BREAKING NEWS
latest

728x90

Ads

468x60

header-ad

Pemahaman Konsep "Eksistensialisme" dalam Teropong Filsafat Sartre



Istilah eksistensialisme berasal dari kata dasar "eksistensi" yang berasal dari kata exist, dan merupakan gabungan dari kedua kata: ex=keluar, dan sister= ada atau berada. Sehingga eksistensi memiliki arti sebagai sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya atau sesuatu yang mampu "melampaui" dirinya sendiri”.

Paham eksistensialisme dalam aliran filsafat lebih berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. 

Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya, maka masing-masing individu akan bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme muncul dengan mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan melalui sebuah “kebebasan”. 

Ada dua pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme melalui prinsip kebebasan, yaitu: apakah kebebasan itu?Bagaimanakah bentuk manusia yang bebas? Dari jawaban atas kedua pertanyaan ini maka akan sinkron dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan. Sehingga eksistensialisme pun menolak setiap bentuk determinasi terhadap kebebasan, kecuali kebebasan itu sendiri.

Titik Awal
Eksistensialisme mulai dikenal dengan kehadiran Jean-Paul Sartre, yang muncul dengan diktumnya "human is condemned to be free", atau manusia di kutuk untuk bebas. Artinya, dengan adanya kebebasan, maka manusia bisa bertindak. 

Aliran eksistensialisme Sartre dipengaruhi tiga pemikiran pokok, yaitu: Marxisme, Eksistensialisme, dan fenomenologi (Iris Murdoch, 1976). Meskipun sebenarnya dasar eksistensialisme dari Sartre ini bukanlah suatu aliran filsafat, melainkan sebuah gerakan perlawanan pada filsafat tradisional (Walter Kaufmann, 1965). Sebab dalam eksistensialismenya, Sartre justru banyak menggarap permasalahan mengenai manusia. 

Sartre membahas tentang kebebasan menjadi seorang manusia, bahkan hasrat manusia untuk menjadi Tuhan. Pertanyaan yang sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau dalam istilah "orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? 

Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas bagi manusia, maka batasan untuk kebebasan dari setiap individu adalah juga kebebasan individu lainnya. Inilah prinsip terdalam dalam memahami filsafat eksistensialisme ini.

Makna Eksistensi Diri
Menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang berbeda daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada di luar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun sesuatu yang baru menjadi esensi dari eksistensialisme. 

Membuat pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan menjadi sadar akan tanggungjawabnya pada masa depan, adalah inti daripada eksistensialisme.

Sebagai contohnya, mau tidak mau kita terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri? Inilah makna eksistensi diri. 

Eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji, baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. 

Tentu saja hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, lalu menerimanya, walaupun misalnya tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.

Manusia yang Eksistensi
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, tidak ada sesuatupun yang mempunyai ciri atau karakter existere selain manusia. Hanya manusia saja yang bisa bereksistensi. Hanya manusia yang sanggup keluar dari dirinya sendiri, dan melampaui keterbatasan biologis lingkungan fisiknya dengan berusaha agar tidak terkungkung dari segala keterbatasan yang dimillikinya. 

Misalnya, orang cacad atau orang yang tidak memiliki kaki, dia mampu keluar dari dirinya, dan bisa berbaur dengan orang lain, tanpa harus memperdulikan kekurangan yang ada pada dirinya. Dia mampu berkreasi tanpa bantuan orang lain dan mampu menghasilkan uang dari apa yang telah diperbuat.

Para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses “menjadi” gerak yang aktif dan dinamis. Sebagaimana Sartre berdalil bahwa: “eksistensi mendahului esensi,” yaitu segala sesuatu baru dapat dimaknai ketika ia sendiri “eksis” atau “ada” terlebih dahulunya.

Pada titik ini, eksistensi sebagaimana dimaksudkan Sartre dan filsafat pada umumnya, adalah memenuhi dimensi ruang dan waktu. 
Apa yang dimaksudkan adalah, bahwa segala sesuatu yang bereksistensi pasti nyata.

Jadi, berdasarkan dalil landasan dasar utama eksistensialisme adalah “eksistensi mendahului esensi, maka seorang eksistensialis (menurut Sartre), adalah mereka-mereka yang meyakini kesahihan dalil eksistensi mendahului esensi, dimana segala sesuatu akan dapat dimaknai ketika ia eksis atau ada terlebih dahulunya.

Oleh: Abdy Busthan
« PREV
NEXT »

Tidak ada komentar