Prinsipnya bahwa teori behavioristik tidak mempermasalahkan norma-norma yang berlaku pada manusia: bahwa apakah seorang manusia tergolong baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun irasional. Karena dalam konteks ini teori behavioristik hanya ditekankan pada bagaimana perilaku manusia menunjukkan perubahan sebagai akibat dari berinteraksi dengan lingkungannya, dan pola interaksi tersebut harus bisa diamati dari luar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa belajar dalam teori behavioristik adalah akibat hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar, dengan respons yang ditampilkan dari dalam diri individu. Respons tertentu akan muncul dari dalam diri individu jika diberikan stimulus dari luar—S singkatan dari Stimulus, dan R singkatan dari Respons.
Pada umumnya, teori belajar yang masuk dalam rumpun teori belajar behavioristik, memandang manusia sebagai organisme yang netral-pasif-reaktif terhadap stimuli dalam lingkungannya.
Pada umumnya, teori belajar yang masuk dalam rumpun teori belajar behavioristik, memandang manusia sebagai organisme yang netral-pasif-reaktif terhadap stimuli dalam lingkungannya.
Seorang akan bereaksi, jika ia diberikan rangsangan oleh lingkungannya. Demikian juga jika stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang cukup lama, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan perilaku dalam diri individu—pelaku belajar.
Unsur-Unsur dalam Pola Stimulus-Respon
Dengan demikian maka terjadinya proses belajar dalam pola hubungan stimulus-respon (S-R), disebabkan oleh adanya 4 (empat) unsur, yaitu: (1) dorongan (drive), (2) rangsangan (stimulus), 3) respons, dan 4) penguatan (reinforcement).
1. Dorongan (Drive)
Unsur pertama, adalah sebuah ‘dorongan’ dari dalam diri individu, yang merupakan keinginan dalam diri seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan yang sedang dirasakannya.
1. Dorongan (Drive)
Unsur pertama, adalah sebuah ‘dorongan’ dari dalam diri individu, yang merupakan keinginan dalam diri seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan yang sedang dirasakannya.
Misalnya seorang anak yang merasakan adanya kebutuhan akan tersedianya sejumlah uang untuk membeli buku bacaan, maka anak tersebut terdorong untuk membelinya dengan cara meminta uang kepada ibu atau bapaknya.
Unsur “dorongan” ini ada pada setiap orang, meskipun kadarnya tidak sama—ada yang kuat menggebu, ada yang lemah dan tidak terlalu peduli akan terpenuhi atau tidaknya.
2. Rangsangan (Stimulus)
2. Rangsangan (Stimulus)
Unsur kedua, adalah ‘rangsangan’ atau stimulus, yang datang dari luar diri individu, dan tentu berbeda dengan dorongan yang datangnya dari dalam.
Mengenai rangsangan, misalnya bau masakan yang lezat, atau segala sesuatu yang bisa menimbulkan rangsangan untuk tujuan tertentu. Contohnya, dalam kegiatan mengajar di kelas, ketika banyak di antara siswa mulai jenuh, bosan atau tidak tertarik pada materi yang disampaikan guru sehingga ada yang mengantuk, maka sang guru sebagai instruksional, bisa merangsangnya dengan sejumlah cara dan usaha yang dilakukan, misalnya dengan bertanya tentang masalah-masalah tertentu yang sedang trendy pada saat ini, atau bisa juga dengan mengadakan sedikit humor segar untuk membangkitkan kesiagaan peserta didik dalam belajar.
Dari adanya rangsangan atau stimulus ini, maka timbul reaksi di pihak sasaran atau komunikan (siswa). Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada situasi, kondisi, dan bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari seseorang akibat dari adanya rangsangan dari luar inilah yang disebut dengan respons dalam dunia teori belajar behavioristik.
3. Respons
3. Respons
Unsur ketiga, adalah ‘respons’, dalam hal ini respon ini bisa diamati dari luar. Respons ada yang positif dan ada pula yang negatif. Respon yang positif disebabkan oleh adanya ketepatan seseorang melakukan respons terhadap stimulus yang ada, dan tentunya sesuai dengan yang di harapkan. Sedangkan yang respon negatif adalah apabila seseorang memberi reaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan.
4. Penguatan (Reinforcement)
4. Penguatan (Reinforcement)
Unsur keempat, adalah ‘penguatan’ (reinforcement). Unsur ini datangnya dari pihak luar yang ditujukan kepada orang yang sedang merespons. Apabila respons telah benar, maka diberikan penguatan agar individu tersebut merasakan adanya kebutuhan untuk bisa melakukan respons lagi.
Sebagai contohnya, terdapat seorang anak kecil yang sedang mencoreti buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba di bentak dengan kasar oleh kakaknya, maka tentu dia bisa terkejut dan bahkan bisa menderita guncangan sehingga berakibat buruk pada anak tadi. Memang pada akhirnya, mungkin anak tadi sudah tidak mencoreti buku lagi, namun akibat yang paling buruk dikemudian hari adalah hal ini bisa menjadi ‘trauma’ untuk tidak mencoreti buku karena takut di bentak. Bahkan yang lebih dikhawatirkan lagi, akibatnya adalah jika ia tidak mau bermain dengan buku lagi atau alat tulis lainnya, karena rasa "ketakutan".
Nah, inilah yang dikatakan penguatan yang salah dari seorang kakak terhadap adiknya yang masih kecil ketika sedang mau memulai menulis buku. Barangkali akan lebih baik jika kakaknya tadi tidak menggunakan cara dengan membentak secara kasar, akan tetapi dengan bicara yang halus sambil membawa alat tulis lain berupa selembar kertas kosong sebagai penggantinya. Misalnya dengan berkata: “Bagus sekali, coba kalau menggambarnya di tempat ini, pasti lebih bagus”. Dengan cara penguatan seperti ini, anak tidak merasa dilarang menulis. Sehingga hal inilah yang dinamakan sebagai “penguatan positif”.
Contoh lain dari penguatan positif seperti misalnya terdapat seorang anak yang mendapatkan ranking bagus di sekolahnya. Kemudian orang tuanya memberikan hadiah tas baru atau sepatu baru, atau setidaknya di puji oleh orang tuanya, maka kemudian anak akan terus berusaha mempertahankan rankingnya pada masa yang akan datang.
Oleh: Abdy Busthan
Sip..mantap
BalasHapus