Kecerdasan religius atau Spiritual Quotient (SQ) adalah “takut akan Tuhan”, yang menghasilkan tiga ranah kecerdasan, yang tingkatannya dimulai dengan:
- Kecerdasan Emosional (EQ)—Domain Afektif;
- Kecerdasan Kinestetis—Domain Psikomotorik
- Kecerdasan Intelektual (IQ)—Domain Kognitif
Daniel Goleman (2001), menyatakan bahwa, yang selama ini diistimewakan yakni “kecerdasan intelektual”, bukanlah penentu utama kesuksesan dari seorang manusia. Sehingga Goleman akhirnya menemukan teori kecerdasan emosional (EQ).
Namun tidak begitu lama, muncullah satu teori yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional saja tidaklah cukup. Untuk menjadi benar-benar sukses dan bahagia, maka seseorang juga harus cerdas secara spiritual, yang biasa disebut dengan “kecerdasan spiritual” atau SQ (spiritual quotient).
Adalah psikolog Danah Zohar dan suaminya Ian Marshall, yang memunculkan Q yang ketiga yang disebutkan sebagai SQ, yaitu sebuah landasan untuk dapat memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Melalui buku mereka berjudul “SQ: Spiritual Intelligence–The Ultimate Intelligence” (2000), mereka menyatakan bahwa kecerdasan spiritual tidak bisa di hitung, karena pertanyaan yang diberikan semata-mata merupakan latihan perenungan.
Menurut Zohar dan Marshall (2000), manusia pada zaman ini sedang hidup dalam budaya yang “bodoh secara spiritual.” Manusia sekarang ini, memang sedang kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai mendasar yang ditandai oleh materialisme, individualisme, egoisme, kebanyakan kehilangan makna dan komitmen.
Dengan kata lain manusia zaman ini sedang mengalami kekeringan spiritual di tengah pertumbuhan IQ manusia yang sangat tinggi dan di tengah perkembangan teknologi yang sangat pesat.
Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap orang bukan hanya meningkatkan serta mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi yang mereka miliki saja, tetapi sangat penting juga untuk meningkatkan dan mengembangkan kecerdasan spiritualnya.
Apakah SQ itu? Zohar dan Marshall dalam bukunya tidak memberikan batasan secara definitif. Mereka hanya menekankan pada aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari “Kecerdasan Spiritual” (SQ).
Jadi SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai, dan menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan pilihan-pilihan orang lain.
Berlandaskan pendapat beberapa ahli psikologi, seperti: Sigmund Freud, C. G. Jung, neurolog Persinger, Ramachandran, dan filsuf Daniel Dennett, Rene Descartes, selanjutnya Zohar dan Marshall mengulas mengenai “Kecerdasan Spiritual” yang disimbolkan sebagai "Teratai Diri" yaitu suatu hal yang bisa menggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia (rasional, emosional, dan spiritual), tiga pemikiran (seri, asosiatif, dan penyatu), serta tiga jalan dasar pengetahuan (primer, sekunder dan tersier) dan tiga tingkatan diri (pusat-transpersonal, tengah-asosiatif & interpersonal, serta pinggiran-ego per-sonal).
SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian diri manusia yang paling dalam, yang akan menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia. SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia ini, dan yang berhubungan dengan kearifan dan kebijaksanaan di luar ego atau jiwa sadar. SQ juga menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. SQ adalah kecerdasan jiwa.
Jika dikaitkan dengan Kekristenan, apakah SQ ini merupakan hal baru yang belum pernah di bahas sama sekali dalam Alkitab? Tentu saja tidak, malah banyak sekali contoh-contoh pribadi-pribadi yang dicatat dalam Alkitab sebagai orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual (SQ).
Ambillah contoh tokoh Perjanjian Lama seperti Yusuf, Salomo dan Daniel, selain Yesus Kristus, tentunya yang merupakan “contoh khusus.” Boleh dibilang mereka-mereka itu adalah contoh dari pribadi-pribadi yang sangat cerdas secara spiritual (SQ).
Sebagaimana pada masa kehidupan mereka, banyak sekali cobaan-cobaan, kesulitan-kesulitan dan penderitaan serta tantangan yang mereka hadapi, yang bahkan menuntut nyawa mereka sebagai taruhan dalam perjalanan hidup mereka sebagai umat Allah, namun mereka berhasil tanpa terjatuh dalam kecacatan moral atau cacat spiritual sejauh Alkitab mencatatnya.
Pemahaman SQ yang Keliru
Memang, kebanyakan orang masih mendefinisikan kecerdasan spiritual (SQ) secara kasat mata, yaitu dengan konsep bahwa jika seseorang memiliki pengetahuan yang banyak serta memiliki pemahaman yang akurat terhadap ayat-ayat Alkitab, rajin beribadah dan rajin melayani, maka ia dapatlah disebut memiliki cerdas spiritual.
Pemahaman ini pada akhirnya akan membuat sebagian orang bingung, merasa tertipu, merasa dibohongi. Padahal kaca mata yang mereka pakai adalah keliru.
Karena antara pemahaman dan aktivitas beribadah dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, masih ada faktor lain yang tidak terlihat secara kasat mata yang termasuk dalam bagian kecerdasan spiritual (SQ) yaitu motivasi, ketulusan, kejujuran, integritas dan keotentikannya.
Banyak orang Kristen yang tidak mengalami makna sejati dari kehidupan Kekeristenannya jika mereka hanya fokus untuk meraih atau memiliki pengetahuan tentang Allah dan Alkitab saja, namun tidak hidup di dalamnya.
Anthony Dio Martin (2003) dalam bukunya yang berjudul “Emotional Quality Management”, menekankan bahwa manusia perlu berhati-hati dengan pertumbuhan EQ yang tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip spiritualitas. Anthony menekankan bahwa bisa saja terjadi di mana EQ berkembang tanpa spiritualitas. Dan oleh karena itu maka EQ pun dapat dengan mudah untuk dimanipulasi.
Anthony menjelaskan bahwa selama ratusan tahun telah menunjukkan banyak diantara para pemimpin dunia yang memiliki kecerdasan emosional yang akhirnya dengan mudah mereka memanipulasi rakyat secara destruktif dan sangat merugikan, sehingga jutaan rakyat dicampakkan dalam jurang kesengsaraan.
Jadi, tanpa kendali dari SQ, kekuatan EQ akan berkembang menjadi kekuatan yang jahat dan penuh pura-pura. Marilah kita mulai melatih dan mengembangkan kecerdasan spiritual dengan merendahkan diri dan menundukkan diri untuk mengikuti dan menataai perintah Tuhan.
Yesus berkata bahwa, pusat dari spiritualitas manusia adalah relasi yang intim dan benar, yang secara terus menerus di dalam Dia: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Yohanes 15:4-5.
Oleh: Abdy Busthan
Namun tidak begitu lama, muncullah satu teori yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional saja tidaklah cukup. Untuk menjadi benar-benar sukses dan bahagia, maka seseorang juga harus cerdas secara spiritual, yang biasa disebut dengan “kecerdasan spiritual” atau SQ (spiritual quotient).
Adalah psikolog Danah Zohar dan suaminya Ian Marshall, yang memunculkan Q yang ketiga yang disebutkan sebagai SQ, yaitu sebuah landasan untuk dapat memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Melalui buku mereka berjudul “SQ: Spiritual Intelligence–The Ultimate Intelligence” (2000), mereka menyatakan bahwa kecerdasan spiritual tidak bisa di hitung, karena pertanyaan yang diberikan semata-mata merupakan latihan perenungan.
Menurut Zohar dan Marshall (2000), manusia pada zaman ini sedang hidup dalam budaya yang “bodoh secara spiritual.” Manusia sekarang ini, memang sedang kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai mendasar yang ditandai oleh materialisme, individualisme, egoisme, kebanyakan kehilangan makna dan komitmen.
Dengan kata lain manusia zaman ini sedang mengalami kekeringan spiritual di tengah pertumbuhan IQ manusia yang sangat tinggi dan di tengah perkembangan teknologi yang sangat pesat.
Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap orang bukan hanya meningkatkan serta mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi yang mereka miliki saja, tetapi sangat penting juga untuk meningkatkan dan mengembangkan kecerdasan spiritualnya.
Apakah SQ itu? Zohar dan Marshall dalam bukunya tidak memberikan batasan secara definitif. Mereka hanya menekankan pada aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari “Kecerdasan Spiritual” (SQ).
Jadi SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai, dan menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan pilihan-pilihan orang lain.
Berlandaskan pendapat beberapa ahli psikologi, seperti: Sigmund Freud, C. G. Jung, neurolog Persinger, Ramachandran, dan filsuf Daniel Dennett, Rene Descartes, selanjutnya Zohar dan Marshall mengulas mengenai “Kecerdasan Spiritual” yang disimbolkan sebagai "Teratai Diri" yaitu suatu hal yang bisa menggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia (rasional, emosional, dan spiritual), tiga pemikiran (seri, asosiatif, dan penyatu), serta tiga jalan dasar pengetahuan (primer, sekunder dan tersier) dan tiga tingkatan diri (pusat-transpersonal, tengah-asosiatif & interpersonal, serta pinggiran-ego per-sonal).
SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian diri manusia yang paling dalam, yang akan menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia. SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia ini, dan yang berhubungan dengan kearifan dan kebijaksanaan di luar ego atau jiwa sadar. SQ juga menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. SQ adalah kecerdasan jiwa.
Jika dikaitkan dengan Kekristenan, apakah SQ ini merupakan hal baru yang belum pernah di bahas sama sekali dalam Alkitab? Tentu saja tidak, malah banyak sekali contoh-contoh pribadi-pribadi yang dicatat dalam Alkitab sebagai orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual (SQ).
Ambillah contoh tokoh Perjanjian Lama seperti Yusuf, Salomo dan Daniel, selain Yesus Kristus, tentunya yang merupakan “contoh khusus.” Boleh dibilang mereka-mereka itu adalah contoh dari pribadi-pribadi yang sangat cerdas secara spiritual (SQ).
Sebagaimana pada masa kehidupan mereka, banyak sekali cobaan-cobaan, kesulitan-kesulitan dan penderitaan serta tantangan yang mereka hadapi, yang bahkan menuntut nyawa mereka sebagai taruhan dalam perjalanan hidup mereka sebagai umat Allah, namun mereka berhasil tanpa terjatuh dalam kecacatan moral atau cacat spiritual sejauh Alkitab mencatatnya.
Pemahaman SQ yang Keliru
Memang, kebanyakan orang masih mendefinisikan kecerdasan spiritual (SQ) secara kasat mata, yaitu dengan konsep bahwa jika seseorang memiliki pengetahuan yang banyak serta memiliki pemahaman yang akurat terhadap ayat-ayat Alkitab, rajin beribadah dan rajin melayani, maka ia dapatlah disebut memiliki cerdas spiritual.
Pemahaman ini pada akhirnya akan membuat sebagian orang bingung, merasa tertipu, merasa dibohongi. Padahal kaca mata yang mereka pakai adalah keliru.
Karena antara pemahaman dan aktivitas beribadah dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, masih ada faktor lain yang tidak terlihat secara kasat mata yang termasuk dalam bagian kecerdasan spiritual (SQ) yaitu motivasi, ketulusan, kejujuran, integritas dan keotentikannya.
Banyak orang Kristen yang tidak mengalami makna sejati dari kehidupan Kekeristenannya jika mereka hanya fokus untuk meraih atau memiliki pengetahuan tentang Allah dan Alkitab saja, namun tidak hidup di dalamnya.
Anthony Dio Martin (2003) dalam bukunya yang berjudul “Emotional Quality Management”, menekankan bahwa manusia perlu berhati-hati dengan pertumbuhan EQ yang tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip spiritualitas. Anthony menekankan bahwa bisa saja terjadi di mana EQ berkembang tanpa spiritualitas. Dan oleh karena itu maka EQ pun dapat dengan mudah untuk dimanipulasi.
Anthony menjelaskan bahwa selama ratusan tahun telah menunjukkan banyak diantara para pemimpin dunia yang memiliki kecerdasan emosional yang akhirnya dengan mudah mereka memanipulasi rakyat secara destruktif dan sangat merugikan, sehingga jutaan rakyat dicampakkan dalam jurang kesengsaraan.
Jadi, tanpa kendali dari SQ, kekuatan EQ akan berkembang menjadi kekuatan yang jahat dan penuh pura-pura. Marilah kita mulai melatih dan mengembangkan kecerdasan spiritual dengan merendahkan diri dan menundukkan diri untuk mengikuti dan menataai perintah Tuhan.
Yesus berkata bahwa, pusat dari spiritualitas manusia adalah relasi yang intim dan benar, yang secara terus menerus di dalam Dia: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Yohanes 15:4-5.
Oleh: Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar