BREAKING NEWS
latest

728x90

Ads

468x60

header-ad

Fokus Mingguan

Slider
Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Politik. Tampilkan semua postingan

Ketua DPC Partai Garuda Siap Kawal Perubahan Untuk Kabupaten Nabire

Foto: Heru Hadiwijaya Ngagun (Ketua DPC Partai Garuda Kabupaten Nabire)

SUARA.NABIRE - Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Garuda di Kabupaten Nabire, Heru Hadiwijaya Ngangun, menegaskan bahwa Partai Garuda hadir dengan komitmen bersama untuk menghadirkan perubahan yang lebih baik di kabupaten Nabire.

Demikian komitmen tersebut ditegaskan Heru kepada awak media ini ketika ditemui di Sekertariat Partai Garuda yang terletak di Jln. Doto Kodim, Karang Tumaritis Nabire, pada Jumat hari (7/04/21) pagi.

"Dalam hal ini misi kami adalah perubahan. Kami ingin agar warga masyarakat Nabire khususnya yang bergabung dalam Partai agar kita lebih mengawal suatu perubahan yang sifatnya hakiki," ungkap Heru.

Ditambahkan Heru bahwa perubahan yang dimaksud tidak hanya dalam pribadi namun sifatnya universal. "Hal-hal yang menyangkut dengan pengembangan ekonomi, prospek pembangunan, dan pengembangan sumber manusia itu penting untuk kami genjot (tingkatkan). Untuk itulah kami hadir ditengah-tengah masyarakat," bebernya.

Dikatakannya bahwa Partai yang menganut ideologi Pancasila ini masuk ke Kabupaten Nabire pada Tahun 2016. Dimana ketika itu dirinya menjabat sebagai sekertaris partai, namun seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya Heru pun dipercayakan oleh DPP sebagai ketua DPC Partai Garuda di Kabupaten Nabire.

Terkait dengan jumlah pengurus partai, Heru mengatakan bahwa untuk DPC Partai Garuda di Kabupaten Nabire, cenderung tidak terlalu banyak pengurus, dan itu sudah merupakan komitmen Partai.

"Untuk pengurus di tingkat DPC, kami hanya beranggotakan 7 orang, dimana pengurus Distrik berjumlah 5 orang," terang Heru.

Ketika dikonfirmasi awak media terkait dukungannya terhadap salah satu Pasangan Calon (Paslon) dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Kabupaten Nabire, Heru dengan tegas mengatakan Partai Garuda mendukung Paslon nomor urut 01, yaitu Yufinia-Darwis,

"Kami mendukung Paslon Yufinia-Darwis karena beberapa hal, yaitu: kekuatan figur dan pemetaan kekuatan dilapangan. Dari hasil survey yang kami lakukan, pasangan ini cukup kuat. Dan kami melihat juga bahwa pasangan ini sangat santun dan berkomitmen terhadap apa yang sudah dijanjikannya kepada masyarakat," demikian ungkap Heru.

Dalam hal ini Heru berharap ke depannya Paslon Yufinia-Darwis tetap selalu konsisten pada prinsip yang sudah ada yaitu pemimpin itu adalah pelayan yang harus melayani konstituen.

"Dalam hal ini konstituen adalah rakyat. Memaksimalkan potensi pelayanan terhadap masyarakat itulah yang kami harapkan," jelas Heru.

Disamping itu, Heru juga berharap jika Paslon Yufinia-Darwis terpilih nanti, seyogyanya ada perhatian khusus terhadap sektor ekonomi di Kabupaten Nabire. "Seperti memberikan perhatian khusus kepada pedagang Orang Asli Papua (OAP)," demikian pungkas Heru Hadiwijaya Ngangun selaku Ketua DPC Partai Garuda Kabupaten Nabire (Red)

Editor: Yubelince Pekey

Dalil-Dalil Psikologi Humanistik Pertama


Pada perkembangan awal, perspektif psikologi humanistik dapat di ringkas ke dalam 5 (lima) prinsip utama atau biasa disebutkan dengan “dalil-dalil psikologi humanistik pertama” yang diartikulasikan dalam sebuah artikel James Bugental tahun 1964, dan selanjutnya diadaptasi oleh Tom Greening, seorang psikolog dan editor lama dari Journal of Humanistic Psychology, dengan menyatakan kelima prinsip dasar psikologi humanistik sebagai berikut:
  1. Manusia, sebagai manusia, mewakili jumlah bagian mereka—manusia. Dimana mereka tidak bisa direduksi menjadi komponen.
  2. Manusia memiliki eksistensi mereka dalam konteks unik manusia, serta dalam ekologi kosmik.
  3. Manusia sadar dan sadar menjadi sadar—yaitu, mereka sadar. Kesadaran manusia selalu mencakup kesadaran diri sendiri dalam konteks orang lain.
  4. Manusia memiliki beberapa pilihan dan dengan itu, bertanggung jawab.
  5. Manusia adalah disengaja, memiliki tujuan, sadar bahwa mereka menyebabkan peristiwa masa depan, dan mencari makna, nilai, dan kreativitas.

Berdasarkan pada dalil-dalil di atas, kemudian di adopsi pendekatan holistik demi eksistensi manusia dan memberikan perhatian khusus terhadap fenomena seperti: kreativitas, kehendak bebas, dan potensi dalam diri manusia. Hal ini di dorong dengan melihat pribadi manusia sebagai “manusia seutuhnya" yang juga lebih besar daripada jumlah bagiannya, dan mendorong eksplorasi diri dari pada studi perilaku pada orang lain.

Maka, kajian bidang psikologi humanistik kemudian mengakui aspirasi spiritual sebagai bagian integral dari jiwa manusia, yang tentunya berhubungan dengan bidang yang muncul dari psikologi transpersonal.

Karena itu, humanisme merupakan paradigma pendekatan pedagogis, yang percaya bahwa proses kegiatan belajar dipandang sebagai “tindakan pribadi” untuk memenuhi “potensi” seseorang. Sebab sebagai paradigma berlajar, humanisme muncul pada tahun 1960, yang berfokus pada kebebasan, martabat, dan potensi yang terdapat dalam diri insan manusia, dengan asumsi sentralnya bahwa manusia bertindak dengan intensionalitas dan nilai-nilai (Huitt, 2001).

Term atau istilah pendidikan humanistik umumnya digunakan untuk menunjuk berbagai teori pendidikan dan praktek yang berkomitmen untuk pandangan dunia dan kode etik humanisme, yaitu positing peningkatan pembangunan manusia, kesejahteraan dan martabat sebagai tujuan akhir dari semua pemikiran dan tindakan manusia—di luar agama, ideologi, atau cita-cita nasional dan nilai-nilai.

Pokok Ajaran Humanisme

Berdasarkan kajian panjang filosofis dan moral yang merupakan tradisi dari Nabi-Nabi Alkitab, dan untuk filsuf Yunani, selanjutnya Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Anak, merumuskan komitmen humanisme lebih lanjut, yang menyiratkan pembinaan 3 (tiga) pokok ajaran fundamentalnya, yaitu sebagai berikut:

Filosofis, yang terdiri dari konsepsi manusia—pria dan wanita—sebagai makhluk otonom dan rasional dan rasa hormat yang mendasar bagi semua individu manusia berdasarkan yang diberkahi dengan kebebasan kehendak, berpikir rasional, kesadaran moral, imajinatif dan kekuatan kreatif.

Sosial-politik, yang terdiri dari etika universal kesetaraan manusia, timbal balik, solidaritas dan tatanan politik yang pluralistik, adil dan demokrasi manusiawi.

Pedagogis,
yang terdiri dalam komitmen untuk membantu semua individu untuk mewujudkan dan menyempurnakan potensi mereka dan "menikmati". Di mana dalam kata-kata Mortimer Adler (2015), berbunyi.. "As fully as possible all the goods that make a human life as good as it can be” (semua barang semaksimal mungkin akan membuat kehidupan manusia menjadi baik).

Oleh: Abdy Busthan

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Pembelajaran Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang: Desna Life Ministry

Toleransi versus Intoleransi Dalam Realitas Demokrasi Indonesia yang Syarat Pertikaian



Oleh: Abdy BusthanSetiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, setidaknya membentuk warna-warni dalam berbagai aspek kehidupan. Baik itu aspek ekonomi, budaya, psikologi, agama, dan lain sebagainya. Warna-warni kehidupan ini memang harus terjadi dalam satu garis lurus kehidupan masyarakat plural (jamak)—lebih dari satu. Ini adalah kenyataan aksiomatis.

Kendati demikian, dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, warna dan warni kehidupan ini tidak dengan serta-mertanya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebab perbedaan demi perbedaan yang muncul, bertendesi membentuk apa yang kita kenal dengan “konflik”. Ini sangat beralasan! Mengingat berbagai konflik horizontal bahkan vertikal, kerapkali datang menghancurkan tatanan kehidupan bersama.

Ironisnya, dalam derajad tertentu, tidak jarang negara terjebak dalam kontrolnya yang berlebihan atas kehidupan beragama. Akibatnya, instrumen hukum pun menjadi rentan terhadap sesuatu yang multi-tafsir dan multi-spekulatif. Dampaknya adalah bahwa hukum agama kerapkali ditinggikan di atas hukum sipil yang semestinya bebas dari bias agama.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, rangkaian konflik akibat perbedaan agama memang menjadi kenyataan yang sulit terhindarkan. Perbedaan, yang sejatinya bisa menjadi roh kemajuan sebuah peradaban, justru menjelma sebagai lahan subur bagi bertumbuhnya pohon kekerasan, yang memecah belah umat beragama hingga berujung pada tragedi berdarah dan memakan banyak korban.

Dimana-mana kehidupan pun terasa penuh dengan ketegangan dan kecurigaan terhadap sesama. Umat tidak lagi melihat perbedaan agama sebagai sesuatu yang perlu dihargai melalui toleransi yang mendalam, tetapi perbedaan justru menjadi muara tempat mengalirnya intoleran yang sangat anarkistis. Pada titik ini, perbedaan akhirnya disingkirkan demi menegakkan prinsip Jihad yang tidak mengikuti Sunnah Rasul.

Intoleransi pun menyebar dalam bentuk kebencian, rasisme dan diskriminasi dalam berbagai wujud. Dalam keadaan demikian, maka sejatinya esensi “toleransi” dalam kehidupan bersama mesti didengungkan, sekaligus dimaknai kembali.

Pemahaman Toleransi
Secara etimologis, kata “toleransi” berasal dari kata “tolerare” dalam bahasa Latin, yang artinya: “dengan sabar membiarkan sesuatu”. Kemudian pengertian ini berkembang secara luas menjadi suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan yang berlaku di masyarakat, dimana seorang di tuntut untuk bisa menghargai atau menghormati setiap tindakan yang dilakukan orang lain (Busthan Abdy, 2017:20-21).

Seorang sejarawan politik Amerika, Zagorin Perez (2003), menjelaskan bahwa, toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.

Contohnya toleransi beragama, dimana para penganut mayoritas dalam masyarakat, harus menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lain yang berbeda dengannya. Disamping itu, istilah toleransi dapat pula didefinisikan sebagai “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dll.

Rainer Forst (2003), filsuf dan ahli politik asal Jerman, merumuskan empat tingkatan toleransi dalam bukunya yang berjudul “Toleranz im Konflikt: Geschichte, Gehalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs”, yaitu sbb:

Erlaubnis, adalah tingkatan pertama yang “sekedar membiarkan ada” atau menerima “kehadiran” orang lain. Pada tingkatan awal ini, kelompok mayoritas hanya sekedar membiarkan adanya kelompok minoritas, dengan segala budaya dan cara hidupnya, tanpa pemahaman yang mendalam. Di tingkat ini, hubungan kekuasaan yang tidak adil masih amat terasa, namun setidaknya ada “penerimaan” akan kehadiran orang lain yang berbeda.

Koexistenz, adalah tingkat kedua yang adalah “berada bersama”, yaitu muncul dan terjalin hubungan yang setara dan beradab antara kelompok-kelompok yang berbeda budaya dan cara hidup.

Achtung, adalah tingkatan ketiga, yang ditandai dengan terjalinnya hubungan yang berpijak pada rasa hormat terhadap orang lain. Pada tingkatan ketiga ini, berbagai kelompok yang berbeda akan melihat satu sama lain sebagai setara (Gleichheit) dalam hal moral dan budaya.

Anerkennung
, adalah tingkatan tertinggi, yang lebih merupakan tingkat pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan. Termasuk didalamnya pengakuan dan penghargaan pada perbedaan budaya dan cara pandang di dalam bidang agama, politik dan ekonomi.

Rumusan empat tingkatan toleransi yang di gagas Forst di atas, saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Setiap tingkatannya berpijak pada tingkatan lainnya. Sederhananya, toleransi harus dimulai dari penerimaan akan keberadaan orang lain terlebih dahulu, hingga mencapai pengakuan dan penghargaan yang mendalam pada setiap perbedaan yang dihadirkan orang lain.

Prinsip mendasar toleransi adalah bahwa kita tidak akan mungkin menghargai orang lain (anerkennung) tanpa terlebih dahulu menerima (erlaubnis), menjalin hubungan (koexistenz), dan menjadi setara dengan yang lain (achtung). Singkatnya, setiap perbedaan yang dihadirkan orang lain, haruslah di hargai dalam tatanan kehidupan bersama. Jika tidak, toleransi sulit mendapatkan tempat untuk bersemayam di situ.

Demokrasi Minus Toleransi
Istilah “demokrasi” berasal dari kata Yunani, yaitu dengan penggabungan dua katanya: demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), sehingga demokrasi adalah kekuasaan oleh rakyat. Sederhananya, apapun yang terjadi, rakyat adalah penentu kekuasaan. Pada titik ini, kesetaraan dan keterbukaan merupakan hal urgen yang harus dilaksanakan.

Menurut Busthan Abdy (2017:24), teori demokrasi selalu berdiri pada satu garis start yang sama, yakni kesetaraan diantara insan manusia. Setiap individu, dalam dirinya, mempunyai harkat dan martabat yang tetap sama. Karenanya, setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang kaya atau orang miskin, pria atau wanita, kulit putih atau hitam, bahkan agama minoritas atau agama mayoritas. Dari kesetaraan tersebut, selanjutnya lahirlah sebuah keterbukaan.

Dalam transisi demokrasi dunia, negara Indonesia disamping negara Turki, selalu dianggap sebagai “maskot” dari perkembangan demokrasi yang berjalan dalam iklim mayoritas penduduk Muslim. Anggapan ini bisa benar, tetapi bisa juga tidak. Benar, jika demokrasi itu berjalan dengan semestinya, tanpa adanya diskriminasi suku, agama, status sosial dan lain sebagainya. Tidak benar, jika terjadi hal sebaliknya, di mana diskriminasi suku, agama, status sosial dan lain sebagainya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, fakta realitas tentang pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (baca: demokrasi) ini rasanya bagaikan seorang menulis di atas air.

Bagaimana tidak, demokrasi Indonesia ibarat emblem kosong yang tak bermakna. Ya, demokrasi terlihat berjalan tanpa toleransi! Demokrasi tidak menyentuh sisi terdalam tentang bagaimana manusia harus beradaptasi dengan hal-hal yang berbeda dengannya. Pada keadaan seperti begini, kebebasan hak dan kewajiban pun dimarjinalisasikan dengan nyaris sempurna.

Demokrasi, menurut filsuf Karl Popper (1957) dalam bukunya berjudul Open Societies and Its Enemies, adalah masyarakat terbuka. Ia akan menentang segala bentuk pemaksaan, baik menggunakan suap ataupun todongan senjata. Ia akan memberikan ruang kehidupan untuk semua orang, apapun latar belakangnya.

Dalam masyarakat demokratis di negara Indonesia, dua prinsip di atas terus berada dalam ancaman. Manusia kerapkali di dibeda-bedakan menurut ras dan agamanya. Yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Orang-orang dengan latar belakang tertentu juga tidak bisa terlibat di dalam pemerintahan, semata karena ras, agama ataupun keyakinan politiknya yang berbeda.

Sebut saja persoalan diskriminasi yang di sertai aksi rasisme terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang yang terjadi bulan lalu. Tindakan persekusi serta rasisme terhadap mahasiswa Papua yang dilakukan beberapa kalangan ini, sebenarnya sudah menghancurkan tatanan nilai-nilai kebersamaan di medan merdeka ini!

Seharusnya perbedaan ras di junjung tinggi dalam iklim demokrasi di negara ini. Namun justru rasisme dialami oleh masyarakat Papua secara fisik, ekonomi, perilaku, serta cara pandang masyarakat terhadap orang Papua.

Ya, rasisme ini terjadi karena adanya generalisasi atau stereotype negatif masyarakat terhadap orang Papua seperti: “tidak berpendidkan”, “tukang mabuk”, “kasar" dan lain sebagainya. Stigma inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan mendalam, dan berpotensi dijadikan legitimasi bagi oknum masyarakat atau aparat untuk melakukan tindakan rasisme terhadap ras dan suku Papua.

Hal lainnya lagi, tentu masih teringat di ingatan kita, Basuki Tjahya Purnama, alias Ahok, yang pada tahun 2017 di demo oleh kelompok FPI karena berasal dari etnis dan agama minoritas. Orang keturunan Cina nyaris tak mungkin terlibat di dalam politik guna mempengaruhi pembuatan keputusan politik.

Orang beragama minoritas juga nyaris tak dapat terlibat di dalam sistem pemerintahan negara, apalagi menjadi pemimpin di negeri ini. Inilah diskriminasi terstruktur. Ya, diskriminasi adalah udara sehari-hari yang selalu saja dihembus oleh kelompok minoritas di Indonesia, mulai dari ras minoritas, agama minoritas, sampai dengan kaum wanita, yang juga tergolong dalam minoritas.

Kedua fenomena di atas, adalah contoh dari sekian banyak fenomena yang melukiskan wajah demokrasi Indonesia. Sebuah demokrasi yang konon ‘katanya’, datang dengan segelintir harapan akan persamaan hak dan kewajiban. Juga yang ‘katanya’ hadir dengan kesetaraan dan keterbukaan akan perbedaan dari keragaman suku, etnis, budaya, adat istiadat, serta agama dalam masyarakatnya.

Namun kenyataannya, semuanya ini hanya fatamorgana semata. Harapan demi harapan seakan redup dalam bayang-bayang intoleran dari kelompok-kelompok yang haus akan kekuasaan. Bahkan lenyap oleh diskriminasi kekuasaan dari kolaborasi sang penguasa dan si pengusaha sebagai habitat utama dalam negara ini.

Jika saja, toleransi dikembalikan kepada tempat asalnya (baca: makna sebenarnya), maka ia akan selalu menjadi sebuah keniscayaan yang terus dikobarkan di medan merdeka ini. Sehingga bukan tidak mungkin bangsa ini akan tetap terkenang dengan kemakmuran dalam keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Dikutip dari buku:
Negara bukan Agama! Agama bukan Negara! (hal.19-26)
Penulis: Abdy Busthan
Tahun terbit: 2017
ISBN: 978-602-6487-05-6
Penerbit: Desna Life Ministry
Kota Penerbit: Kupang

Kafir: Sebuah Patologi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara



Ada ungkapan seperti: “dia itu orang kafir" ; "orang kafir itu tidak pantas menjadi pemimpin" ; "orang-orang kafir itu tidak akan masuk syurrga”..., dan bla..bla...bla...lainnya

Dalam konteks bernegara, kalimat-kalimat di atas sesungguhnya merupakan sebuah kecurigaan mendalam terhadap kelompok lain. Lebih tepatnya kata ini adalah “penistaan” terhadap agama lain.

Akhir-akhir ini, memang istilah “kafir” atau mengafirkan orang, mulai mewabah lagi di medan merdeka ini. Beberapa Pemuka Agama yang justru menjadi panutan umat, muncul bersama klaim-klaim arogansinya, seraya menuduh orang yang tidak sepaham dengan sebutan “orang kafir”.

Mereka muncul mendakwahkan kebenaran namun seakan-akan menganggap dirinya sendiri paling benar, paling suci dan paling tak berdosa dibandingkan dengan orang lain, sekaligus dari ajaran yang ia dakwahkan tersebut! Dan celakanya lagi, mereka tidak menyadari bahwa dengan melakukan hal seperti itu, sesungguhnya mereka sudah menurunkan derajad kesucian Allah SWT.

Makna "Kafir" Yang Sesungguhnya
Jika berkenan, mari kita sejenak mendalami makna dari istilah 'kafir' ini secara cermat dan tidak membabibuta. Mungkin kata ini sejak kecil sudah melekat pada kita. Dan makna yang tidak tepat ini turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi, yang pada akhirnya kita menerimanya dengan taken for granted saja, tanpa harus memeriksa lagi kebenaran makna yang sesungguhnya terkandung di dalamnya.

Dan seandainya mereka-mereka yang sering dengan sombongnya menggunakan kata ini untuk menjustifikasi orang lain, mau sedikit menjadi cerdas dengan membuka Al-Quran, maka tentu mereka akan menemukan makna qur’aniyah dari kata ‘kafir’ ini yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan agama secara langsung.

Ya, makna qur’aniyyah dari istilah ‘orang kafir’ bisa kita temukan di dalam surat Al-Kahfi ayat 100 dan 101, sebagai berikut:



Q.S. 18:100, “dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.”

Q.S. 18:101, “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (diterjemahkan di terjemahan qur’an bahasa Indonesia dengan kata ‘memperhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”

Dari dua ayat di atas, kita bisa menemukan definisi qur’aniyyah dari kata ‘kafir’ secara jelas, bahwa Al-Kafiriin atau orang-orang kafir adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar.

Maka demikian, apakah orang yang kebetulan ketika lanjut usia ia menjadi tuli atau menjadi buta karena usia tua, apakah ia berarti ditakdirkan akan mati dalam keadaan kafir? Atau, jika seseorang kebetulan ditakdirkan tuli atau buta sejak lahir, apakah artinya ia ditakdirkan untuk hidup sebagai orang kafir? Sebab sama sekali bukan keinginannya untuk dilahirkan sebagai orang buta atau tuli. Apakah Allah menakdrkannya kafir karena kebetulan lahir sebagai orang tuli atau buta?

Jawabannya adalah tidak! Semua orang, termasuk mereka yang buta atau tuli, diberikan Tuhan kesempatan untuk mati kelak dalam keadaan diridhoi-Nya. Jika demikian, mata dan telinga mana yang tertutup? Jawabannya bisa kita dapatkan pada Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46.


Q.S. 22:46, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”

Dari definisi Qur’an di atas maka jelaslah bahwa yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama, tetapi mereka yang mata dan telinga qalb di dalam dadanya tidak berfungsi. Asal kata ‘kafir’ dan ‘kufur’ adalah ‘kafara’ yang artinya ‘tertutup’ (kata ini diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘cover’ artinya penutup). Artinya bahwa ‘kafir’ adalah orang yang masih tertutup dari ‘Al-Haqq’ (kebenaran mutlak).

Mata dan telinga yang di dalam dada, maksudnya adalah mata dan telinga yang adanya bukan pada level jasad kita, tapi lebih dalam lagi. Mata dan telinga yang dimaksud adalah mata dan telinga yang ada dalam qalb kita, dalam dada/shuduur, yang ada pada level jiwa (nafs). Shuduur artinya ‘dada spiritual’, sebagaimana hati yang biasa kita kenal bukanlah liver maupun jantung, tapi lebih kepada aspek afektif manusia yaitu hati nurani (‘hati spiritual’).

Nah pertanyaannya, jiwa atau nafs yang mana? Tentu kita mengetahui bahwa ada tiga unsur yang dipersatukan dalam membentuk kesatuan manusia yang hidup, yaitu Ruh, Nafs (jiwa), dan Jasad. Jiwa inilah, yang di dalam ajaran Muslim diabadikan dalam Q.S. 7:172, yang dahulu sekali di sumpah di hadapan Allah untuk menjadi saksi (syahid, perhatikan kata bahasa arabnya: syahidna, kami bersaksi) mengenai siapakah Rabb mereka.

Selanjutya, Fahmi Huwaidi (1999) dalam bukunya "Muwathinun La Dzimmiyyun" menyatakan bahwa sebenarnya istilah “kafir dzimmy” bukanlah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Islam. Ia sudah ada sejak kabilah-kabilah Arab mulai bersekutu satu dengan yang lainnya. Islam hanya melanjutkan apa yang sudah berlaku saja. Begitu pula dengan istilah “jizyah”, yang sudah dikenal bahkan sejak masa Kisra di daerah Persia. Islam, lagi-lagi hanya meneruskan sistem tersebut.

Maka dengan demikian, upaya penyesuaian sistem tersebut di masa sekarang sangat dimungkinkan. Fahmi menghadirkan 4 (empat) argumen untuk menguatkan ide tersebut:

  1. Pertama, prinsip umum bahwa umat manusia (apapun agamanya) telah dimuliakan oleh Allah (Al-Isra’: 70).
  2. Kedua, Al Qur’an mendorong umat Islam agar berlaku baik dan adil bagi non-Muslim yang tidak memerangi mereka (Al-Mumtahinah: 8). Diantara sikap adil tersebut adalah memberi hak dan kewajiban yang sama.
  3. Ketiga, esensi dari perlindungan Rasulullah Saw pada kafir dzimmy. Rasul dalam hal ini ‘pasang badan’ untuk golongan ini. Menunjukkan mereka memiliki kehormatan yang sama.
  4. Keempat, Piagam Madinah yang secara tersurat dan tersirat menempatkan Yahudi-Nasrani sebagai warga “negara” Madinah.

Empat argumen Fahmi di atas merupakan bentuk “ijtihad”, dalam artian bahwa pintu ijtihad tidaklah tertutup. Sebagaimana kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman) yang berada pada kekhalifahan terakhir pada tahun 1876 sudah menghapus istilah ‘dzimmy’ ini menjadi “muwathin” (warga negara), yang meskipun penghapusan ini termasuk ijtihad politik, namun substansi utamanya adalah agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Nah, bagaimana dengan konteks sekarang? Kekhalifahan Islam sudah tidak ada lagi di muka bumi. Negara-negara Islam sudah berdiri sendiri-sendiri. Dalam artian mereka tidak lagi terikat dengan kekhalifahan. Maka dengan sendirinya istilah “kafir dzimmy” bersama dengan segala aturan-aturan tentangnya, secara otomatis gugur bersamaan dengan hilangnya sistem kekhalifahan. Kendatipun istilah “kafir dzimmy” dapat di ubah menjadi "muwathin" (warga negara) pada sistem pemerintahan Islam.

'Kafir' dalam Konteks Indonesia
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana konsep “kafir” dalam konteksnya dengan negara Indonesia? Tentu saja di negara yang menganut sistem demokrasi, istilah kafir sangat-sangat tidak relevan. Indonesia tidak diperuntukkan untuk dikelola oleh kaum mayoritas Muslim saja. Sebab demokrasi di Indonesia memungkinkan siapa saja berhak mengambil peran politik.

Untuk itu, penggunaan kata “kafir” tidak dapat dibenarkan sama sekali di ruang publik Pancasilais. Sebab jika kata ini digunakan dengan harbabiruk (boleh di baca: “seenaknya”), maka bangsa Indonesia akan semakin berada di dalam krisis, di mana Agama akan dianggap sebagai stasiun akhir dari sebuah kultus yang harus dipaksakan kepada siapa saja, kapan sajam dan di mana saja, serta dengan cara apa saja. Dan ini sangat berbahaya.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam iklim demokrasi Indonesia sangatlah dimungkinkan bagi kelompok-kelompok agama mendukung satu sosok atau figur yang hanya mewakili agamanya saja. Hal ini lumrah dan sah-sah saja. Namun sekali lagi, penggunaan kata “kafir” atau kata “musyrik” misalnya, haruslah terbatas pada mimbar keagamaan saja (wilayah privat).

Istilah apapun yang digunakan untuk menyebutkan kelompok lain di luar agama yang kita anut, terbatas pada ranah agama itu sendiri. Sebab sekali lagi, dalam demokrasi tidak ada istilah kafir dan yang sejenis. Sebagaimana dalam konteks perpolitikan global, tidak kurang banyaknya pemimpin negara-bangsa yang juga beragama Muslim. Tapi pada kenyataannya, jauh panggang dari apinya. Muslim ataukah non-Muslim, sama sekali tidak menjamin kualitas kepemimpinan.

Tanpa tasbih, sorban, jubah, Presiden Soekarno dan Muhamad Hatta, misalnya, berhasil mengobarkan perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan NKRI. Mandela yang bukan Muslim, berjaya dan dihormati di Afrika. Gandhi yang Hindu, juga menjadi kecintaan di negara India. Bahkan Chavez yang Katolik, dipuja-puji di Venezuela, dll.

Agama dan ajarannya tidak bisa dijadikan sandaran pengelolaan kehidupan bernegara yang di dalamnya terdiri dari berbagai etnis, budaya dan agama. Tetapi bukan berarti para pemeluknya harus kehilangan kewarasan berpikir, dan kejernihan hati dalam memahami doktrinnya masing-masing.

Kita perlu melihat ke belakang karena kehancuran sebuah bangsa di masa lalu, cenderung terjadi akibat agama-agama yang selalu ditunggangi para pegiat politik dengan seperangkat ambisinya untuk berkuasa. Dan nyaris semua agama dunia pada era sekarang ini—termasuk NKRI—memiliki seperangkat riwayat kelam akibat kolaborasi ‘penguasa’ melalui lembaga agama ini.

Semua ayat suci yang sejatinya diturunkan Tuhan ke muka bumi, tak cukup hanya dijadikan korpus semata. Ia harus dipahami dengan arif dan bijaksana. Ya, keniscayaan seperti inilah yang selanjutnya menyita habis kehidupan para pembawa kebaikan dan pembawa keadilan untuk mengasihi dan menyayangi sesamanya pada setiap zaman ke zaman. Jauh di lubuk hati, mereka sadar dan paham betul, waktu pasti akan melindas. Maka tak ada pilihan lain kecuali hidup saling mengasihi bersama waktu yang berawal tapi tak berakhir. Jalan terbaik mewujudkan itu adalah, menjadi agen kebaikan dari waktu ke waktu untuk manusia dan makhluk Tuhan lainnya, demi menghadirkan kebaikan dan keadilan. Sebab dengan berbuat kebaikan itulah maka nama mereka dapat dikenang dan harum sepanjang masa. Hidup mereka pun abadi dalam sejarah manusia.

Mugkin kita masih ingat sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (24 Januari 2017) pernah mengajukan keberatan atas sebutan “kafir” kepadanya. Ahok saat itu sempat mengatakan: "Saya keberatan saya disebut kafir. Saya percaya Yesus Tuhan saya bukan kafir. Saya berhak menjadi apa saja di negeri ini."

Ya, sesungguhnya kafir-mengkafirkan seseorang di alam demokrasi ini, adalah suatu kebodohan, sekaligus kedangkalan dalam berbangsa dan bernegara. Ini sebuah patologi! Tepatnya, penyakit di alam demokrasi.

Profesor Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals Arab Saudi, Sumanto al Qurtuby (2016), dalam artikelnya menyatakan bahwa, sesungguhnya status “kafir-sesat” sangat relatif-subyektif.

Kita bisa saja memandang sesat atas praktik keagamaan orang lain. Tetapi sadarkah kita bahwa orang lain itu juga bisa jadi memandang sesat terhadap praktik keagamaan yang kita lakukan. Jadi tidak ada label “kafir-sesat” yang bersifat “obyektif” dan “inheren”, karena faktanya apa yang kita anggap “benar” dan “legitimate” itu belum tentu dianggap “benar” dan “legitimate” di mata orang lain.

Sebagaimana sudah di bahas sebelumnya bahwa sesungguhnya makna kata “kafir” adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Nah, jika saja kata ini muncul di depan publik Pancasilais yang menjunjung tinggi kesamaan hak dan kewajiban, lalu kemudian dilontarkan kepada umat Nasrani, maka sesungguhnya hal itu adalah sebuah penghinaan terhadap agama Kristen, yang harus diberikan sangsi tegas melalui ranah hukum yang berlaku di Republik tercinta ini. Pada saat yang sama juga merupakan arogansi yang mendahului penghakiman Tuhan.

Kristen bukan kafir! Sebab agama Kristen percaya kepada Allah YAHWEH, yakni Allah Abraham, Isak dan Yakub, bahkan Allah Ismail! Sebagaimana kitab Mazmur 33:12 menuliskan, “Berbahagialah bangsa yang Tuhannya adalah YAHWEH”.

Perlu ditegaskan bahwa Tuhan Alkitabiah bukan merupakan hasil suatu deskripsi manusia. Dia menyatakan Diri-Nya sendiri kepada Abraham, Yakub, Musa dan para Nabi, dan Dia turun ke dunia untuk memanifestasikan Diri-Nya sendiri secara badaniah dalam wujud pribadi Yesus dari Nazaret. Dimana Yesus berkata: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9).

Jadi pada titik ini umat Kristen tidak menyusun konsep Tuhan Alkitabiah. Tuhan yang sendiri menyatakan DiriNya, yaitu HakikatNya, NamaNYa, KemuliaanNya, Hukum-hukumNya, PengadilanNya, KasihNya, dan KesucianNya. Jika semuanya itu disingkirkan melalui klaim-klaim sesat yang tidak terukur kebenarannya, maka berarti tidak ada maujud yang dinamakan Kristen!

Inilah yang harus dipahami agar kita tidak mengatakan kata “kafir” pada agama lain dengan seenaknya, sehingga tidak terperosok dalam klaim benar-salah.

Refleksi Bersama
Sebagaimana sudah ditekankan sebelumnya bahwa akhir-akhir ini kita kerapkali mendengarkan kata “kafir” yang keluar dari para Tokoh Agama dan pemeluk Islam radikal, baik di media sosial, melalui tulisan teks, maupun melalui video, dll. Pertanyaannya, siapakah manusia yang layak mengkafirkan orang lain di negara Pancasila ini?

Menurut UU No 40 tahun 2008, telah dinyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara dengan keberagaman. Tidak ada orang, kelompok, institusi yang berhak berlaku SARA, mengelompokkan orang hanya karena, suku, etnis, agama.

Berdasarkan UU di atas, jelaslah bahwa eksklusivitas dari satu kelompok agama tertentu, adalah melawan hukum di Indonesia. Indonesia negara besar yang akan hancur jika semua pihak merasa paling benar, sementara golongan kelompok lainnya merasa paling minoritas serta dirugikan. Harus ada “warning” dalam tatanan hidup bersama.

Jika tidak, maka bukan tidak mungkin bangsa ini akan mengalami kehancuran yang sama seperti terjadi di negara-negara timur tengah yang hancur bukan karena kelaparan, atau soal ekonomi. Namun karena piciknya para pemimpin agamanya bermain politik demi kekuasaan duniawi.

Sungguh sangat tidak elok rasanya, jika semua pihak menganggap sesamanya adalah ‘kafir’ dan harus beragama a, b, c, dengan pemaksaan. Kita semua harus mengenal arti kata “dakwah” itu sendiri, sebab konsep dakwah yang sejati adalah dakwah yang mengagungkan keberagaman tanpa paksaan. Untuk itu, marilah kita sebagai elemen berbangsa, kita sama-sama menjaga tatanan hidup dengan menghindari segala bentuk kebutuhan untuk memastikan ekslusivitas, namun menjadi masyarakat yang saling berangkulan satu dengan lainnya dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika).

Oleh: Abdy Busthan
***
Tulisan ini di ambil dari Buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
Penulis: Abdy Busthan
ISBN: 978-602-6487-05-6

Mashab Humanisme; Titik Awal dan Pengertian



Humanisme merupakan suatu istilah umum dari berbagai perbedaan pemikiran yang diletakkan sebagai “center for a way out” (pusat solusi atau jalan keluar), yaitu dalam menanggapi isu-isu yang banyak berhubungan dengan “manusia”. Dalam hal ini humanisme menyatakan bahwa alasan untuk segala keberadaan, adalah kebahagiaan manusia. Dalam artian bahwa manusia dalam kemanusiaannya, akan memanusiakan dirinya secara lebih manusiawi

Titik Awal Humanisme
Semula humanisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mempromosikan harkat dan martabat manusia. Sebagai pemikiran etis yang menjunjung tinggi keberadaan insan manusia, humanisme menekankan hal-hal tentang harkat, peran, dan tanggungjawab, seturut keberadaan manusia itu sendiri. Singkatnya manusia mempunyai kedudukan yang istimewa dan berkemampuan lebih dari mahluk lainnya.

Menurut Busthan Abdy (2017:7), istilah humanisme berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Latin, yaitu kata “humanis” dan “isme”. Humanis adalah manusia dan isme berarti paham atau aliran. Pandangan lainnya menyatakan istilah humanisme berasal dari kata “humanitas”, yang berarti pendidikan manusia. Dalam bahasa Yunani disebutkan sebagai “paideia”. Dimana kata ini populer pada masa Cicero dan Varro pada abad ke-14.

Ungkapan gerakan humanisme ini lahir di Italia dan menyebar ke seluruh Eropa. Kebetulan sistem pendidikan pada waktu itu menggunakan mata pelajaran “kesenian-kesenian bebas” yang terdiri dari seni kata (pramasastra, logika, retorika) dan seni benda (ilmu ukur, ilmu falak, dan musik).

Namun, jika ditelusuri kembali ke belakang, latar belakang munculnya humanisme sebenarnya disebabkan oleh tekanan-tekanan atas kebebasan manusia yang dilakukan oleh para penguasa dan pemuka agama pada abad-abad pertengahan di Eropa.

Humanisme sudah dikenal dan meluas sejak zaman perkembangan falsafah Yunani, yaitu dalam pemikiran Socrates dan para Sophis. Karena adanya dominasi dan sikap otoriter dari gereja pada saat itu, maka timbullah kondisi dimana aspirasi manusia sebagai individu diredam dan dibungkam.

Ketertutupan agama yang terorganisasi dengan konsekuensi pemberangusan manusia telah meletus dalam gerakan Renaissance. Menyusul kemunculan dua gerakan reformasi hasil Renaissance, yaitu reformasi Luther dan reformasi dalam betuk Humanisme, yang kemudian di susul dengan gerakan Renaissance dan Pencerahan.

Pada titik ini, maka Humanisme merupakan usaha untuk menekan kembali bagaimana peran manusia dan kemanusiaannya dalam dunia dan alam semesta.

Pengertian Humanisme
Mangun Harjana (1997) mengatakan bahwa pengertian humanisme adalah pandangan yang lebih menekankan martabat manusia dan kemampuannya. Menurut pandangan ini manusia bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri dan dengan kekuatan sendiri, maka ia (manusia) juga mampu mengembangkan diri sendiri dan memenuhi kepatuhan sendiri demi mengembangkan diri dengan memenuhi kepenuhan eksistensinya menjadi lebih paripurna (lengkap).

Seorang Teolog Protestan, Yohanes Verkuyl (2008), menjelaskan bahwa, humanisme sebenarnya merupakan “suatu sifat yang hanya berorientasi pada dunia ini (saeculum) dan menolak serta mengabaikan dunia kekekalan (aeternum)”. Pendapat ini nampak jelas dalam humanisme sekuler yang merupakan paham budaya dan pemikiran mengenai hidup yang didasarkan pada sikap “menolak Tuhan dan hal-hal yang bersifat adikodrati”, dan menggantikannya dengan “diri sendiri (self), ilmu pengetahuan (science), dan kemajuan (progress)”.

Petrarca (1304-1374), seorang pujangga Italia yang sangat terkenal, pernah menuliskan sepenggal kalimat dalam kumpulan syair-syairnya yang berbunyi, ..“Sebenarnya manusia tak usah mengakui kuasa apapun diatasnya; kaidah dan pusat hidup manusia, ialah pribadinya sendiri”.

Dari apa yang dikatakan Petrarca, nampak penonjolan “kekuasaan manusia” dan yang berdampak negatif dengan penolakan akan hal-hal adikodrat, dan yang dengan sendirinya penolakan ini adalah merupakan pemberontakan manusia terhadap otoritas Tuhan sehingga berdampak terus pada perkembangan selanjutnya—dimana banyak kalangan kemudian berbeda penafsiran dengan kalimat tersebut di atas.

Dalam penggunaan oleh F.C.S Schiller (2008) dan William James (1958, 1965), humanisme diangkat sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan absolutisme filosofis. Ini tidak kembali ke pandangan protagoras. Alasannya, pandangan Schiller dan James dipandang melawan hal-hal absolut metafisis dan bukan yang epistemologis, yaitu dengan melawan dunia tertutup dari idealisme absolut. Karena itu, maka penekanannya pada alam atau dunia yang terbuka, serta pluralisme dan kebebasan manusia.

Beberapa kalangan justru membawa pemahaman akan humanisme ini pada lapangan humanisme sekuler yang memahami berdasarkan perspektif budaya dan pemikiran mengenai hidup yang didasarkan pada sikap “menolak Tuhan" dan "hal-hal yang bersifat adikodrati”, lalu menggunakan konsep Verkuyl di atas dengan menegaskan 3 hal: yaitu—1) “diri sendiri” (self), 2) ilmu pengetahuan (science) dan 3) kemajuan (progress), untuk membenarkan pandangan humanis yang menjurus kepada abortus, kumpul kebo, membunuh, ketidakadilan, kejahatan serta berbagai peyimpangan etis lainnya yang kemudian dianggap sebagai urusan manusia yang tidak perlu didasarkan pada ukuran “kemutlakkan Tuhan”.

Namun sebenarnya, jika di kaji lagi secara positif tentang kalimat Petrarca di atas, maka sebenarnya ia ingin menjelaskan dengan pasti bahwa humanisme telah mengangkat kembali manusia dari kebodohan jamannya dan membuka jalan bagi manusia, sehingga manusia mampu untuk mengembangkan segenap kemampuan-kemampuan intelektual yang sudah dimilikinya dalam mengamati gejala alam.

Dalam hal ini, konsep humanisme sebenarnya hanya pada perihal untuk mengembalikan manusia pada rasa peri-kemanusiaannya, tetapi yang substansialnya berbeda dengan peri-kemanusiaan yang terdapat dalam agama.

Dalam humanisme, peri-kemanusiaan adalah usaha mencari nilai-nilai yang ditempuh dengan cara-cara dan potensi dari dalam diri manusia itu sendiri. Nilai-nilai peri-kemanusiaan adalah hasil dari kebebasan dan usaha baik manusia itu sendiri.

Jadi, bisa dipahami bahwa humanisme merupakan pandangan yang banyak menyatakan bahwa manusia dapat memahami dunia serta seluruh realitanya dengan pengalaman dan nilai kemanusiaan bersama. Manusia dipandang akan bisa hidup baik tanpa agama sekalipun. Di sini para Humanis berusaha menciptakan yang terbaik bagi kehidupan dengan menciptakan makna dan tujuan bagi diri sendiri (Busthan Abdy, 2017: 11)

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017).Teori Pembelajaran Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang: Desna Life Ministry

Erich Fromm: Ironi Manusia Adalah Menjadi Binatang Sekaligus Manusia



Erich Fromm dilahirkan pada tanggal 23 Maret 1900, di daerah Frankfurt am Main, Jerman. Fromm adalah anak satu-satunya dari orang tua Yahudi Ortodoks yang memulai studi akademisnya pada tahun 1918 di University of Frankfurt, am Main, dengan 2 semester yurisprudensi.

Pandangan Fromm tentang manusia adalah optimistik. Fromm melihat kepribadian sebagai suatu produk kebudayaan. Dia percaya bahwa kesehatan jiwa harus didefinisikan menurut bagaimana baiknya masyarakat menyesuaikan diri dengan kebutuhan dasar semua individu dan bukan menurut bagaimana baiknya individu–individu menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Karakter seseorang memang banyak dipengaruhi karakter-karakter sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, namun itu tidaklah menentukan karakter seseorang, karena setiap individu memiliki kemampuan untuk membentuk karakter kepribadian dan sosialnya sendiri.

Fromm menyatakan bahwa masyarakat yang ideal merupakan keadaan manusia yang tergantung pada manusia lainnya. Hal itu ditandai dengan adanya cinta, persaudaraan, serta solidaritas setiap manusia dalam lingkungan sosial. Apakah suatu kepribadian itu sehat atau tidak sehat, akan tergantung pada kebudayaan yang membantunya atau yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan manusia yang positif.

Ironi Kebebasan Manusia
Pandangan Fromm tentang kehidupan manusia adalah sebuah ironi. Kekejian, materialisme, serta beragam manifestasi dari seperangkat sifat-sifat vulgar manusia lainnya, menurut Fromm, tak lain merupakan bentuk pelarian seseorang dari kebebasan.

Pandangan ini sebenarnya merupakan bekas jejak memori pemikiran Fromm yang banyak dipengaruhi berbagai kejadian dan pengalamannya di masa muda. Ketika Fromm berumur 12 tahun, dia pernah menyaksikan secara langsung seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, melakukan bunuh diri. Akibat kejadian ini, jiwa Fromm terguncang. Fromm melihat realitas ini sebagai sesuatu yang menakutkan, karena kejadian itu tidak ada seorang pun memahami mengapa wanita tersebut memilih mati bunuh diri.

Fromm juga dilahirkan sebagai anak dari kedua orangtua yang neurotis. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Hidup dalam satu keluarga yang penuh ketegangan, akibatnya Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat.

Ketika berumur 14 tahun, Fromm sempat melihat irasionalitas melanda negara Jerman. Tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia menyaksikan bahwa orang Jerman menjadi ultranasionalis, terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit, histeris dan tergila-gila. Orang-orang dekatnya menjadi terpengaruh; saudaranya, teman-teman dan kenalannya, sampai seorang guru yang sangat Fromm kagumi. Akhirnya banyak dari mereka meninggal di parit-parit perlindungan. Fromm heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila. Karena berbagai peristiwa inilah, kehidupan muda Fromm merupakan lapangan hidup untuk observasinya terhadap tingkah laku jenis neurotis.

Dari pengalaman yang membingungkan dan mencengangkan, Fromm memahami kodrat manusia dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga, hal itu adalah akibat kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis, yang secara masif mempengaruhi kodrat kepribadian insan manusia.

Dalam pandangan Fromm, individu adalah entitas yang terisolasi karena dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Hal ini terangkum dalam karyanya yang pertama: Escape from Freedom (1941). Dalam buku ini Fromm mengajukan tesisnya bahwa manusia seiring dengan perkembangan peradaban, akan menjadi semakin bebas. Namun, kebebasan manusia ini justru membuat mereka makin merasa kesepian (being lonely).

Kebebasan menjadi keadaan negatif yang membuat manusia melarikan diri. Manusia gamang dan takut dengan kebebasan yang sebenarnya tak memberi jaminan dan kepastian. Jawaban dari ketakutan akan kebebasan tersebut terwujud dalam dua pilihan. Pertama, semangat akan cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Kedua, manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa, yang kemudian mereka pun bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Dalam buku-buku Fromm diantara tahun 1947, 1955, 1964, mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat suatu ‘kontradiksi dasar’. Kontradiksi ini mengandung maksud bahwa manusia merupakan bagian tetapi sekaligus terpisahkan dari alam, yang merupakan binatang yang sekaligus manusia. Sebagai binatang, individu memiliki kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, individu memiliki kesadaran diri, pikiran, perasaan, dan khayalan.

Pengalaman khas manusia meliputi: perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma.

Karena itu, setiap kelompok masyarakat yang diciptakan manusia, entah yang termanifestasikan dalam bentuk-bentuk feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya itu semata-mata hanya menunjukkan usaha manusia untuk menciptakan jalan tengah atas kontradiksi tersebut.

Necrophilous atau Biophilous?
From melalui bukunya berjudul “The Heart of Man” (1964), memperkenalkan dua bentuk karakter manusia, yaitu: karakter necrophilous dan biophilous.

Tipe karakter necrophilous merupakan karakter yang destruktif. Nekrophilia memperlihatkan perilaku destruktif dengan mengekspolitasi dan merusak orang lain atau benda–benda, serta alam lingkungan. Mereka adalah tipe yang tertarik dan berpenampilan pada segala bentuk kematian.

Mereka yang memiliki karakter tipe ini umumnya adalah rasialis, teroris, penghasut, pembunuh, dan penyiksa orang berdosa. Nekrophilia juga sangat dekat dan sangat mengagungkan teknologi. Mereka ini biasanya menggunakan teknologi untuk menciptakan kekerasan seperti: membuat nuklir atau instrumen–instrumen yang menyebabkan kematian makluk hidup lainnya. Contoh orang yang memiliki tipe karakter ini sangat banyak di muka bumi ini, diantaranya adalah: Adolf Hitler dan Sadam Husein, Osama bin Laden.

Tipe karakter biophilous memiliki kemiripan dengan orientasi produktif. Orang-orang dengan tipe ini tertarik untuk bertumbuh, berkarya, dan membangun. Mereka mencoba untuk mempengaruhi orang lain dengan cinta dan syarat, bukan dengan kekuasaan dan kekuatan. Mereka peduli dengan perkembangan dirinya dan orang lain, dan pandangan mereka jauh ke depan. Pada prinsipnya orang yang memiliki tipe ini bisa kita katakan sebagai pejuang kemanusiaan (mereka yang menutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi). Salah satu contoh orang tipe ini adalah Martin Luther King Jr.adalah seorang pendeta dan aktivis Amerika yang menjadi juru bicara dan pemimpin dalam gerakan hak-hak sipil pada tahun 1955.

Oleh Abdy Busthan

Dikotomi Mayoritas dan Minoritas



Oleh: Abdy Busthan

Sesungguhnya dalam konstitusi Indonesia, hanya ada satu nomenklatur yang digunakan untuk menyatakan kesamaan dan kesetaraan, yaitu “warga negara” Indonesia. Artinya bahwa apapun bentuk status dan kedudukan sosial serta latarbelakang suku, agama, ras dan lain sebagainya, yang dimiliki oleh seseorang, maka kedudukannya sebagai warga negara juga “setara” dengan kedudukan orang-orang lain yang berada disekitarnya.

Fakta ini ingin menegaskan bahwa konstitusi negara kita tidak mengakui adanya penempatan atau pengelompokan perbedaan ukuran dalam jumlah takaran-takaran seperti: besar-kecil, tinggi-pendek, hitam-putih, bahkan mayoritas-minoritas.

Namun pemahaman akan kesetaraan warga negara ini, sepertinya selalu menjadi jajanan menggiurkan bagi segelintir elit politik dalam gelaran pesta demokrasi di republik kita tercinta. Sebut saja jargon-jargon kampanye yang berbunyi “larangan” memilih pemimpin dari kalangan agama minoritas, atau dari suku di luar daerah tertentu, dan lain sebagainya. Tentunya fenomena “mayoritas-minoritas” ini sudah menjadi konsumsi melezatkan yang sejak lama selalu mewarnai semua jalannya pesta demokrasi di negara tercinta kita, Indonesia.

Karenanya maka jika harus mengatakan secara jujur dan apa adanya, istilah mayoritas-minoritas ini adalah sebuah pemahaman politik. Hal ini hanya bisa ditemukan melalui Pemilu dalam pesta demokrasi. Misalnya, sekarang ini PDI-P adalah mayoritas. Tetapi di lain waktu bisa saja partai lain yang menjadi mayoritas.

Mayoritas-Minoritas dalam Dikotomi
Dengan terus-menerus menonjolkan dikotomi dari istilah mayoritas-minoritas, maka secara tidak langsung, penduduk di sekat-sekat menurut ras, suku, agama, dll. Ini adalah sesuatu yang apartheid, dan karena itu tidak sehat dalam interaksi sebagai warga negara.

Kita semua dilindungi oleh konstitusi. Bukan yang mayoritas melindungi yang disebut minoritas. Sudah tentu jika kita makin dewasa di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita semua akan tenggang rasa satu sama lain.

Tetapi tenggang rasa saja tidak cukup. Harus dibarengi dengan penegakan hukum yang berkeadilan sosial. Hal utama yang seharusnya dipahami adalah, bahwa pengertian minoritas-mayoritas itu relatif-subjektif. Misalnya saja di daerah A kelompok Anda bisa mayoritas, tetapi di daerah B bisa saja kelompok Anda menjadi minoritas.

Itulah persisnya konstelasi Indonesia. Seseorang yang beragama Kristiani sudah tentu menjadi mayoritas di Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi ia tentu akan menjadi kelompok minoritas di pulau Jawa. Sebaliknya, mereka yang beragama Islam akan menjadi mayoritas di Jawa, tetapi di NTT dan Papua mereka akan menjadi minoritas.

Hal lainnya bahwa pemahaman minoritas-mayoritas tidak hanya bisa terpaku pada jumlah penduduk saja, melainkan juga pada luas wilayah dan sumbangannya bagi bangsa ini dari segi hasil bumi dan kekayaan. Maka dalam hal ini Papua adalah mayoritas, sedangkan Jawa bisa saja minoritas.

Mayoritas-Minoritas dalam Negara
Berbicara soal “mayoritas” dan “minoritas”, hanya terdapat satu pertanyaan menggelitik yang dapat dijadikan rujukan untuk lebih dalam memahami hubungan dari keduanya.

Pertanyaannya, bagaimana memadukan antara kepentingan mayoritas yang sekaligus juga dapat melindungi hak-hak minoritas? Atau dengan meminjam istilah teoriawan politik dan sosial asal Norwegia, Jon Elster (1993), bahwa bagaimana kita membangun keseimbangan antara majority rule dan individual rights?

Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah. Persoalan relasi mayoritas dan minoritas tidak cukup hanya berkutat pada salah satu diantara keduanya saja. Ia melibatkan dua hal penting, yaitu kesiapan kultur mayoritas sebagai subyek utama dan konstitusi negara.

Dalam negara demokrasi, istilah mayoritas dan minoritas seharusnya tidak ada. Namun antara ada dan tiada, maka ia selalu ada sebagaimana adanya!

Ya, hampir setiap hari di medan merdeka ini, selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas ini. Esensinya adalah agar mayoritas melakukan toleransi dan perlindungan terhadap minoritas, atau seruan bernada propokatif seperti pemusnahan dan pengkerdilan hak-hak kaum minoritas, dll.

Mayoritas dan minoritas di Indonesia ada dua bentuk. Ada mayoritas dan minoritas yang di lihat dari jumlah, ada mayoritas dan minoritas dari segi potensi dan peranan di Indonesia.

Biasanya jika menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi, maka artinya adalah pribumi. Sedangkan ditinjau dari segi keagamaan, maka yang dimaksudkan adalah umat Islam. Dan selebihnya dari itu disebut minoritas.

Sebagai bangsa yang terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan adat istiadat, ragam kelompok minoritas di Indonesia dengan sendirinya juga beragam. Ada minoritas etnis, minoritas ras, minoritas agama, dsb. Bahkan di dalam kelompok agama sendiri, ada minoritas aliran atau madzhab, minoritas penganut kepercayaan, dan lain-lain.

Dari sekian banyaknya kelompok minoritas seperti disebutkan sebelumnya, keberadaan jenis minoritas agama adalah yang paling problematik, terutama terkait dengan kebebasan dalam beribadah sesuai agama dan keyakinan. masing-masing.

Dalam bentangan lingkaran sejarah bangsa dan negara Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok minoritas sering mendapat perlakuan diskriminasi yang tidak adil. Meskipun secara konstitusional negara Indonesia memberi jaminan terhadap keberadaan kelompok minoritas. Tapi faktanya banyak kelompok yang tidak bebas dan bisa leluasa mengamalkan dan mengembangkan asas-asas agama dan keyakinan yang diyakininya.

Hingga hari ini, sejumlah tindakan penindasan dan kekerasan terhadap aktivitas beragama masih terus saja menghiasi wajah bopeng akibat benturan kaum mayoritas dan minoritas di medan merdeka ini. Ironisnya, munculnya perlakuan diskriminatif ini justru digerakkan oleh para Pemuka Agama yang notabene merupakan figura yang harus diguguhi dan diteladani. Tapi malah justru mendakwah kepada segelintir kelompok-kelompok mayoritas untuk memusuhi dan meminggirkan kelompok minoritas.

Perlakuan seperti ini terjadi dalam beberapa wujud seperti: klaim penyesatan dengan sebutan "kafir" terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan lain, penutupan tempat-tempat ibadah, larangan mengembangkan dan mendakwahkan keyakinan, hingga pembatasan hak-hak politik dan akses ekonomi, dan lain sebagainya.

Salah satu kelompok minoritas yang akhir-akhir ini sering mengalami perlakuan diskriminatif dan kerap menjadi sasaran amuk masa kaum mayoritas adalah umat Kristiani. Di berbagai titik di Indonesia, keberadaan umat Kristiani memang terus terancam. Bukan hanya tidak bisa mengamalkan keyakinannya, umat Kristen tak sedikit yang terpaksa kehilangan harta, tempat tinggal dan sarana ibadah, bahkan nyawanya.

Harus dipahami, bahwa negara Indonesia bukan negara agama mayoritas, negara tidak mengakui salah satu agama mayoritas sebagai satu-satunya negara resmi. Indonesia juga bukanlah sebuah negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada falsafah Pancasila.

Semua ajaran agama dengan masing-masing pemeluknya, harus diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan dan diutamakan di republik ini. Karena itu, pemisahan urusan negara dengan urusan agama tidak otomatis akan menjadikan negara sebagai negara sekuler. Sebaliknya, keterlibatan negara dalam mengurus agama, juga tidak otomatis menjadikan negara sebagai sebuah negara agama.

Diskriminasi Oleh Mayoritas
Kehidupan berbangsa saat ini memang teramat sulit memaknai “kerukunan” dalam artinya yang sebenarnya. Seharusnya hidup dalam kerukunan dengan aneka macam perbedaan suku, budaya dan agama, adalah sesuatu yang indah. Sebab antara mayoritas dan minoritas bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Meminjam Yewangoe (2011:32) bahwa, kerukunan tentu saja bukan masalah praksis semata-mata. Ia juga merupakan ungkapan dari keyakinan dan iman seseorang. Artinya, dengan mengimani dasar agamanya masing-masing, maka dalam praktik hidup berbangsa, kaum mayoritas dan kaum minoritas bisa saling menghargai, dan jauh dari kecurigaan dan diskriminasi yang berkepanjangan, sehingga terbentuklah kerukunan.

Namun sangat disayangkan, perlakuan diskriminatif sering dirasakan pemeluk agama minoritas (agama Kristen) di republik tercinta ini. Ini ditandai dengan maraknya perlakuan-perlakuan diskriminasi yang tentunya dilakukan agama mayoritas.

Beberapa diantaranya seperti disebutkan sebelumnya bahwa munculnya pemuka agama yang mendiskriminasi pemeluk agama lain dengan sebutan kafir, pembubaran ibadah umat, juga tragedi pemboman tempat-tempat ibadah, serta tindakan pelarangan dan pendirian, sekaligus penutupan rumah-rumah ibadah. Seperti nyata terlihat dalam kasus-kasus pemboman Gereja di Samarinda, pembubaran Ibadah di Sabuga Bandung pada tahun 2016 misalnya.

Tempat beribadah, memang salah satu tempat favorit yang menjadi sasaran amarah mayoritas. Dalam banyak kasus penutupan serta kasus penyegelan tempat ibadah, terkadang merembet pula kepada fasilitas lainnya, misalnya sekolah, sekretariat yayasan yang dianggap memiliki afiliasi terhadap agama tertentu, dll.

Tempat beribadah umat minoritas Kristen adalah yang paling sering mendapatkan perlakuan semacam ini. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Mulai dari alasan izin pendirian tempat ibadah yang dinilai belum lengkap, ketiadaan persetujuan warga sekitar atas keberadaan tempat tersebut, hingga alasan lain seperti menganggu ketertiban umum. Alasan-alasan seperti ini justru tidak beralasan.

Munculnya ketegangan relasi antara mayoritas dan minoritas, sebenarnya terkait dengan pergeseran orientasi masyarakat dalam menyikapi perbedaan saja. Perbedaan masih dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan. Hal ini sebetulnya tidak lepas dari “politik penyeragaman” atau “politik homogenisasi” yang efektif dijalankan pada rezim Orde Baru (Orba), yaitu dengan sebisanya aneka perbedaan ditekan seminimal mungkin, dan dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan lagi.

Politik SARA, adalah politik Orde Baru yang sangat efektif dalam menutup rapat perbincangan mengenai ‘perbedaan’ di masyarakat. Maka ketika rezim yang berkuasa tumbang, akhirnya masyarakat pun kurang siap mendialogkan dan mengelola perbedaan tersebut. Akibatnya, di sana-sini muncul keterkejutan berjamaah atas keragaman yang sejatinya telah ada sejak lama di sekitar mereka.

Mayoritas Islamisme
Munculnya penguatan identitas keagamaan Islam dalam beberapa tahun terakhir ini, juga menandai bangkitnya apa yang oleh Oliver Roy (1996, 2004) sebutkan sebagai “Islamisme”, yaitu sebuah gerakan yang kembali menguat terutama di daerah Timur Tengah dan yang segera meluas ke seluruh penjuru wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Ada dua jenis atau tipe Islamisme: moderat dan liberal. Kelompok pertama, mengupayakan dan membela posisi Islam politik yang reformis. Sementara yang kedua, getol menggunakan cara-cara revolusioner untuk bisa menggulingkan rezim yang berkuasa dan menggantikan ideologi negara dengan ideologi Islam.

Bagi kelompok Islamis, lewat jalur aksi sosial dan politik secara bersamaan, masyarakat dapat diislamkan. Di negara Indonesia, jumlah kelompok ini terbilang kecil dibandingkan kelompok Muslim kultural. Tetapi militansi dan kreativitas dari aktivisnya dalam mengemas program serta kekuatan jaringan yang dimiliki, menjadikan kelompok Islamis sebagai sebuah kelompok gerakan keagamaan yang tak bisa diremehkan.

Sementara organisasi keagamaan yang tergolong lebih moderat, seperti misalnya NU dan Muhammadiyah, terkadang disibukkan pula oleh urusan internal organisasi dan kurang menawarkan inovasi-inovasi baru dalam dakwah. Keberadaan kelompok-kelompok Islamis ini akan semakin menguat ketika bergandengan tangan dengan para politisi yang ingin memanfaatkan isu-isu agama sebagai bagian dari upaya mendongkrak kepentingan partai politik.

Dalam pertarungan perpolitikan di tanah air, memang para politisi kerapkali menyeret agama untuk kepentingan mendulang suara. Dengan populasi lebih dari 80%, umat Islam merupakan massa riil yang diperebutkan oleh banyak partai-partai. Dan untuk meraih simpati, sentimen agama dan penggunaan isu-isu keagamaan menjadi daya pikat bagi para pemilih terutama pemilih pemula. Fenomena seperti ini dapat dengan mudah dijumpai pada maraknya kontestasi simbol-simbol agama di ruang publik.

Memang bukan suatu rahasia umum lagi, ketika para politikus doyan mengusung simbol-simbol agama. Seolah hal ini menjadi trend para politisi lokal maupun nasional dalam meraih simpatisan massa. Dalam kasus pemilihan kepala daerah misalnya, banyak sekali kandidat dan tim sukses yang mengusung simbol-simbol agama dalam kampanye mereka. Di sinilah problem minoritas kerap kali muncul. Karena secara kuantitas kecil, maka suara kelompok minoritas ini tidak diperhitungkan sama sekali.

Identitas Mayoritas Kedaerahan
Kontestasi simbol agama memang bukan hanya berkutat pada karakteristik Islam semata. Hal ini juga sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Pada daerah-daerah di mana agama Islam sebagai mayoritas, maka isu-isu keislaman akan banyak ditonjolkan. Sementara pada daerah-daerah minoritas seperti di wilayah NTT atau Papua, di mana warga Kristen yang lebih dominan, maka identitas Kristen yang menonjol.

Demikian halnya ketika di Bali, maka simbol kehinduan yang mengemuka. Penguatan identitas keagamaan seperti ini terkadang bersaing dengan identitas etnis, isu pribumi (warga asli) dan non-pri (warga pendatang). Isu minoritas pendatang yang sukses dengan mayoritas pribumi yang tertindas juga kerap mengemuka pada momen-momen politik di daerah. Salah satu yang hangat akhir-akhir ini adalah upaya pencekalan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terindikasi sebagai warga pendatang dan berasal dari agama minoritas.

Narasi-narasi masa lalu, baik yang berupa kejayaan pribumi maupun ketertindasan (grievances), selanjutnya sengaja dibangkitkan untuk mendukung dan menyatukan jumlah massa mayoritas yang sudah lama mengambang. Biasanya pemisahan masyarakat semacam ini, lebih efektif untuk bisa mengantarkan salah satu calon menuju puncak pimpinan. Perkembangan selanjutnya bisa di duga, tetap saja kelompok mayoritas akan menguasai, sementara minoritas hanya selalu tersubordinasi.

Tulisan ini diambil dari buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"

Yang berminat, kontak 081333343222 (WA)

Pejabat Senior Iran Bersabda: Menghancurkan Israel Adalah Prioritas Utama Dunia Muslim



abdybusthan.com - Membebaskan Yerusalem dan menggulingkan "rezim Zionis" adalah "masalah nomor satu di dalam dunia Islam," kata Velayati.

Perjuangan melawan "rezim Zionis" adalah masalah utama bagi dunia Muslim dan karena itu Iran mempertahankan kebijakan yang tak tergoyahkan untuk berpihak pada Palestina untuk menyerang Israel, kata pejabat senior Iran Asidingar Velayati.

Berbicara dalam pertemuan para ulama Dewan Tertinggi Kebangkitan Islam di Teheran pada hari Senin, Velayati, seorang penasihat internasional untuk Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, menyatakan bahwa pembebasan Yerusalem dari pemerintahan Israel dan memerangi "rezim Zionis rasis" adalah hal "utama" dan masalah nomor satu di dunia Islam. "

"Semua plot seram yang ditetaskan oleh AS, Zionisme internasional, dan negara-negara Arab yang reaksioner bertujuan meminggirkan penyebab Palestina untuk menebus kekalahan dan kegagalan mereka," katanya, lapor kantor berita Iran, Tasnim melaporkan.

Iran memberikan dukungan luas kepada organisasi teror Palestina, termasuk Hamas, yang memerintah Gaza, sebagai bagian dari jaringan teror Islam globalnya.

Iran telah lama mendukung kelompok-kelompok bersenjata yang berkomitmen untuk penghancuran Israel, dan para pemimpinnya menyerukan agar negara Yahudi itu dihapus dari peta.

Mengatasi Konferensi Persatuan Islam tahunan pada hari Sabtu, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan bahwa "salah satu hasil yang tidak menyenangkan dari Perang Dunia II adalah pembentukan tumor kanker di wilayah tersebut." Ia juga menyebut Israel sebagai "rezim palsu" yang didirikan. oleh negara-negara Barat.

Tanggapan PM Israel
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kemudian menanggapi pernyataan Presiden Iran dengan menyerukan lebih banyak negara untuk bergabung dengan mendukung sanksi AS terhadap "rezim teroris Iran."

"Israel tahu betul bagaimana mempertahankan diri dari rezim Iran yang kejam ," kata Netanyahu, Sabtu.

"Fitnah Rouhani yang menyerukan penghancuran Israel, membuktikan lagi mengapa bangsa-bangsa di dunia perlu bergabung dan mendukung sanksi terhadap rezim teroris Iran yang mengancam mereka," tambahnya.

Iran tidak mengakui Israel dan secara teratur menyerukan penghancuran bagi negaranya sendiri.

Dalam sebuah unjuk rasa di Teheran tahun lalu, Iran meluncurkan jam digital di Lapangan kota Palestina dengan menghitung hari-hari apa yang dikatakannya akan menjadi hari penghancuran Israel pada tahun 2040.

Kerangka waktu tampaknya berasal dari komentar yang dibuat pada tahun 2015 oleh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang pada saat itu bersumpah akan membumihanguskan Israel dengan kalimat: akan ada saatnya segala sesuatunya "tidak ada" yang tersisa dari Israel pada tahun 2040.

Pada bulan September 2015, Khamenei menyatakan, "Kalian [orang Israel] tidak akan melihat 25 tahun yang akan datang dan, insya Allah, tidak akan ada sesuatu yang bernama rezim Zionis dalam 25 tahun mendatang ."

Dia kemudian melanjutkan pernyataannya ke dalam tweeted dalam bahasa Inggris yang rusak, "Berjuang, heroik dan moral jihad tidak akan meninggalkan saat ketenangan bagi Zionis." Khamenei menyerukan penghancuran Israel hampir setiap minggu.

Baru-baru ini, Rouhani mengancam Israel dan menyatakan bahwa mereka tidak pernah merasa aman, sambil menyerukan semua warga Palestina untuk "kembali ke tanah air mereka."

"Israel tidak pernah bisa merasakan bahwa itu berada di tempat yang aman ," Rouhani mengatakan hal ini kepada wartawan pada Juni, ketika Iran menandai Hari Quds dengan mengutuk Israel dan meneriakkan "kematian bagi Israel" dan "kematian bagi Amerika."

(Diterjemahkan dari "United with Israel Staff")