BREAKING NEWS
latest

728x90

Ads

468x60

header-ad

Fokus Mingguan

Slider
Tampilkan postingan dengan label Bahasa dan Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahasa dan Sastra. Tampilkan semua postingan

Aku dan Segelas Anggur Merah yang Kian Berlalu..




Ini tentang janji memelas elegi. Tentang rindu yang datang dan menyatu dalam arogansi sang waktu. Meski wara-wiri imaji tergadai makarnya alibi, tetaplah kisah sang pelangi bermula di sini... saat ini!

Balada ini menggores prosais. Sabdanya meringis, membakar langit-langit nurani. Ketika asmara membaur sepih, lingkaran hati hanyalah natur sebuah ilusi.

Progeni damai bergoyang lirih, seketika itu fakta sang lestari menggores naif. Hempasan hasrat terdengar semu, dalam sembilu kicauan sang angkara. Titah nalar, datang menjaring bengisnya sang harmoni. Dan dalam perwatakan semu, dahaga liar menyongong parodi.

Inilah refleksi yang terurai keluh. Harapan terkikis harapan, hikayat birahi terpatri bersabda rapuh. Ini kerinduan menyingkap lara.

Sebab keniscayaan bukanlah warna yang menyatu dalam warna. Meski warna-warni berucap salam, tapi tidak dengan sendirinya realitas ini berwarna.

Lingkaran waktu merajam ilalang-ilalang sakral. Ada candu menafikan karma. Meski sesekali rindu menyulam animo, tetap saja sang durjana berpelipur resah.

Kepastian menangis, ketika irama nafas berlinang halimun. Desahan sang surga bersimponi duka, karena kalam nurani bermuram jelita. 


Diantara maskulin birahi menderai kata, gulana firdaus terkapar sepih. Akhirnya, mimpi-mimpi sang mutiara asik menerjang dermaga lamunan!

Selafal puisi datang merangkai dahaga. Seketika itu simponi membuai asah. Dalam telaga kepalsuan, lentik jemari mendekap jerami kepahitan.

Haruskah langit merintih pesona? Mungkinkah keraguan tak terkatakan? Tidak! Aku bukan hingarnya sang bingar! Aku ada diantara pesona menerjang bedebah!

Ya, aku memang harus bangkit di sini! Aku akan berdiri di atas kaki sendiri! Menantang makar-makar opini! Mengusik lamunan titah kepalsuan!

Wahai kau tuan-tuan nurani, kemanakah bilur kerahimanmu menelanjangi waktu? Dimanakah keindahan berbisik sendu? Melagukan syair, melakoni simponi tentang impian?

Mungkin lentera sabda mulai terjaga. Kepakan sembilu datang menghempas derita. Sawang langit pun meniti sahara. Meskipun di sana untaian maaf kian duka membalut gersangnya luka.

Semua harapan serentak pun terukir. Mendamaikan cinta di ujung hari tersudut pilu. Nuansanya merangkai dekapan dalam kesenduan kalbu. Meski langit-langit impian merah membarah, kelakar kenangan tetap saja terhampar naluri.

Dalam tepian cakrawala jiwa, delirium melangkah pasti. Euphoria pun datang mendekap kemilau. Damailah hatiku, tentramlah wahai kekasihku!

Bersinarlah mutiaraku! Gaduhkanlah pesonamu! Bersatulah dalam kirbat-kirbat nalarku!

Diam dalam diam hikayat membekas merona. Sang malam datang mengukir rindu. Sepadan pun secawan impian mendekap ketulusan.

Kisah tentang lautan asmara menepi di sini. Berlabuh dalam cindai harapan, terbujur demi serunai yang terus mewarnai sejuta samudra kenangan!

Dan dalam gempitanya sabda hasrat bergemuruh, aku dan segelas anggur merah kian berlalu... pergi menyusuri hempasan jejak dusta yang kian membekas prahara


(dalam liarnya malam, di sudut jalur Sikumana, 
kota Kupang)
Oleh Abdy Busthan

Ciri dan Karakteristik Karya Sastra: Secara Umum dan Khusus



Sastra memiliki ciri dan karakteristik yang membuatnya bisa dinamakan sebagai karya sastra itu sendiri.

Menurut Busthan Abdy (2016:21-23), ciri dan karakterisik sastra dapatlah dibedakan berdasarkan ciri secara umum dan secara khusus.

Secara umum. Untuk mempelajari karya sastra secara baik, setidaknya terdapat 5 (lima) karakteristik sastra yang harus dipahami.

  1. Pertama, pemahaman bahwa sastra harus memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan, harus mencerminkan suatu kenyataan. Jika pun belum, karya sastra yang diciptakan, dituntut mendekati kenyataan.
  2. Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra, harus dapat mengetahui apa manfaat sastra untuk para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, akan memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia.
  3. Ketiga, dalam sastra setidaknya harus disepakati keberadaan unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas adalah cerminan kenyataan yang merupakan unsur realitas yang tidak 'terkesan' dibuat-buat.
  4. Keempat, pemahaman bahwa karya suatu sastra adalah merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya dapat dibedakan manakah karya sastra yang termasuk dalam sastra dan yang bukan sastra. Sebab sastra adalah seni.
  5. Kelima, setelah empat dari karakteristik sastra di atas dipahami, maka pada akhirnya haruslah bermuara pada kenyataan bahwa, sastra adalah merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu, memiliki tanda-tanda yang kurang lebih sama dengan norma, adat, atau segala kebiasaan yang muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah karya sastra.


Secara khusus. Empat ciri dan karakteristik satra secara khusus adalah sebagai berikut:

  1. Pertama. Isinya menggambarkan manusia dengan berbagai persoalannya. Sedangkan bahasanya yang indah atau tertata baik, serta gaya penyajiannya (kalimat) menarik yang berkesan di hati pembacanya.
  2. Kedua. Sastra memberikan hiburan dalam lubuk hati manusia terpatri kecintaan dan keindahan. Manusia adalah makhluk yang suka keindahan. Karya sastra adalah apresiasi keindahan itu. Karena itu, karya sastra yang baik selalu menyenangkan pembaca.
  3. Ketiga. Sastra menunjuk kebenaran hidup. Dalam karya sastra, terungkap pengalaman hidup manusia: yang baik, yang jahat, yang benar, maupun yang salah. Karena itu manusia lain dapat memetik pelajaran yang baik dari pelajaran yang baik dari karya sastra.
  4. Keempat. Sastra mampu melampaui batas-batas sebuah bangsa dan zaman. Nilai-nilai kebenaran, ide, atau gagasan dalam karya sastra yang baik, bersifat universal, sehingga dapat dinikmati oleh bangsa manapun.

Menurut Busthan Abdy (2016:23-25), berdasarkan masanya, karya sastra dapatlah di bagi menjadi dua masa, yakni karya sastra lama dan sastra baru. Keduanya memiliki ciri–ciri yang sedikit berbeda. Berikut ini pembagian ciri dan karakteristiknya:

Ciri Karya Sastra Lama
  1. Bentuknya berupa puisi yang terikat seperti syair, pantun, hikayat, mite, legenda, dongeng.
  2. Dibuat dari, untuk, serta milik rakyat/masyarakat.
  3. Anonim atau dengan kata lain: tidak dicantumkan siapa nama pengarangnya.
  4. Istana sentris, yaitu ceritanya berpusat pada istana dengan menggambil tokoh raja.
  5. Lambat dalam mengikuti perkembangan dan selalu terpaku pada aturan yang ada disebut statis atau proses perkembangannya statis dan disampaikan lisan secara turun temurun.
  6. Pengarang taat kepada kelaziman.
  7. Karya sastra lisan umumnya dari mulut ke mulut.
  8. Bahasa yang digunakan masih kemelayu-melayuan dan bahasanya sering klise. Disamping itu, bahasa pada karya sastra lama menggunakan Bahasa Arab, dan Bahasa Daerah.
  9. Tokoh hitam-putih dan berupa mistis.
  10. Tema karangan bersifat fantastis (fantasi; tidak nyata; tidak masuk akal; sangat hebat dan luar biasa)
  11. Karangan berbentuk tradisional.
  12. Latar belakang penciptaannya terpengaruh pada kesastraan hindu, islam, budaya tradisional.

Ciri Karya Sastra Baru

  1. Bentuknya berupa puisi bebas dan kontemporer yaitu seperti cerpen, novel, dram Indonesia.
  2. Karya sastra tulisan disampaikan secara tertulis
  3. Tokohnya bebas dan kreatif.
  4. Nama pengarang dicantumkan, dan pengarangnya dikenal oleh masyarakat luas
  5. Latar belakang penciptaannya lebih terpengaruh kesusastraan barat, budaya industri modern, dan hak cipta pengarang individu.
  6. Masyarakat sentris, dimana tema yang diangkat adalah seputar kemanusiaan, kemasyarakatan, kehidupan modern, pergaulan remaja,dll
  7. Bersifat rasional modern dan tidak tradisional.
  8. Perkembangannya bersifat dinamis, melalui media cetak dan audiovisual.
  9. Ceritanya berpusat pada kehidupan sehari- hari.
  10. Karya sastra baru mengikuti perubahan sesuai perkembangan pribadi penciptanya.
  11. Bahasanya tidak klise (tidak bersifat meniru). Menggunakan bahasa Indonesia dengan bahasa keseharian dan sering dimasuki bahasa asing kreatif, juga bahasa-bahasa gaul.
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2016). Sejarah dan Teori Sastra. Kupang: Desna Life Ministry

Jenis Paragraf: Menurut Letak Gagasan Utama dan Tujuannya



Paragraf merupakan rangkaian kalimat yang memiliki gagasan utama. Menurut Busthan Abdy (2017:78-80), jenis paragraf dapat terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu: 1) jenis paragaf menurut letak gagasan utamanya dan 2) jenis paragraf menurut tujuannya.

Jenis Paragraf Menurut Letak Gagasan Utama
Berdasarkan letak gagasan utamanya, paragraf dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
  1. Paragraf Deduktif. Jenis ini memiliki gagasan atau pikiran utama di bagian awal rangkaian kalimat. Biasanya gagasan utama dalam paragraf deduktif, berada pada kalimat pertama. Sedangkan kalimat lainnya berisi penjelasan yang mendukung gagasan utama yang telah dipaparkan di awal.
  2. Paragraf Induktif. Berbanding terbalik dengan paragraf deduktif, gagasan utama pada jenis paragraf induktif baru bisa ditemukan di bagian akhir dari rangkaian kalimat dan lebih sering berada di kalimat terakhir. Gagasan utama di akhir ini bersifat menyimpulkan inti dari kalimat-kalimat penjelas yang berada di kalimat sebelumnya.
  3. Paragraf Campuran. Paragraf campuran merupakan gabungan gagasan utama yang berada di awal dan akhir rangkaian kalimat. Gagasan di kalimat awal biasanya berupa inti pikiran dari paragraf tersebut. Sementara itu, di bagian akhir kembali ditekankan mengenai gagasan utama dengan kalimat yang mungkin saja berbeda dari kalimat gagasan utama di awal.

Jenis Paragraf Menurut Tujuannya

Isi dari paragraf tentunya memiliki beragam tujuan. Ada tujuan yang sifatnya memaparkan, mengajak, mendebat, dan lain-lain. 
Berdasarkan tujuan dari isinya, paragraf dapat dikelompokkan menjadi lima jenis.
  1. Paragraf Narasi. Isi dari jenis paragraf ini bersifat menceritakan sesuatu hal secara kronologis. Untuk yang bersifat naratif, maka tiap kalimatnya disusun secara runtut sehingga memudahkan pembaca membayangkan kejadian atau peristiwa yang tengah diceritakan. Karena sifatnya yang “bercerita”, pembaca akan menemukan sudut pandang dalam kalimat-kalimat di paragraf ini. Jenis ini biasanya dijumpai pada cerpen, novel, ataupun prosa bebas lainnya.
  2. Paragraf Eksposisi. Paragraf eksposisi adalah jenis paragraf yang isinya berupa penjelasan untuk memaparkan fakta-fakta yang ada. Karena fakta yang menjadi dasarnya, tulisan-tulisan eksposisi lebih cenderung bersifat ilmiah. Tujuannya adalah memberikan informasi yang detail kepada pembaca. Ciri-cirinya adalah memiliki fakta yang jelas dari berita ataupun penelitian dan tidak mencampurkan pendapat penulis di dalamnya. Model seperti ini cenderung dijumpai pada artikel-artikel berita.
  3. Paragraf Argumentasi. Jenis paragraf yang bertujuan memberikan pandangan kepada para pembacanya ini tidak hanya menyajikan fakta ataupun isu permasalahan dalam isinya, namun juga memberikan pendapat-pendapat dari sang penulis. Jadi, data maupun fakta hanyalah pelengkap dari opini sang penulis. Pada jenis paragraf argumentasi, akan dijumpai kesimpulan dari rentetan pendapat penulis di dalam rangkaian kalimat tersebut. Kesimpulan tersebut cenderung diletakkan di akhir paragraf.
  4. Paragraf Persuasi. Hampir sama dengan paragraf argumentasi, bahwa paragraf persuasi ini lebih banyaknya menampilkan pendapat-pendapat dari sang penulis terhadap suatu berita atau isu tertentu. Perbedaannya, kalimat-kalimat yang isinya bertujuan memengaruhi pembaca ini cenderung mengandung kata-kata ajakan atau imbauan, seperti ayo dan mari. Kata dan gaya bahasa yang digunakan pun dipilih yang semenarik mungkin untuk semakin meyakinkan pembaca atas ajakan yang dikeluarkan.
  5. Paragraf Deskripsi. Jenis paragraf ini bertujuan untuk membuat para pembacanya dapat lebih merasakan ataupun membayangkan hal yang dideskripsikan secara jelas dan nyata, seolah-olah pembaca dapat melihat, mendengar, ataupun mencercap objek yang dijelaskan. Karena itulah, isinya merupakan gambaran lengkap dari sebuah objek yang disusun dalam kalimat-kalimat.

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Pembelajaran Dasar Bahasa Indonesia. Kupang: Desna Life Ministry

Pengertian Sastra: Pemahaman Suatu Karya Sastra


Oleh Abdy Busthan

Jika suatu ketika, kita bertemu dengan seseorang, lalu kita mencoba mengajukan sebuah pertanyaan pada orang tersebut dengan pertanyaan yang berbunyi: apakah Anda pernah membaca sebuah karya sastra? Jawabannya pasti hanya dua: “sudah” atau “belum”. Dalam artian, ‘sudah’ jika memang pernah membacanya, dan ‘belum’ jika memang belum pernah membacanya.

Atau, misalnya kita bertanya lagi pada seseorang dengan pertanyaan lain yang berbunyi: apakah Anda menyukai sastra? Maka sudah dapat dipastikan pula bahwa jawaban dari orang tersebut adalah: “ya” atau “tidak”! Tentu kedua jawaban ini sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya yang bergaul dengan sastra.

Dari uraian di atas, secara sepintas, mungkin kita bisa memberikan pemahaman sederhana mengenai istilah sastra ini. Mungkin saja, kita berasumsi bahwa sastra adalah sesuatu yang mudah dipahami dan selalu dekat dengan kehidupan setiap insan manusia. Sayang sekali, bahwa anggapan seperti ini sangat keliru!

Sebab perlu dipahami bahwa pemahaman karya sastra tidak semuda-mudahnya seperti yang kita kira. Jika sebuah pertanyaan dilontarkan dengan bunyi, apakah Sastra itu? Maka, pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Mengapa? Karena setiap jawaban yang nantinya akan diberikan, tidak akan bisa menimbulkan kepuasan bagi siapa saja yang bertanya. Tentunya hal ini menegaskan bahwa secara konseptual, siapapun yang menjadi orang yang ditanya tentang pertanyaan itu, maka ia tidak mungkin dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”—meskipun dalam keseharian ia mengenal “sastra” sebagai suatu objek yang sering dihadapinya.

Pada umumnya dalam alam realitas ini, sebagian orang memang getol terhadap sastra. Sebagai misalnya, dengan mendengar dan membaca kalimat-kalimat indah, kata-kata mutiara, juga ungkapan-ungkapan persuasif yang memiliki beragam keindahan bahasa dan sastra dalam melakukan komunikasi antar manusia—semua ini, bisa menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang untuk bersastra.

Namun, pemahaman akan setiap kenikmatan karya sastra ini, perlu di dalami sedalam-dalamnya berdasarkan teori-teori sastra yang ada. Teori sastra akan memberikan gambaran konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang dapat membimbing ke arah dan aras pemahaman akan segala fenomena yang terkandung di dalamnya.

Dengan mempelajari teori sastra, maka kita akan bisa memahami fenomena-fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra tersebut. Sebaliknya, dengan memahami juga fenomena kehidupan manusia yang ada dalam teori sastra, maka otomatis kita akan memahami dan lebih mengerti teori-teori sastra. Inilah urgensi pembelajaran sastra!

Esensi Sastra
Menurut Busthan Abdy (2016:13), sastra merupakan istilah yang akan selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, agama, dll. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam sebuah karya sastra. Itulah sebabnya sastra dianggap mampu untuk memberikan suatu kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sebuah sastra, maka muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif.

Adakalanya, dengan membaca sastra, seseorang akan terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan tersebut, kemungkinan besar, akan muncul kenikmatan estetis. Namun penting dipahami bahwa, sastra bukan suatu seni bahasa semata, melainkan ia juga merupakan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya, faktor yang sangat menentukan di sini adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.

Menurut Luxemburg dkk (1989) dalam Busthan Abdy (2016:14), sastra juga dapat bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus.

Dalam hal penggunaannya, makna dalam istilah sastra, kerapkali dipertentangkan dengan istilah sastrawi, sehingga keduanya menimbulkan makna ambigu. Sulit dibedakan. Padahal, segmentasi dari sastra cenderung mengacu pada definisinya sebagai sekedar sebuah “teks”.

Sedangkan istilah sastrawi, mengarah pada konsep sastra yang sangat kental dengan nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan misalnya, adalah salah satu contoh yang biasanya diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Disamping itu, terdapat perbedaan antara istilah sastrawan dan karya sastra—‘sastrawan’ adalah seseorang yang mempelajari tentang sastra, sedangkan ‘karya sastra’ lebih menunjuk bentuk ataupun hasil dari sastra tersebut.

Pengertian Sastra
Sampai detik ini, tidak ada satu pun definisi tunggal tentang sastra yang dapat menjadi kesepakatan bersama dan bisa diterima oleh semua kalangan. Pengertian sastra luas dan beragam. Para ahli pun mendefinisikan sastra dengan kalimat yang berbeda-beda (Busthan Abdy 2016:14)

Itulah sebabnya, Wiyatmi (2006) menegaskan bahwa sastra bisa diibaratkan seperti angin, berada dimana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, maka upaya mendefinisikannya akan selalu saja gagal karena definisi yang dicoba dirumuskan, ternyata memiliki pengertian yang kurang sempurna dibanding yang didefinisikannya.

Dari pendapat Wiyatmi ini, mungkin lebih tepatnya sastra dapat diartikan sebagai samudra kata-kata dalam rangkaian gaya bahasa estetis yang terungkapkan melalui tulisan yang mempengaruhi kehidupan insan manusia. Pada titik ini, sastra merupakan keindahan gaya bahasa yang mampu menggugah setiap ranah afektif (perasaan), psikomotorik (perbuatan) dan kognitif (pemikiran) dari setiap individu, agar dengan penggugahan atas 3 ranah ini, maka individu memaknai setiap aspek kehidupannya menjadi lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

Sastra Secara Etimologis
Menurut Busthan Abdy (2016:15), secara etimologis, kata ‘sastra’ berasal dari sebuah kata dari bahasa Latin, yaitu kata ‘litteratura’, yang merupakan terjemahan dari kata Yunani grammatika. Kedua kata tersebut, yakni litteratura dan grammatika, masing-masing terbentuk dari kata dasar littera dan gramma, yang berarti: huruf atau tulisan.

Dalam perkembangannya, kata ‘sastra’ kemudian disebutkan dengan bebeberapa sebutan, dalam bahasa inggris, sastra disebutkan dengan literature, dan dalam bahasa Jerman adalah literatur, sementara dalam bahasa Perancis disebut dengan littérature (Prancis). Pemakaian kata sastra atau literature kerapkali mengacu pada segala sesuatu yang tertulis. Dalam konteks di Indonesia, istilah “sastra” awalnya berasal dari kata śāstra (शास्त्र), yang merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Sanskerta, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau sebuah “pedoman”.

Kata śāstra ini berasal dari kata dasarnya śās, yang artinya “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia, kata śāstra sering digunakan dengan mengacu kepada kesusastraan atau tulisan yang mempunyai pengertian atau keindahan tertentu yang sifatnya mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.

Dalam bahasa Sansekerta, kata berakhiran –tra, biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga dapat pula disimpulkan bahwa sastra merupakan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sebagai contoh adalah silpasastra (buku arsitektur) juga kamasastra (buku petunjuk mengenai seni cinta), dll.

Meskipun sastra sering kali dianggap sebagai karya tulis, namun ia tidak saja selalu identik dengan bahasa tulis. Kesalahpahaman dan perbedaan persepsi sering ditemui ketika memahami suatu tulisan. Namun, berbeda halnya dengan sastra. Potensi makna ganda di dalam suatu karya tulis dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suasana khas dari sastra.

Keambiguan yang diciptakan dalam karya sastra disebabkan karena tidak adanya hubungan fisik antara pengarang dan pembacanya. Kata aku dalam sebuah puisi misalnya, bukan berarti hanya menyangkut tentang diri si pengarangnya. Keambiguan makna inilah yang kemudian disebut keindahan sastra

Jika, penggunaan dari kata sastra ini berasal dari serapan bahasa sansekerta seperti yang sudah dijelaskan di atas, dimana kata serapan ini merupakan sastra yang memiliki arti tulisan yang berarti pedoman ataupun perintah—pasalnya, kata sas memiliki arti perintah atau ajaran; sementara seni merupakan sebuah ungkapan perasaan manusia yang mempunyai unsur keindahan—maka, jika digabung seni sastra ini, dapatlah ia diartikan sebagai ungkapan manusia berbentuk teks atau tulisan yang bernilai ekstetika sendiri.

Sastra Pada konteks Mimemis

Sebelum melihat pengertian sastra lebih dekat, hal pertama dan utama yang musti dipahami bahwa sastra itu dibentuk oleh dan dari masyarakat. Dan dalam derajat tertentu, sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dengan masyarakat (Busthan Abdy 2016:17).

Sedangkan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya. Konsep dasar sosiologi sastra seperti ini yang oleh Plato dan Aristoteles, dikenal pula dengan istilah ‘mimesis’—yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’.

Pengertian kata ‘mimesis’ (Yunani: perwujudan atau peniruan) untuk pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni yang digagas dan dikemukakan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), yang dari abad ke abad, memang banyak mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.

Menurut kajian teori mimesis, penciptaan suatu karya sastra tidak sama dengan penulisan sejarah. Sejarah hanya menuliskan fakta-fakta dan menampilkan kejadian seadanya, dengan tujuan memberikan informasi kejadian yang terjadi di masa lalu kepada pembaca.

Sebaliknya, karya sastra diciptakan untuk memuaskan kebutuhan estetik dan rohani manusia. Para penyair misalnya, mereka tidak menulis berdasarkan kenyataan yang ada dan juga tidak menggambarkan suatu kejadian atau setiap dari peristiwa sebagaimana adanya.

Ruang lingkup sastra lebih luas, sehingga para penyair atau pengarang sastra bisa dengan lebih leluasa mengungkapkan beberapa kemungkinan. Perbedaan penafsiran ini bergantung pada sudut pandang yang dimiliki oleh si pembaca.

Rujukan Buku:
Busthan Abdy. (2016). Sejarah & Teori Sastra. Kupang: Desna Life Ministry

Yang berminat mendapatkan buku ini,
silahkan WhatsApp atau Kontak via HP 081333343222

Ada RIndu Meniti Rindu



Sebuah lamunan tanpa basa-basi. Merangkai halimun, bersenandung fakirat. Tetes-tetes narasi mulai terukir. Mungkin sedikit tersendat, lalu tertiup jauh ke atas langit-langit realitas.

Angin datang menghujam, seketika semilir menyongsong naim. Hentakan waktu berputar melingkar. Tanpa sadar, suara nurani terdengar lirih berlinang membias.

Memang tak tampak aksesoris di sini! Sebab sang maskulin asik menabur angin. Sementara pesona merona ternoda, menyingkap jelantik diantara harapan terukir kosong. Lalu sang waktu pergi berjenuh riak, jauh di hilir nestapa. Seketika itu kesombongan merangkul memilu. Tabir hobat datang menyingkap eksotis!

Ini bukan kisah kemewahan nan menggiurkan. Bukan tentang istana megah bernuansa habituatif. Sebab ini bukan milik kaum fahum. Ini bukan sifat hagiografi. Tapi ini adalah balada rindu meniti delirium.

Ini tentang rasa di sini, di tempat ini! Kisah rindu dari rindu! Ketika harapan berlari, lalu tertatih. Ketika cinta menembus batas-batas realitas deliveransi!

Candu rindu berkelakar seketika meratap. Damai pun hanya tertatap, lalu tertatih! Di sana sengkuni-sengkuni mulai liar menggores aksi. Meradang-radang membunuh bayang. Tak tampak peraduan maaf mendekap merangkai. Sebab satu-persatu mulai berlinang menanti. Meskipun yang ternanti, meniti merintih.

Kekasih meringis selaras lara. Dalam nafas temaram merana. Meski tak luput keraguan menyisih kalbu, jejak langkah terkulai tersudut ilusi. Perjalanan setapak liar membuai harapan.

Jemari amanah bermain bermuram durja. Selaksa pelangi merangkai amarah, tersadar pun melingkar simponi. Dalam gersang hati pun menikam bengis!

Menjeritlah wahai titisan amarah membelah langit! Masuklah ke dalam angkara! Demi sang pagi menyongsong mentari, keraguan pun menggores balada.

Fatalis bernyayi menikam deru. Topeng-topeng duri datang meniti derita. Menyulut pelangi dalam rangkaian nalar sang pesimis. Sabda pun menikam janji. Sahara jauh terhempas lirih. Meski prahara berlinang mentari, petaka datang membingkai bayang.

Kau dan aku menilam pualam. Malam pun tiba menafkahi hati. Jarak kita menyulam sua, diantara kerikil-kerikil tawa terletih, ketika janji merangkai imaji.

Di atas peraduan,cemburu berkidung ceracap. Bersama sembilu ia membagi. Karena di sana ada bintang memikul belati!

Penantian hanya tenggelam tersudut hari. Konak kosong merangkai kemuning. Ketika ilusi-ilusi memandu sewindu, laskar-laskar jabarut marah! Lalu membakar!

Risalah berlari seketika meringis. Efulgen rindu risau tak terhiraukan. Di timang-timang dalam buaian ilafi, sebab di sini ada rindu meniti rindu!


(Dalam malam yang membias, di sudut kota Kupang)
Oleh: Abdy Busthan

Fungsi Dan Manfaat Karya Sastra


Dalam menciptakan sebuah karya sastra, harus dipahami bahwa karya sastra tersebut haruslah berfungsi sebagaimana adanya. Fungsi dan manfaat sastra juga bertujuan bagi para pembaca dan pendengarnya masing-masing.

Menurut Busthan Abdy (2016:25-26), beberapa fungsi karya sastra adalah sebagai berikut:
  1. Fungsi rekreatif adalah memberikan kesangan atau hiburan bagi pembacanya
  2. Fungsi didaktif adalah fungsi sastra memberikan wawasan pengetahuan tentang berbagai seluk-beluk kehidupan manusia bagi pembacanya
  3. Fungsi estetis adalah sastra mampu memberikan keindahan pembacanya
  4. Fungsi moralitas adalah memberikan pengetahuan bagi pembacanya mengenai moral yang baik dan buruk.
  5. Fungsi religius adalah sastra menghadirkan karya yang didalamnya mengandung ajaran agama yang diteladani oleh pembacanya.
Sementara terkait dengan manfaat karya sastra, Busthan Abdy (2016:26) menyatakan bahwa manfaat sastra dapat dikelompokkan berdasarkan tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

Pertama. Sebagai sarana penyampaian suatu pesan moral. Dengan karya sastra para sastrawan bisa menyampaikan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, serta memperjuangkan hak juga martabat manusia.

Kedua. Sebagai sebuah sarana penyampaian kritik. Dengan melalui seni sastra, maka elemen masyarakat bisa mengemukakan masalah kritik dan juga saran.

Ketiga. Sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan juga perhargaan terhadap kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dimana, seni sastra Indonesia adalah sarana berekspresi budaya dalam rangka untuk ikut memupuk kesadaran sejarah serta semangat akan nasionalisme.

(Oleh: Abdy Busthan)

Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2016). Sejarah dan Teori Sastra. Kupang: Desna Life Ministry

Pengertian Puisi dan Unsur-Unsur Di Dalamnya



Puisi merupakan suatu bagian dalam karya sastra yang berasal dari hasil ‘perasaan’ yang diungkapankan oleh penyair dengan bahasa yang menggunakan irama, rima, matra, bait, dan penyusunan lirik yang berisi makna. 

Di dalam puisi terkandung suatu ungkapan perasaan dan pikiran dari para penyair yang menggunakan imajinasinya. Penyair dalam menyusun puisi, kemudian berkonsentrasi dengan kekuatan bahasa, baik secara fisik maupun batin. Sebuah puisi harus mengutamakan bunyi, bentuk, serta makna yang terkandung untuk disampaikan. Keindahan pada puisi menjadi kualitas estetika yang begitu indah.

Pada awalnya, istilah “puisi” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu: poiéo atau “poió” (ποιέω/ποιῶ), yang dalam bahasa Inggris adalah “I create” yaitu seni tertulis. Menurut Wikipedia (2017) bahwa dalam bentuk seni tertulis ini, seorang penyair menggunakan bahasa untuk menambah kualitas estetis pada makna semantis. 

Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter, dan rima, adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Pandangan kaum awam biasanya membedakan puisi dan prosa dari jumlah huruf dan kalimat dalam karya tersebut. Puisi lebih singkat dan padat, sedangkan prosa mengalir seperti mengutarakan sebuah cerita.

Kebanyakan dari para ahli modern, menggunakan pendekatan dengan lebih mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur saja, tetapi sebagai perwujudan imajinasi individu manusia yang menjadi sumber segala kreativitas. Pada titik ini, puisi merupakan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hati 
yang sedang dialaminya. 

Baris-baris di dalam puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag, dan lain-lain). Hal tersebut merupakan cara yang digunakan penulis untuk menunjukkan gagasan dan arah pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi satu kata atau suku kata yang terus diulang-ulang. 

Mungkin bagi pembaca, hal ini membuat puisi menjadi sulit dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya tersebut. Ingat bahwa, tak ada yang bisa membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi. 

Ada beberapa perbedaan antara puisi lama dan puisi baru. Namun beberapa kasus mengenai puisi modern atau puisi cyber belakangan ini makin memprihatinkan jika ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu sendiri yaitu 'pemadatan kata'. 

Kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan lebih, mementingkan gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut. Di dalam puisi juga biasa disisipkan majas yang membuat puisi itu semakin indah. Majas tersebut juga ada bemacam, salah satunya adalah sarkasme yaitu sindiran langsung dengan kasar. 

Menurut Wipedia (2017), pada beberapa daerah di Indonesia, puisi juga sering dinyanyikan dalam bentuk pantun. Dalam hal ini, beberapa kalangan cenderung tidak berpatokan pada kaidah awal puisi. 

Unsur Dalam Puisi
Unsur-unsur dalam puisi, biasanya meliputi dua bagian, yaitu: 1) struktur fisik; dan 2) struktur batin dari sebuah puisi.

1. Struktur fisik puisi
Struktur fisik puisi terdiri dari:
  1. Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
  2. Diksi, merupakan pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang mengandung sedikit kata-kata, tapi dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
  3. Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang mampu untuk mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
  4. Kata konkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misalnya kata konkret “salju” yang melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata konkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
  5. Gaya bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Gaya bahasa disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
  6. Rima atau Irama, adalah persamaan bunyi pada puisi, baik pada awal, pertengahan, dan akhir dari baris puisi. Rima mencakup: Onomatope, yaitu tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi. Bentuk intern pola bunyi, yaitu bentuk aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan lain sebagainya. Pengulangan kata atau ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Rima sangat menonjol dalam pembacaan puisi. 
2. Struktur batin puisi. 
Struktur batin puisi terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
  1. Tema atau makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
  2. Rasa (feeling), dalam hal ini ‘rasa’ menyangkut sikap seorang penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
  3. Nada (tone), adalah sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk bisa memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
  4. Amanat, tujuan, dan maksud (intention); yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca.

Oleh: Abdy Busthan

Prosa dan Puisi Sebagai Bagian dari Karya Sastra



Prosa dan puisi adalah bagian dari sastra. Dalam kajian apapun, sastra itu indah, dan nikmat. Berbagai segi kehidupan dalam alam realitas ini, semuanya bisa kita ungkapkan dalam sebuah karya sastra. 

Itu sebabnya, sastra dianggap mampu memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sebuah karya sastra, muncullah romantika suspense (ketegangan-ketegangan) yang sungguh manis dan indah.

Artinya bahwa dalam ketegangan-ketegangan itulah maka diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. 

Adakalanya, dengan membaca sastra, seseorang akan terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan tersebut, kemungkinan besar, akan muncul kenikmatan estetis (Busthan Abdy, 2016:13).

Sastra bukan saja suatu bentuk seni bahasa semata, melainkan ia merupakan kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. 

Jelasnya, faktor yang sangat menentukan di sini adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Tentu kenyataaan itu tergambar dalam dua bagian dari sastra, yaitu: prosa dan puisi.

Prosa, adalah jenis sastra yang dibedakan dari puisi, karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa juga dekat dengan bahasa sehari-hari. 

Sedangkan puisi adalah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan sangat cermat. Sehingga mampu mempertajam kesadaran pendengar serta penyimaknya akan bunyi, irama, bahkan makna khusus yang terkandung di dalam puisi.

Oleh Abdy Busthan

Pembacaan Puisi "Duka Durjana"


Duka Durjana
Karya: Abdy Busthan

Jika aku ingin kembali,
Ku ingin senyum, bukan tangisan
Jika aku ingin membeli,
Ku ingin bernafas, bukan kematian

Jingga apa? warna apa? bedebah apa,
Jawabnya, itu naluri bukan pertapa,
Jujur, meski maskulin tak pantas ada,
Jantung langit juga liar mendekap bara

Tuhan, Tuhan, Tuhan,
Ampun, ampun, ampun ....

Singgasana badai menghujam tirai epidermis,
Harapan berderai, seakan biduk bersujud miris
Hari terkapar resah, dalam untaian sang pesimis
Seharusnya progeni berkelakar, lalu optimis

Tanpa ampun, amarah racunmu meneror
Tak tampak lagi peraduan maafmu mengalir
Tempat aman kian bringas menjadi kotor
Titah amanat semakin tak terhiraukan terukir
Tembang lara semakin sendu tak berpelipur

Aku hanya ingin,
Tak ada lagi tangisan di dunia ini,
Sebab tangisan mengisyaratkan duka

Aku hanya ingin,
Tempat sembilu tak mengalir lagi,
Seakan menimpa mereka yg tak berdosa

Tuhan, akankah fakta mengingkari fakta?
Tuhan, bisakah musibah berganti mujizat ?
Tuhan, pernahkah kehidupan berlalu dari derita?
Tuhan, mampukah vonis tertunda, lalu terlambat?

Jika aku ingin kembali,
Aku pun tak kembali lagi
Jika aku tak kembali lagi,
Aku hanya ingin untuk kembali

(Ketika Mr X, terkena kanker jahat, ia meninggalkanku di kediamannya-Surabaya)