BREAKING NEWS
latest

728x90

Ads

468x60

header-ad

Realisme Pendidikan:Implikasi Filsafat Realisme dalam Pendidikan



Berdasarkan asal-usul bentuk kata (secara etimologi), istilah 'realisme' berasal dari bahasa Latin: ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh atau nyata dan benar”. Sehingga dalam hal ini realisme dikategorikan sebagai kajian filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal yang nyata dan dapat dikenali. 

Realisme berpandangan bahwa suatu objek dari persepsi indrawi dan pengertiannya, memang sungguh-sungguh ada. Dalam pemahaman bahwa terlepas dari indra dan akal budi yang menangkapnya, maka objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat.

Para penganut realisme mengakui bahwa seseorang bisa salah melihat benda-benda atau bisa saja ketika ia melihat, ia akan terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Yang sebenarnya mereka juga paham terdapat benda yang dianggap mempunyai wujud tersendiri, yaitu benda yang tetap, kendati bisa diamati. 


Karenanya, sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa ‘yang ada’, dan yang ditangkap oleh pancaindra, serta yang konsepnya terdapat dalam akal budi, itu memang nyata adanya. Misalnya: 
  1. Kaki yang tersandung batu yang ada di jalan yang baru dialami, memang ada.
  2. Bunga mawar yang bau harumnya hingga merangsang hidung, sungguh-sungguh nyata dan ada pada ranting pohonnya di taman bunga.
  3. Kucing yang dilihat mencuri ikan di atas meja makan, betul-betul ada dan hidup dalam rumah keluarga itu.

Jadi, realisme sebagai salah satu aliran filsafat yang memandang bahwa dunia materi diluar kesadaran, tetap ada sebagai sesuatu yang nyata dan penting untuk dikenal dengan mempergunakan intelegensi.

Objek indra adalah sesuatu yang real, yaitu benda-benda ada, yang adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu diketahui ada, atau dipersepsikan ada, atau ada hubungannya dengan pikiran manusia.

Menurut realisme, hakikat kebenaran itu berada pada kenyataan alam dan bukan pada ide atau jiwa seperti yang dikatakan kaum idealis. Zat merupakan dasar segala benda, yang disebut Ari
stoteles sebagai asas potensial, karena zat itu bisa menjadi apa saja. Zat dan bentuk harus dapat dipisahkan. Akan tetapi dalam dunia ini, keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, dunia bukanlah yang samar tetapi nyata dan di alami. 

Realisme yang berlandaskan ilmu pengetahuan memandang dunia yang diibaratkan seperti mesin yang tidak terjadi secara kebetulan saja, tetapi sengaja dibuat. 
Manusia dalam hal ini adalah pengamatnya. Apabila pengamatannya menjadi berguna, bernilai dan bertujuan, maka ia dapat dikatakan sebagai ilmuan. Dan keteraturan dapat dilihat dengan adanya perubahan kimiawi yang dapat diungkapkan dengan tegas. 

Singkatnya, dalam masalah manusia, tetap ada hukum yang berlaku; dalam masalah etika, tetap ada hukum moral yang berlaku; dan naturalisme masih merupakan kandungan dari realisme.

Dalam realisme sendiri, ada dua macam aliran yang berkembang, yaitu New Realisme dan Realisme Kritik.

New Realisme, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu sabagaimana ia nampak oleh indera-indera. Disini “pengalaman” individu adalah merupakan faktor yang penting.

Realisme Kritik, berpendapat bahwa bila sesuatu itu dapat diketahui dengan cepat dan betul sebagaimana adanya, mengapa masih dapat timbul kesimpangsiuran ilusi dari kenyataan yang ada. 

Untuk mengetahui kenyataan, setidaknya di dunia ini ada dua entitas, yaitu benda-benda materil dan keadaan jiwa atau ide. Cara kerja entitasnya ada tiga bagian meliputi:
  1. Orang mengetahui
  2. Objek yang menjadi sasaran untuk diketahui
  3. Data indera sebagai dasar penyimpulan.
Realisme Pendidikan
Dalam hubungan realisme dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam, dan dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan ini merupakan suatu kewajiban. 


Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah maka metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam, sebagaimana dasar dari teori belajar "behavioristik".

Namun sebenarnya, manusia tetap berbeda dalam derajat pencapainnya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik.

Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Dan paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat 
dan kebutuhan peserta didik. 

Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa dipandang sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.

Pandangan realita terhadap tugas pengembangan kepribadian manusia, dibebankan juga pada orang tua wali dan para guru. Dan pada tiap periode yang berlangsung, anak didik diharapkan semakin bertambah kegiatan belajarnya untuk mengahayati kehidupan dari kelompoknya, serta mau menerima tanggung jawab yang wajar dalam kaitannya dengan kehidupan tersebut.

Implikasi Filsafat Pendidikan Realisme  
Kaum realis menyatakan kebudayaan adalah tugas besar pertama dari pendidikan. Karenanya, implikasi filsafat pendidikan realisme adalah sebagai berikut:

Prinsip Pendidikan. Prinsip pendidikan realisme adalah belajar pada dasarnya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya. Inisiatif dalam pendidikan harus bersumber dari pendidik, bukan pada anak didik. Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi (penyesuaian untuk terjadi perubahan) dari subjek mater yang sebelumnya memang telah ditentukan.

Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan realisme adalah untuk penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial. Tujuan pendidikan dalam aliran realisme adalah dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial

Kurikulum Pendidikan. Kurikulum pendidikannya harus komprehensif, mencakup semua pengetahuan yang berguna, berisi pengetahuan umum dan pengetahuan praktis. Kurikulum komprehensif mengandung semua pengetahuan yang berguna bagi penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan liberal atau pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja. Semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Kurikulum dalam hal ini diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru. Secara luas, lingkungan materiil dan sosial, ditentukan oleh manusia sebagaimana seharusnya ia hidup.

Metode Mengajar.
Metode mengajar realisme bersifat logis, bertahap atau berurutan. Pembiasaan merupakan sebuah metode pokok yang dipergunakan oleh kalangan penganut realisme maupun behaviorisme. Belajar tergantung pada pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan psikologis. Metode kondisioning (Stimulus-Respon) adalah metode pokok yang digunakan.

Peranan Siswa. Peran peserta didik dalam pendidikan realisme adalah menguasai pengetahuan yang handal dan dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.

Peran Guru. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar, dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik. Pendidik memiliki kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang dibebankan padanya.

(Oleh: Abdy Busthan)
« PREV
NEXT »

Tidak ada komentar