dunia dan kode etik humanisme, yaitu positing peningkatan pembangunan manusia, kesejahteraan dan martabat sebagai tujuan akhir dari semua pemikiran dan tindakan manusia—di luar agama, ideologi, atau cita-cita nasional dan nilai-nilai.

Pokok Ajaran Humanisme

Berdasarkan kajian panjang filosofis dan moral yang merupakan tradisi dari Nabi-Nabi Alkitab, dan untuk filsuf Yunani, selanjutnya Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Anak, merumuskan komitmen humanisme lebih lanjut, yang menyiratkan pembinaan 3 (tiga) pokok ajaran fundamentalnya, yaitu sebagai berikut:

Filosofis, yang terdiri dari konsepsi manusia—pria dan wanita—sebagai makhluk otonom dan rasional dan rasa hormat yang mendasar bagi semua individu manusia berdasarkan yang diberkahi dengan kebebasan kehendak, berpikir rasional, kesadaran moral, imajinatif dan kekuatan kreatif.

Sosial-politik, yang terdiri dari etika universal kesetaraan manusia, timbal balik, solidaritas dan tatanan politik yang pluralistik, adil dan demokrasi manusiawi.

Pedagogis,
yang terdiri dalam komitmen untuk membantu semua individu untuk mewujudkan dan menyempurnakan potensi mereka dan "menikmati". Di mana dalam kata-kata Mortimer Adler (2015), berbunyi.. "As fully as possible all the goods that make a human life as good as it can be” (semua barang semaksimal mungkin akan membuat kehidupan manusia menjadi baik).

Oleh: Abdy Busthan

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Pembelajaran Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang: Desna Life Ministry

Istilah 'Pengertian' dan 'Term' berdasakan pada Prinsip-Prinsip Logika



Dalam kehidupan ini, pengalaman-pengalaman hidup manusia terbentuk berdasarkan fakta-fakta empiris yang mendorong akal budinya untuk mengerti dan memahami segala hal yang dialaminya. Ketika akal budi mulai mencerna (proses mengerti dan memahami) pengalaman-pengalaman yang ada, maka muncullah "pengertian" sebagai implikasi dari memahami dan mengerti apa yang ingin dipahami dan apa yang ingin dimengerti.

Sementara di lain sisi, ketika apa yang dimengerti (pengertian) itu hendak pula dinyatakan, maka "term" hadir di situ untuk menjadikan ide dan konsep-konsep menjadi nyata—suatu kenyataan. 

Karena itu, maka istilah "pengertian" dan "term" adalah satu kesatuan kuat dalam prinsip-prinsip berlogika.

1. Istilah "Pengertian"
Istilah ‘pengertian’ merujuk pada suatu ‘konsep’. Banyak logici menganggap kedua istilah ini memiliki esensi yang sama, sebab pengertian terbentuk oleh suatu konsep. Misalnya, setelah orang mengerti tentang kereta api, maka orang itu sudah memiliki konsep tentang kereta api. Jadi dalam hal ini semua hasil pencernaan dari akal budi adalah konsep atau pengertian.

Menurut Rima Febiana K (dalam Sihotang Kasdim, 2012:), pengertian merupakan hasil dari tangkapan akal budi mengenai hakikat (inti/esensi) dari suatu hal (Warsito, 2011). 

Senada dengan itu, Molan Benyamin (2012) mendefenisikan bahwa pengertian adalah kemampuan bernalar awal yang didapatkan manusia, yaitu abstraksi dari hal-hal konkrit, dan di dalam kegiatan berupa abstraksi atau aprehensi ini, pikiran menarik (abstrahere/aprehendere) esensi atau hakikat dari suatu hal/benda dan melepaskannya dari bentuk yang konkrit. 

Sementara Alex Lanur (1983:14) menyatakan bahwa pengertian adalah suatu gambar akal budi yang abstrak, yang batiniah, tentang inti sesuatu.

Dari beberapa defenisi di atas, maka pengertian adalah aktivitas akal budi yang membentuk esensi dan hakikat tentang sesuatu. Misalnya, seorang melihat pesawat terbang, kemudian mencoba untuk mencari, menemukan, lalu mengerti bagaimana caranya pesawat itu bisa terbang. Dan setelah ia mencari dan menemukan, ia pun mengumpulkan beberapa abtraksi-abstraksi yang didapatkannya, seperti: baling-baling, sayap pesawat, dan sistem keseimbangan dari pesawat, untuk bisa membentuk pengertiannya tentang penyebab pesawat bisa terbang. Pada titik ini, maka aktivitas akal budinya kemudian memproses benda-benda seperti: baling-baling, sayap dan sistem keseimbangan pesawat menjadi suatu esensi tentang penyebab pesawat bisa terbang. Sehingga ia pun dapat memiliki “pengertian” tentang “penyebab” atau apa yang menyebabkan pesawat bisa terbang”.

Jadi, pengertian adalah gambaran abstrak yang dibentuk akal budi mengenai sesuatu yang dipikirkan. Setiap kali berhadapan dengan sesuatu hal atau pengalaman, akal budi menangkap inti dari sesuatu yang dihadapi dan di alami. 

Di sini ada dua proses yang bekerja sekaligus, yaitu pengertian dan hasil tangkapan akal budi. Jika pengertian menunjuk sesuatu sebagai hasil tangkapan akal budi, maka kegiatan akal budi untuk menangkap hakikat sesuatu itu disebut abstraksi atau aprehensi.

Abstraksi adalah kegiatan akal budi untuk menangkap inti (esensi) dari sesuatu. Akal budi hanya bisa menangkap esensi dari sesuatu jika sesuatu itu telah dilepaskan atau ditarik keluar dari unsur individu yang konkrit, dan ketika itu terjadi maka yang tertinggal adalah pengertian yang bersifat universal. 

Misalnya, pengertian tentang kata meja yang bersifat universal, tidak tergantung waktu dan tempat. Entah itu meja makan, meja tulis, ataupun meja tamu, kesemuanya itu disebut dengan meja (pengertian universal). Karena pengertian itu masih abstrak, diperlukan lambang/simbol untuk mewujudkannya. Lambang itu adalah "kata" yang merupakan unsur terkecil dari bahasa. Adapun "kata" yang berfungsi sebagai ungkapan lahiriah dari suatu pengertian dalam logika disebutkan sebagai “term”.

Isi dan Luas Pengertian
Isi pengertian atau komprehensi, adalah keseluruhan unsur yang termuat dalam ‘pengertian’. Isi dan luas pengertian akan tergantung muatan dan cakupan pengertian dari hal yang ditangkap dalam pengertian itu sendiri. 

Misalnya, tangkapan pengertian kita terhadap monyet, maka pasti memiliki luas pengertian yang akan lebih sempit daripada tangkapan pengertian kita tentang binatang. Dalam hal ini, luas pengertian pada binatang, lebih besar dari pada luas pengertian pada monyet. Tetapi isi pengertian (komprehensi) pada monyet lebih besar dari pada isi pengertian pada binatang. 

Artinya bahwa kita lebih jelas memahami apa yang ditunjuk oleh monyet karena luasnya lebih terfokus, dibandingkan dengan yang ditunjuk oleh binatang yang kurang terfokus. Inilah perbedaan isi dan luas pengertian.

Bandingkan dengan contoh lainnya ini. Ketika misalnya saya berdiri dipinggir pelabuhan Tenau Kupang, saya melihat di satu batas cakrawala ada satu titik kecil. Saya tidak bisa mengidentifikasi dengan jelas benda apakah itu, karena jaraknya sangat jauh (eksistensinya besar). Tetapi ketika benda itu (titik kecil tadi) semakin dekat, berarti eksistensinya makin kecil, maka pengertian saya tentang titik kecil itu semakin jelas. Ternyata titik itu adalah sebuah kapal Pelni. Jadi, setelah kapal itu semakin dekat, berarti eksistensinya semakin kecil, tangkapan (komprehensif) saya tentang kapal itu semakin jelas sekali, bahwa ternyata itu adalah kapal Dorolonda.

Nah, dari contoh di atas, maka menjadi jelaslah apa yang menjadi prinsip hubungan antara eksistensi (luas pengertian) dan komprehensi (isi pengertian).—Makin besar komprehensi, makin kecil eksistensi. Dan sebaliknya, Makin besar eksistensi maka makin kecil komprehensinya.

2. Istilah Term
Dalam logika, term adalah kata atau sekumpulan kata yang membuat konsep dan ide menjadi nyata (merupakan ekspresi verbal dari suatu pengertian). Term adalah pernyataan lahiriah dari konsep dan ide. Sebagai ungkapan lahiriah, term berupa rangkaian kata, baik tunggal maupun jamak, yang berfungsi sebagai subyek atau predikat dalam suatu kalimat (keputusan).

Kata yang bisa termasuk dalam term adalah kata-kata yang memiliki pengertian sendiri. Misalnya meja, orang, mahasiswa, pohon, kambing, keadilan, kebenaran, adalah kata-kata yang memiliki pengertian sendiri dan karenanya merupakan term.

Jadi dalam logika, hanya kata atau kesatuan kata-kata yang menyatakan konsep atau ide saja yang dapat disebutkan sebagai ‘term logika’. 

Terdapat term tunggal, seperti: kijang, kuda, belajar, membeli, arloji, dll. Ada pula term majemuk, seperti: jam tangan, sepatu roda, sate ayam, dsb. Dengan demikian, tidak semua kata dapat menjadi term logika, kendatipun setiap term logika pasti terdiri atas satu kata atau lebih (Rapar Hendrik Jan, 1996). 

Itu sebabnya, selain berfungsi sebagai subyek atau predikat, term juga berfungsi sebagai penghubung antara dua proposisi yang disebut premis dalam silogisme. 

Karena term memiliki pengertian sendiri, maka term dapat berfungsi sebagai subyek dan predikat dalam suatu kalimat. Misalnya, koruptur adalah maling. Koruptor (term) berfungsi sebagai subyek, dan maling (term) berfungsi sebagai predikat. 

Tetapi sering dipertanyakan jika kalimatnya berbunyi:“saya sakit”, dimana saya berfungsi sebagai subyek dan sakit berfungsi sebagai predikat. Bukankah sakit adalah sin-kategorimatis? Bagaimana kata bisa menjadi term predikat? Karenanya, kalimat “saya sakit” perlu distandarisasi menjadi kalimat: “saya adalah orang sakit”. Term subyek di sini adalah saya (punya pengertian sendiri) dan term predikatnya adalah orang sakit (punya pengertian sendiri). 

Dengan demikian maka term dapat dirumuskan sebagai verbalisasi atau ungkapan lahiriah dari pengertian dalam bentuk kata atau rangkaian kata (Molan Benyamin, 2012).

Jenis Term
Term terdiri dari jenisnya yang beragam. Untuk jenisnya, term terdiri dari 5 jenis, yaitu: a) term konkret; b) term abstrak; c) term tunggal; d) term kolektif; dan e) term umum. Berikut pembahasannya.

Term konkret (concrete term). Adalah jenis term yang mengacu pada benda konkret, dan dalam logika tradisional termasuk nama diri (proper name). Misalnya: kursi, meja, kuda, monyet, manusia, Plato, Tuti, dll.

Term abstrak (abstrack term). Jenis term yang mengacu kepada kualitas, sifat dan hubungan dari sesuatu hal. Misalnya: kebajikan, kemanusiaan, keindahan, bulatan, hitam, peramah, persahabatan, akrab, dan sebagainya.

Term tunggal (singular term). Adalah jenis term yang mengacu kepada satu benda atau perorangan, atau kepada suatu himpunan yang terdiri atas sebuah pengertian yang menunjuk kepada satu diri. Misalnya: kepala SMP Negeri Kristen Kupang yang kedua, direktur utama Garuda Indonesia yang ketujuh, mahasiswa termuda di dunia, dan sebagainya.

Term kolektif (collective term). Adalah term yang mengacu pada suatu himpunan atau kelompok dari hal-hal atau benda-benda yang dilihat selaku satu kesatuan. Misalnya: mahasiswa UKIT, pramuka Indonesia, ABRI, dan sebagainya.

Term umum. Adalah term yang mengacu kepada suatu himpunan tanpa pembatasan kuantitas ataupun kualitasnya (berlaku umum). Misalnya: manusia, militer, mahasiswa, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan sebagainya. 

Oleh: Abdy Busthan.

Idealisme dalam Pendidikan: Kenyataan Sebagai Konsep Kemurnian Jiwa




Istilah "idealisme" berdengung pertama kalinya dalam dunia Filsafat ketika seorang Gottfried Wilhem Leibniz (1646 –1716) yang akrab dengan panggilan Leibnitz atau Von Leibniz  menggunakannya pada dekade awal abad ke-18. Leibniz adalah filsuf Jerman keturunan Sorbia yang terkenal dengan paham Théodicée, dimana ia mengusung pemahaman filsafat bahwa manusia hidup dalam dunia yang sebaik mungkin karena dunia ini diciptakan oleh Tuhan Yang Sempurna.

Leibniz menerapkan istilah "idealisme" dengan dasar pemikiran tokoh aliran idealisme pertama, yaitu Plato (427-374 SM) murid Sokrates. Awalnya Leibniz menggunakan idealisme ini untuk mempertentangkannya dengan paham materialisme dari seorang Epikuros, yaitu filsuf Yunani Kuno yang mendirikan mazhab filsafat yang disebut "epikureanisme". Bagi Epikuros, tujuan filsafat adalah untuk mewujudkan kehidupan yang tenang dan bahagia berupa perpaduan ataraxia (ketiadaan ketakutan, kegelisahan, ataupun kecemasan) dan aponia (ketiadaan rasa sakit), dan juga dengan menjalin persahabatan. 

Epikuros mengajarkan bahwa akar dari segala penderitaan adalah penolakan kematian dan kecenderungan manusia untuk membayangkan bahwa kematian itu mengerikan dan menyakitkan. Menurutnya, hal ini telah menimbulkan kecemasan yang tidak perlu. Epikuros sendiri berpandangan bahwa kematian adalah akhir dari tubuh maupun jiwa, sehingga tidak perlu ditakuti. Walaupun Epikuros percaya akan keberadaan para dewa, ia yakin bahwa mereka tidak ikut campur dalam urusan manusia dan juga tidak mengaruniai orang berdasarkan tindakan mereka. Intinya oang tetap perlu berbuat baik kepada sesama, karena jika mereka bertindak jahat, rasa bersalah akan menghantui mereka dan membuat mereka tidak dapat mencapai ataraxia.

Konsep Dasar Idealisme
Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurut Plato, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohan, dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita akan melahirkan suatu angan-angan yang disebutkan sebabagai “dunia idea”.

Aliran idealisme menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Dimana idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, sehingga semua yang mengalami gerak tidak dikategorikan sebagai idea. Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran aslinya hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. 

Itu sebabnya, gambaran alam dalam pandangan idealisme hanyalah sebuah gambaran dari dunia idea saja, sebab posisinya adalah tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya mutlak, tidak dijangkau oleh material apapun. 

Dan pada kenyataannya, idea memang selalu digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk, demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dapat dikatakan sebagai dunia idea.

Idealisme Pendidikan
Aliran idealisme cukup banyak berpengaruh dalam dunia pendidikan. Idealisme terpusat pada keberadaan lembaga sekolah. Pendidikan bagi kaum idealisme, harus eksis sebagai sebuah lembaga dalam proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.

Bagi aliran idealisme, siswa merupakan pribadi tersendiri sebagai makhluk spiritual. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual adalah kenyataan, sehingga mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. 

Sejak idealisme sebagai aliran filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. 

Pola pendidikan yang diajarkan filsafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, tapi berpusat pada idealisme.

Maka tujuan pendidikan menurut aliran idealisme terbagi atas tiga hal: tujuan untuk individual, masyarakat, dan campuran antara keduanya. Pendidikan idealisme untuk individual bertujuan agar siswa/i bisa menjadi kaya dalam kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar manusia. Dan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.

Fungsi guru dalam sistem pengajaran menurut aliran idealisme adalah sebagai berikut: 
  • Guru adalah personifikasi dari kenyataan anak didik. Artinya, guru merupakan wahana atau fasilitator yang mengantarkan anak didik dalam mengenal dunianya melalui materi-materi dalam aktivitas pembelajaran.
  • Untuk itu, penting bagi guru memahami kondisi peserta didik dari berbagai sudut, baik mental, fisik, tingkat kecerdasan dan lain sebagainya. 
  • Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa. Artinya, seorang guru itu harus mempunyai pengetahuan yang lebih dari pada anak didik. 
  • Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi-potensi pedagogik yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran, baik dari segi materi dan yang lainnya. 
  • Guru haruslah menjadi pribadi yang baik, sehingga disegani oleh murid. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi kepribadian yaitu karakter dan kewibawaan yang berbeda dengan guru yang lain. 
  • Guru menjadi teman dari para muridnya. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi sosial yaitu kemampuan dalam berinteraksi dengan anak didik. 
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan aliran idealisme harus fokus pada isi objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang text book. Agar pengetahuan dan pengalamannya menjadi lebih aktual. 

Implikasi aliran Idealisme dalam Pendidikan sebagai berikut:
  • Tujuannya adalah untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial bagi seluruh pelaku belajar.
  • Kurikulumnya adalah pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.
  • Metode yang diutamakan adalah metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain), tetapi metode lain yang efektif, dapat juga dimanfaatkan.
  • Peserta didik bebas mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya.
  • Pendidik atau guru dapat bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.
Sedangkan untuk implementasi idealisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
  • Pendidikan bukan hanya mengembangkan dan menumbuhkan, tetapi juga menuju pada tujuannya dimana nilai telah direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal dan tak terbatas.
  • Pendidikan adalah proses melatih pikiran, ingatan, perasaan. Baik untuk memahami realita, nilai-nilai, kebenaran, maupun sebagai warisan sosial. 
  • Tujuan pendidikan adalah menjaga keunggulan kultural, sosial dan spiritual. Memperkenalkan suatu spirit intelektual guna membangun masyarakat yang ideal. 
  • Pendidikan idealisme berusaha agar seseorang dapat mencapai nilai-nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia secara bersama-sama. 
  • Tujuan pendidikan idealisme adalah ketepatan mutlak. Untuk itu, kurikulum seyogyanya bersifat tetap dan tidak menerima perkembangan. 
  • Peranan pendidik menurut aliran ini adalah memenuhi akal peserta didik dengan hakekat-hakekat dan pengetahuan yang tepat. Dengan kata lain, guru menyiapkan situasi dan kondisi yang kondusif untuk mendidik anak didik, serta lingkungan yang ideal bagi perkembangan mereka, kemudian membimbing mereka dengan kasih sayang dan dengan ide-ide yang dipelajarinya hingga sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya.


Oleh: Abdy Busthan

Pragmatisme Pendidikan: Belajar adalah Pengalaman Hidup



Filsafat pragmatisme, mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. 

Seiring dengan perkembangannya, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai posisi puncak temuan.

Tekanan pertama dan utama pragmatisme dalam pendidikan dilandaskan bahwa peserta didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain adalah individu yang mengalami, sehingga mereka berkembang, serta memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik (siswa) saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. 

Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relatif. 

Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasilan.

Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. 
Sementara guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator saja. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak mampu dilatih berpikir secara logis. 

Sebagaimana diungkapkan oleh Power (dalam Sadulloh, 2003) bahwa implikasi penting dari filsafat pendidikan pragmatisme dalam pelaksanaan pendidikan, mencakup beberapa hal pokok berikut ini:

Tujuan Pendidikan. Tujuan dari pelaksanaan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi peserta didik.

Kedudukan Siswa. Kedudukan para siswa dalam pendidikan pragmatisme adalah merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.

Kurikulum. Dalam hal ini, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.

Metode. Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, seperti: Learning by doing (belajar sambil bekerja), metode pemecahan masalah (problem solving method), metode penyelidikan, dan metode penemuan (inquiri and discovery method).

Peran Guru. Dalam praktiknya (mengajar), metode ini sangat membutuhkan guru yang selalu memberikan kesempatan, bersahabat, pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, dan sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, serta bersungguh-sungguh, agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai. Untuk itu, peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.

Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberikan kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.

Oleh: Abdy Busthan

Naturalisme dalam Bidang Pendidikan, Gagasan Naturalisme Rousseau



Dimensi utama dan pertama dari pemikiran aliran filsafat naturalisme dalam bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berpikir. 

Sehingga naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya adalah pendidikan Ketuhanan, budi pekerti, dan intelek.

Pendidikan tidak hanya sebatas untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana. Pendidikan bagi paham naturalis perlu dimulai jauh hari sebelum proses pendidikan dilaksanakan.

Sekolah merupakan dasar utama dalam keberadaan aliran filsafat naturalisme. Karena belajar merupakan sesuatu yang natural, maka oleh karena itu, fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang juga natural. 


Prinsip terpenting bahwa paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan mengajar murid.

Naturalisme dan Pendidikan
Terdapat 5 (lima) tujuan pendidikan dalam paham naturalisme, yaitu sebagai berikut: 
  1. Mengamankan kebutuhan hidup
  2. Meningkatkan anak didik
  3. Memelihara hubungan sosial dan politik
  4. Menikmati waktu luang
  5. Pemeliharaan diri

Terdapat pula beberapa prinsip penting dalam proses pendidikan naturalisme ini, yaitu sebagai berikut:
  1. Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam.
  2. Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik.
  3. Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak.
  4. Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan.
  5. Pendidikan dimaksudkan untuk dapat membantu perkembangan fisik, sekaligus otak.
  6. Praktik mengajar adalah seni menunda.
  7. Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif. Hukuman dalam hal ini dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan suatu kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.

Gagasan Naturalisme Rousseau dalam Pendidikan
Jean Jacques Rousseau (1712-1778), adalah seorang tokoh filosofi besar, penulis dan komposer pada abad pencerahan. Pemikiran filosofinya banyak sekali memengaruhi revolusi Prancis dan perkembangan politika modern serta dasar pemikiran edukasi.


Terkait dengan paham naturalisme ini, Rousseau menyatakan bahwa ada tiga gagasan kunci dalam memahami konsep naturalisme dalam pendidikan, terutama jika membahas tentang perkembangan manusia. Berikut ketiga gagasan tersebut, sebagaimana dikutip dalam Busthan Abdy (2016:231): 

Pertama. Perkembangan bergerak maju menurut peta waktu biologis dan hati manusia. Untuk pertama kalinya, manusia akan memiliki gambaran perkembangan manusia yang independen dari pengaruh-pengaruh enviromentalisme. Anak-anak tidak lagi dibentuk oleh kekuatan eksternal, seperti pengajaran orang dewasa dan penguatan masyarakat. Karena yang sebenarnya, anak-anak akan tumbuh dan belajar dengan cara mereka sendiri, sesuai rencana alam. Dewasa ini, gagasan seperti ini disebut sebagai "biological maturity" (kematangan-biologis).

Kedua. Perkembangan manusia akan menyingkap serangkaian tahapan yaitu periode-periode, dimana anak-anak mengalami dunia dengan cara-cara yang berbeda. Anak-anak berbeda dari orang dewasa bukan karena mereka kertas kosong yang secara bertahap akan menyerap pengajaran orang dewasa. Tetapi sebaliknya, disetiap tahapan perkembangannya, pola berpikir anak-anak bersikap selalu memiliki karakteristik unik mereka sendiri.

Ketiga. Filsafat pendidikan yang digagas Rousseau, adalah pendidikan yang berpusat pada anak. Rousseau mengatakan, "Ajarlah murid-muridmu sesuai usianya". Dalam pemahamannya bahwa, seorang pendidik harus mencocokkan pelajaran yang diberikan dengan melihat pada setiap tahap perkembangan anak. Dengan cara ini maka anak-anak akan dimampukan untuk menilai hal-hal berdasarkan pengalaman dan daya pemahaman mereka sendiri-sendiri.

Oleh:Abdy Busthan

Pemahaman Konsep "Eksistensialisme" dalam Teropong Filsafat Sartre



Istilah eksistensialisme berasal dari kata dasar "eksistensi" yang berasal dari kata exist, dan merupakan gabungan dari kedua kata: ex=keluar, dan sister= ada atau berada. Sehingga eksistensi memiliki arti sebagai sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya atau sesuatu yang mampu "melampaui" dirinya sendiri”.

Paham eksistensialisme dalam aliran filsafat lebih berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. 

Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya, maka masing-masing individu akan bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme muncul dengan mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan melalui sebuah “kebebasan”. 

Ada dua pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme melalui prinsip kebebasan, yaitu: apakah kebebasan itu?Bagaimanakah bentuk manusia yang bebas? Dari jawaban atas kedua pertanyaan ini maka akan sinkron dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan. Sehingga eksistensialisme pun menolak setiap bentuk determinasi terhadap kebebasan, kecuali kebebasan itu sendiri.

Titik Awal
Eksistensialisme mulai dikenal dengan kehadiran Jean-Paul Sartre, yang muncul dengan diktumnya "human is condemned to be free", atau manusia di kutuk untuk bebas. Artinya, dengan adanya kebebasan, maka manusia bisa bertindak. 

Aliran eksistensialisme Sartre dipengaruhi tiga pemikiran pokok, yaitu: Marxisme, Eksistensialisme, dan fenomenologi (Iris Murdoch, 1976). Meskipun sebenarnya dasar eksistensialisme dari Sartre ini bukanlah suatu aliran filsafat, melainkan sebuah gerakan perlawanan pada filsafat tradisional (Walter Kaufmann, 1965). Sebab dalam eksistensialismenya, Sartre justru banyak menggarap permasalahan mengenai manusia. 

Sartre membahas tentang kebebasan menjadi seorang manusia, bahkan hasrat manusia untuk menjadi Tuhan. Pertanyaan yang sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau dalam istilah "orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? 

Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas bagi manusia, maka batasan untuk kebebasan dari setiap individu adalah juga kebebasan individu lainnya. Inilah prinsip terdalam dalam memahami filsafat eksistensialisme ini.

Makna Eksistensi Diri
Menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang berbeda daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada di luar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun sesuatu yang baru menjadi esensi dari eksistensialisme. 

Membuat pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan menjadi sadar akan tanggungjawabnya pada masa depan, adalah inti daripada eksistensialisme.

Sebagai contohnya, mau tidak mau kita terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri? Inilah makna eksistensi diri. 

Eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji, baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. 

Tentu saja hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, lalu menerimanya, walaupun misalnya tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.

Manusia yang Eksistensi
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, tidak ada sesuatupun yang mempunyai ciri atau karakter existere selain manusia. Hanya manusia saja yang bisa bereksistensi. Hanya manusia yang sanggup keluar dari dirinya sendiri, dan melampaui keterbatasan biologis lingkungan fisiknya dengan berusaha agar tidak terkungkung dari segala keterbatasan yang dimillikinya. 

Misalnya, orang cacad atau orang yang tidak memiliki kaki, dia mampu keluar dari dirinya, dan bisa berbaur dengan orang lain, tanpa harus memperdulikan kekurangan yang ada pada dirinya. Dia mampu berkreasi tanpa bantuan orang lain dan mampu menghasilkan uang dari apa yang telah diperbuat.

Para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses “menjadi” gerak yang aktif dan dinamis. Sebagaimana Sartre berdalil bahwa: “eksistensi mendahului esensi,” yaitu segala sesuatu baru dapat dimaknai ketika ia sendiri “eksis” atau “ada” terlebih dahulunya.

Pada titik ini, eksistensi sebagaimana dimaksudkan Sartre dan filsafat pada umumnya, adalah memenuhi dimensi ruang dan waktu. 
Apa yang dimaksudkan adalah, bahwa segala sesuatu yang bereksistensi pasti nyata.

Jadi, berdasarkan dalil landasan dasar utama eksistensialisme adalah “eksistensi mendahului esensi, maka seorang eksistensialis (menurut Sartre), adalah mereka-mereka yang meyakini kesahihan dalil eksistensi mendahului esensi, dimana segala sesuatu akan dapat dimaknai ketika ia eksis atau ada terlebih dahulunya.

Oleh: Abdy Busthan

Keyakinan Mendahului Pengetahuan: Apakah Keyakinan Bisa Menjawab Yang Hal Tidak Diketahui Sebelumnya?



Ada pertanyaan sederhana, apakah keyakinan kita terhadap sesuatu bisa menjawab segala hal yang tidak kita ketahui terlebih dahulu?Pengetahuan kita akan sesuatu dimulai dengan keyakinan kita terhadap sesuatu itu sendiri. Jika kita tidak meyakini sesuatu, maka kita tidak mungkin mengetahui sesuatu. Semua penelitian dan pengajuan ilmiah dalam bentuk apapun, akan selalu didasarkan pada "keyakinan". Sebelum ilmuwan menyelediki ilmu apapun yang ada di alam ini, maka ia akan memiliki satu set praanggapan yang didasarkan pada keyakinan terdalam.

Ketika seseorang menyelidiki suatu hal, maka terlebih dahulu ia yakin dan memiliki kepercayaan bahwa nantinya ia pun dapat mengetahui. Sehingga dengan dorongan itu, maka ia mulai menyelediki sesuatu. Pada titik ini, maka keyakinan mendahului pengetahuan.

Setiap siapa saja yang melakukan studi dan kajian ilmu (baik itu para ilmuwan, peneliti, filsuf, dan kaum terpelajar, tanpa terkecuali), entah ia menggunakan metode ilmiah apa saja, seperti metode induksi maupun deduksi, maka tanpa ia sadari, ia pun akan masuk pada hakikat dasar (yang terdalam) yaitu "keyakinan-nya" terhadap sesuatu. Artinya bahwa di dalam melakukan penyelidikan, seseorang pasti akan menginginkan bukti.

Tetapi ingat bahwa sebelum bukti itu muncul, orang tersebut telah memulainya dengan suatu praanggapan yaitu keyakinan (meyakini).

Misalnya metode deduksi dan silogisme dari filsuf Aristoteles yang menggunakan 3 (tiga) tahap silogisme dalam hal menemukan kebenaran dengan rasio: yang pertama, disebutkan sebagai "premis mayor", kedua "premis minor" dan ketiga adalah "kesimpulan".

Sebagai contohnya:
Semua manusia bisa mati (premis mayor)
Budi adalah manusia (premis minor)
Maka Budi bisa mati (kesimpulan)

Premis minor dalam silogisme seperti kalimat di atas, sebenarnya telah dimulai dengan suatu keyakinan. Kalimat yang menyatakan "semua manusia bisa mati", adalah keyakinan yang belum pernah dibuktikan.

Ketika seseorang mengatakan bahwa, "Saya melihat memang semua manusia akhirnya mati", maka kalimat ini bukanlah suatu kebenaran, karena yang melihat sendiri belum mati. Berarti, belum "semua" manusia mati. Jika diri yang melihat sudah mati, maka sebenarnya ia sendiri tidak akan dapat membuktikan apa-apa, sebab ia sudah mati.

Jadi, jika seseorang melihat semua orang yang sudah mati, tetapi ia belum pernah melihat kematian orang yang sesudah ia mati, maka teori ini belum dapat terbukti dengan benar!

Maka dalam hal ini premis mayor (semua manusia bisa mati) yang dijadikan dasar untuk rasio berpijak untuk dapat mencari suatu pembenaran, belum dapat dibuktikan sama sekali, maka hal ini bukan bukti, tetapi sebuah "keyakinan". Maka dapatlah dipahami bahwa apapun bentuk ilmu pengetahuan dan rasio, maka ia tidak akan bisa terlepas dari "keyakinan".

Misalnya kalimat yang mengatakan: "Buktikan baru saya percaya", adalah kalimat yang juga sebenarnya menunjukkan "keyakinan" itu sendiri. Jika terbukti baru dapat dipercaya, adalah hal yang belum pernah dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlunya bukti untuk dapat mempercayai sesuatu, maka ini adalah Keyakinan.

Jadi, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah bahwa keyakinan kita terhadap sesuatu tentu akan menjawab segala hal yg tidak perlu kita ketahui terlebih dahulu....

Salam Wassalam.. Hormat di bri.
(Ditulis oleh: Abdy Busthan)

Filsafat Ilmu Pengetahuan: Pendekatan Pemahaman Filosofis Dalam Empat Pertanyaan Ilmiah



Berdasarkan sudut pandang filosofis, filsafat ilmu pengetahuan dapat dipahami berdasarkan empat pendekatan dengan menggunakan empat pertanyaan ilmiah berikut ini:

Pertama. Apakah pengetahuan itu? Pertanyaan jenis ini membutuhkan jawaban berupa “hakikat” (isi arti hakiki) yaitu sebuah bentuk “pengetahuan subtansial” tentang apa dan bagaimana itu ilmu pengetahuan.

Kedua. Mengapa ilmu pengetahuan itu ada? Bahwa pertanyaan ini membutuhkan jawaban tentang sebab-akibat dari keberadaan atau “pengetahuan kausal” ilmu pengetahuan.

Ketiga. Bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa ada? Pertanyaan seperti ini memerlukan jawaban mengenai “metode” untuk dapat mengetahui objek yang berupa “pengetahuan metodis” ilmu pengetahuan.

Keempat. Untuk apa ilmu pengetahuan itu ada? Bahwa pertanyaan ini membutuhkan jawaban berupa “manfaat” ilmu pengetahuan untuk kehidupan manusia sebagai makhluk yang berpikir, yaitu berbentuk “pengetahuan normatif” ilmu pengetahuan.

Dari keempat pertanyaan di atas, jika dirunut berdasarkan susunan kata, maka dapat dipahami bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi filsafat yang objek materinya berupa ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis, bentuk, dan sifatnya. Dapatlah meliputi pluralitas ilmu pengetahuan (ragam ilmu pengetahuan). Sedangkan objek formanya adalah “hakikat” (intisari) ilmu pengetahuan.

Sebagaimana menurut Suparlan Suhartono (2011) bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi filsafat yang mempelajari segala macam jenis, bentuk, dan sifat dari ilmu pengetahuan.

Senada dengan hal di atas, Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013) juga menyatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempersoalkan dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Dalam hal ini, tema yang dipersoalkan adalah apa itu kebenaran? Apa metode ilmu pengetahuan? Manakah metode yang paling bisa diandalkan? Apa kelemahan metode yang yang ada? Apa itu teori? Apa itu hipotesis? Apa itu hukum ilmiah?

Pengertian Pengetahuan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, pengetahuan berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).

Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013) menyatakan bahwa, pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya.

Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu. Juga mencakup praktik atau kemampuan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibakukan secara sistematis dan metodis.

Karena itu, filsafat pengetahuan berkaitan dengan upaya mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan manusia pada umumnya, terutama menyangkut gejala pengetahuan dan segala sumber pengetahuan manusia.

Sehingga timbul beberapa pertanyaan tentang bagaimana manusia bisa tahu? Apakah manusia bisa sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti? Apakah pengetahuan yang pasti itu mungkin? Apa artinya mengetahui sesuatu? Bagaimana manusia bisa tahu bahwa ia tahu? Dari mana asal dan sumber pengetahuan manusia itu? Apakah pengetahuan sama dengan keyakinan? Dimana letak perbedaannya?

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui dan yang diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu.

Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia bersikap dan bertindak. Jadi, pengetahuan lebih dikaitkan dengan segala sesuatu yang diketahui oleh manusia berkaitan dengan proses mempelajari sesuatu.

Pengertian Ilmu pengetahuan
Ilmu Pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia, dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.

Segi-segi yang dimaksudkan di atas, dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan pasti. Ilmu dalam hal ini memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu yang ditelusuri, diperoleh dari keterbatasan yang ada.

Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.

Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih dalam dan lebih jauh tentang pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.

Menurut Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013), bahwa ilmu pengetahuan adalah merupakan keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis.

Ilmu pengetahuan dalam hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menjelaskan hubungan antara berbagai hal dan peristiwa dalam alam semesta ini secara sistematis dan rasional (masuk akal).

Misalnya ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja). Ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari.

Demikan dengan halnya dengan ilmu psikologi yang hanya bisa meramalkan perilaku setiap manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.

Oleh: Abdy Busthan

Filsafat Manusia: Suatu Kajian Tentang Dunia Yang Paradogsal



Filsafat manusia merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas mengenai makna menjadi manusia (Louis Leahy, 1984). Filsafat manusia menjadikan manusia sebagai objek studinya (Baharrudin Salam, 1988).

Pembahasan dalam cabang ilmu filsafat manusia ini adalah tentang bagaimana manusia selalu mengajukan pertanyaan mengenai dirinya sebagai manusia.

Filsafat manusia terus berkembang karena manusia adalah objek yang penuh dengan misteri. Titik tolak filsafat manusia adalah pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang melingkupinya. Dalam sejarah, ada beberapa istilah yang mendahului filsafat manusia, yaitu psikologi filsafat, psikologi rasional, eksperimental dan empiris.

Apakah Manusia Itu?

Filsafat manusia adalah filsafat yang mengupas apa arti manusia. Pertanyaan pokoknya: apakah kekhasan manusia di tengah makhluk yang lain? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi.

Manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal dan dinamis. Maka, tidak mengherankan jika pandangan terhadap manusia menjadi beraneka ragam. Sehingga keanekaragaman pandangan ini, tampak pula dalam keanekaragaman definisi tentang manusia. Mungkin yang paling terkenal adalah definisi dari Aristoteles yang mengatakan: “Manusia adalah animal rationale” (hewan berakal budi).

Pandangan filsafat lainnya juga merumuskan bahwa manusia adalah animal loquens (makhluk yang berbicara). Keunggulan manusia dalam hal bahasa, sangatlah nyata, di mana bahasa manusia berebda dengan bahasa hewan. Manusia mampu berbicara dalam bahasa lisan dan mampu mengembangkannya dalam bahasa tulisan.

Beberapa filsuf lainnya juga merumuskan manusia sebaga “a symbolic animal“. Sebuah simbol bersifat multidimensional. Bahasa simbol sangat khusus berperan dalam bahasa cinta dan bahasa religius.

Lain hal lagi dengan Karl Marx. Ia menemukan keunggulan manusia dalam pekerjaannya. Maka, manusia juga disebut makhluk yang bekerja. Banyak definisi-definisi lainnya yang juga muncul merumuskan kekhasan manusia di tengah makhluk lainnya di dunia ini. Misalnya, manusia dirumuskan sebagai an ethical being, sebagai an aesthetical being, dan a metaphysical being, serta a religious being, dsb.

Namun sesungguhnya definisi-definisi yang telah dilontarkan banyak filsuf ini, masih saja membawa berbagai keambiguan dan kesulitannya sendiri-sendiri.

Misalnya Aristoteles yang mengatakan bahwa ciri khas manusia adalah sebagai animal rationale atau dikuasai oleh kekuatan rasionya dan bukan oleh nafsu atau naluri, maka sulit dimengerti untuk bisa menjelaskan terjadinya suatu keserakahan kapitalisme, peperangan dunia, terorisme yang selalu memakan banyak korban dan membunuh ibu dan anak-anak dalam peradaban kita sekarang.

Mungkin saja, seseorang bisa mengatakan bahwa itu semuanya terjadi justru karena penggunaan sebuah rasio yang semakin canggih, yang disalahgunakan dan diselewengkan.

a. Manusia & Kemampuan Refleksi Diri
Teilhard de Chardin dalam “The Phenomenon of Man” (Anthony Pattipo's, 2012), menjawab kesulitan definisi dari ciri khas manusia ini. Ia mengatakan bahwa “Hewan mengetahui, tetapi hanya manusia mengetahui bahwa ia mengetahui.”

Manusia memiliki kemampuan refleksi diri atau kesadaran reflektif. Hewan di sisi lain, tidak mampu untuk berefleksi tentang dirinya. Mereka tidak memiliki kemampuan refleksi mengenai tindakan berpikir itu sendiri.

Kesadaran diri atau refleksi diri itu merupakan ciri khas manusia yang menentukan. Refleksi diri juga merupakan aktivitas manusia yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan menjadikan dirinya sebagai pusat refleksi, manusia menarik diri dari lingkungan dan dari orang lain yang berada dalam lingkungannya.

Kemampuan refleksi diri yang menjadi kekhasan manusia ini, juga menjadi sumber dari berbagai ciri lainnya: rasionalitas, ingatan kembali, kesadaran akan kematian, kemampuan bunuh diri, aspirasi religius dan lain-lain. Refleksi-diri juga merupakan aktivitas yang membedakan diri manusia sendiri dengan orang lain.

Dengan kemampuan refleksi-nya, maka manusia memiliki keterbukaan terhadap dunia (openness to the world), dan tidak dibatasi oleh naluri dan stimulus spesifiknya. Sehingga manusia menjadi mampu untuk mengimbangi kelemahan nalurinya dengan kebebasan dan rasionalitas.

Kemampuan reflektif membuat manusia mampu menghadapi dirinya dan realitas lainnya sebagai objek. Manusia akan dapat mengambil atau mengatur jarak terhadap lingkungannya. Dengan demikian kemampuan refleksi diri manusia merupakan dasar dari perbedaan-perbedaan yang lain dengan binatang.

b. Manusia dalam Teori Evolusi

Tradisi Kristiani dan metafisik, menempatkan kekhasan manusia pada jiwa yang tidak dapat mati, yang membuat martabat manusia mengatasi seluruh kosmos.

Dalam perkembangannya, filsafat modern tidak lagi mencari kekhasan manusia menurut tradisi Kristiani yaitu dalam kerangka hubungan manusia dengan kosmos atau Allah.

Pada abad ke-19 diusahakan untuk mengatasi dualisme badan-jiwa dengan melihat keunikan manusia dalam kejasmaniannya. Kekhasan manusia itu di cari melalui refleksi mengenai tempat manusia di dalam alam semesta dan terutama dalam perbandingan manusia dengan binatang. Pendekatan ini seolah-olah kembali pada pendekatan kaum Stoa yang memahami manusia dalam kerangka tertib kosmik sebagai mikrokosmos.

Selaras dengan teori evolusi Darwin, antropologi mengandaikan kontinuitas hewan dan manusia, yang kemudian mencoba menentukan tempat khas manusia dalam kontinuitas ini dan bukannya memasukkan prinsip asing ke dalam alam.

Pendekatan ini dipelopori oleh J.G. Herder dan Friederich Nietzsche serta pendekatan psikologi yang tidak lagi mempelajari psyche melalui introspeksi tetapi melalui observasi perilaku ekstrim. Cara pandang seperti ini disebut perspektif “antropo-biologi”.

Secara sederhana, dapatlah dikatakan bahwa, pendekatan ini merupakan cara pandang fenomenologis yang mencari kekhasan manusia sebagaimana terlihat dalam perilaku dan kejasmaniannya. Pendekatan ini lebih-lebih dilakukan oleh behaviourisme Amerika di satu sisi, dan sisi lain oleh penelitian “antropologi filsafat” yang bertolak dari penelitian biologis atas prilaku manusia.

c. Manusia & Teori Behavioristik
Pendekatan behaviouristik yang digagas oleh para ahlinya seperti: J. B. Watson, B. F. Skinner, dan Ivan P. Pavlov, dalam menggambarkan perilaku sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang didasarkan pada hukum stimulus-respons, sebenarnya mereduksi kegiatan manusia hanya sebatas pada perilaku terobservasi yang dirangsang dari luar (eksternal).

Pendekatan behavioristik Pavlov misalnya, dengan melakukan pengujian terhadap seekor anjing, kemudian ia mendapatkan banyak kritik sebab menyamakan kedudukan manusia dan hewan dalam belajar. Diantaranya adalah kritik dari Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa “stimulus yang sama dapat menghasilkan respons yang berbeda bila diinterpretasikan secara berbeda oleh yang memberi respons.” Hal ini membawa pergeseran dari pendekatan yang melului empiristik kepada suatu interpretasi perilaku yang didasarkan pada adanya apriori atau skema perilaku bawaan yang disebut ”apriori”, karena skema itu telah ada sebelum suatu pengalaman terjadi.

Interpretasi ini berkembang dalam tradisi filsafat Jerman yang dipengaruhi oleh Imanuel Kant, di mana ia berpendapat bahwa semua pengalaman tergantung pada forma apriori. Pandangan Kant ini mempengaruhi Lorenz yang berusaha menunjukkan bahwa forma atau kategori apriori yang memungkinkan semua pengalaman manusia terkait dengan forma organ tubuh kita (internal).

d. Manusia & Humanisme

Filsuf Heidegger, memandang konsepsi manusia dalam kerangka paham humanisme. Humanisme menolak suatu asumsi mengenai manusia yang naturalistik dalam artian, bahwa “esensi manusia merupakan organisme binatang”.

Humanisme memandang manusia terutama sebagai suatu entitas yang berada di dalam dunia bersamaan dengan entitas yang lain, dan kemudian dari situ dicarikan ciri-cirinya yang khas. Humanisme mencari definisi mengenai manusia yang tidak memadai itu dengan merangkaikan “jiwa” dengan “badan”, dan akal budi dengan jiwa.

Heidegger berpendapat bahwa selama filsafat modern menjadikan kesadaran sebagai titik tolak, maka konsepsi manusia akan tetap didasari oleh humanisme.

Di dalam semua bentuk humanisme, manusia ditempatkan di antara berbagai realitas dunia lainnya; manusia sebagai animal rationale juga dipandang dalam hubungannya dengan entitas dan justru bukan di dalam hubungannya dengan “kebenaran Ada”.

Inilah maksudnya jika dikatakan bahwa esensi manusia terletak pada eksistensinya. Tubuh manusia secara esensial berbeda dari organisme hewan. Menurut Heidegger apa yang kita anggap sebagai animalitas pada manusia tidak dapat diperbandingkan dengan hewan, tetapi harus didasarkan pada esensi dari eksistensinya.

Manusia tidak seperti entitas lainnya. Entitas lain hanyalah ada. Entitas itu hadir, tetapi tidak “mencapai” dirinya, artinya “tidak memiliki kesadaran-diri”; entitas lain tidak “hadir pada dirinya”. Hanya atas dasar “kehadiran-pada-dirinya-sendiri” dari eksistensi, maka entitas lainnya dapat hadir. Inilah yang bagi kaum eksistensialis, menjadi semacam pengalaman asasi yang menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah makhluk yang lain.

Oleh: Abdy Busthan