Sebuah lamunan tanpa basa-basi. Merangkai halimun, bersenandung fakirat. Tetes-tetes narasi mulai terukir. Mungkin sedikit tersendat, lalu tertiup jauh ke atas langit-langit realitas.
Angin datang menghujam, seketika semilir menyongsong naim. Hentakan waktu berputar melingkar. Tanpa sadar, suara nurani terdengar lirih berlinang membias.
Memang tak tampak aksesoris di sini! Sebab sang maskulin asik menabur angin. Sementara pesona merona ternoda, menyingkap jelantik diantara harapan terukir kosong. Lalu sang waktu pergi berjenuh riak, jauh di hilir nestapa. Seketika itu kesombongan merangkul memilu. Tabir hobat datang menyingkap eksotis!
Ini bukan kisah kemewahan nan menggiurkan. Bukan tentang istana megah bernuansa habituatif. Sebab ini bukan milik kaum fahum. Ini bukan sifat hagiografi. Tapi ini adalah balada rindu meniti delirium.
Ini tentang rasa di sini, di tempat ini! Kisah rindu dari rindu! Ketika harapan berlari, lalu tertatih. Ketika cinta menembus batas-batas realitas deliveransi!
Candu rindu berkelakar seketika meratap. Damai pun hanya tertatap, lalu tertatih! Di sana sengkuni-sengkuni mulai liar menggores aksi. Meradang-radang membunuh bayang. Tak tampak peraduan maaf mendekap merangkai. Sebab satu-persatu mulai berlinang menanti. Meskipun yang ternanti, meniti merintih.
Kekasih meringis selaras lara. Dalam nafas temaram merana. Meski tak luput keraguan menyisih kalbu, jejak langkah terkulai tersudut ilusi. Perjalanan setapak liar membuai harapan.
Jemari amanah bermain bermuram durja. Selaksa pelangi merangkai amarah, tersadar pun melingkar simponi. Dalam gersang hati pun menikam bengis!
Menjeritlah wahai titisan amarah membelah langit! Masuklah ke dalam angkara! Demi sang pagi menyongsong mentari, keraguan pun menggores balada.
Fatalis bernyayi menikam deru. Topeng-topeng duri datang meniti derita. Menyulut pelangi dalam rangkaian nalar sang pesimis. Sabda pun menikam janji. Sahara jauh terhempas lirih. Meski prahara berlinang mentari, petaka datang membingkai bayang.
Kau dan aku menilam pualam. Malam pun tiba menafkahi hati. Jarak kita menyulam sua, diantara kerikil-kerikil tawa terletih, ketika janji merangkai imaji.
Di atas peraduan,cemburu berkidung ceracap. Bersama sembilu ia membagi. Karena di sana ada bintang memikul belati!
Penantian hanya tenggelam tersudut hari. Konak kosong merangkai kemuning. Ketika ilusi-ilusi memandu sewindu, laskar-laskar jabarut marah! Lalu membakar!
Risalah berlari seketika meringis. Efulgen rindu risau tak terhiraukan. Di timang-timang dalam buaian ilafi, sebab di sini ada rindu meniti rindu!
(Dalam malam yang membias, di sudut kota Kupang)
Oleh: Abdy Busthan
Angin datang menghujam, seketika semilir menyongsong naim. Hentakan waktu berputar melingkar. Tanpa sadar, suara nurani terdengar lirih berlinang membias.
Memang tak tampak aksesoris di sini! Sebab sang maskulin asik menabur angin. Sementara pesona merona ternoda, menyingkap jelantik diantara harapan terukir kosong. Lalu sang waktu pergi berjenuh riak, jauh di hilir nestapa. Seketika itu kesombongan merangkul memilu. Tabir hobat datang menyingkap eksotis!
Ini bukan kisah kemewahan nan menggiurkan. Bukan tentang istana megah bernuansa habituatif. Sebab ini bukan milik kaum fahum. Ini bukan sifat hagiografi. Tapi ini adalah balada rindu meniti delirium.
Ini tentang rasa di sini, di tempat ini! Kisah rindu dari rindu! Ketika harapan berlari, lalu tertatih. Ketika cinta menembus batas-batas realitas deliveransi!
Candu rindu berkelakar seketika meratap. Damai pun hanya tertatap, lalu tertatih! Di sana sengkuni-sengkuni mulai liar menggores aksi. Meradang-radang membunuh bayang. Tak tampak peraduan maaf mendekap merangkai. Sebab satu-persatu mulai berlinang menanti. Meskipun yang ternanti, meniti merintih.
Kekasih meringis selaras lara. Dalam nafas temaram merana. Meski tak luput keraguan menyisih kalbu, jejak langkah terkulai tersudut ilusi. Perjalanan setapak liar membuai harapan.
Jemari amanah bermain bermuram durja. Selaksa pelangi merangkai amarah, tersadar pun melingkar simponi. Dalam gersang hati pun menikam bengis!
Menjeritlah wahai titisan amarah membelah langit! Masuklah ke dalam angkara! Demi sang pagi menyongsong mentari, keraguan pun menggores balada.
Fatalis bernyayi menikam deru. Topeng-topeng duri datang meniti derita. Menyulut pelangi dalam rangkaian nalar sang pesimis. Sabda pun menikam janji. Sahara jauh terhempas lirih. Meski prahara berlinang mentari, petaka datang membingkai bayang.
Kau dan aku menilam pualam. Malam pun tiba menafkahi hati. Jarak kita menyulam sua, diantara kerikil-kerikil tawa terletih, ketika janji merangkai imaji.
Di atas peraduan,cemburu berkidung ceracap. Bersama sembilu ia membagi. Karena di sana ada bintang memikul belati!
Penantian hanya tenggelam tersudut hari. Konak kosong merangkai kemuning. Ketika ilusi-ilusi memandu sewindu, laskar-laskar jabarut marah! Lalu membakar!
Risalah berlari seketika meringis. Efulgen rindu risau tak terhiraukan. Di timang-timang dalam buaian ilafi, sebab di sini ada rindu meniti rindu!
(Dalam malam yang membias, di sudut kota Kupang)
Oleh: Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar