Orang hebat bukanlah mereka yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, bukan pula orang yang memiliki keadaan fisik yang sempurna, tetapi orang yang hebat adalah orang yang memiliki “hati yang besar”.
Hati yang besar akan selalu siap menyikapi segala sesuatunya dengan positif dan gembira. Itulah sebabnya hati yang gembira adalah obat kehidupan (Amsal 17:22). Apa gunanya suatu pengetahuan yang tinggi, jika toh pada akhirnya nanti ia akan merusak batas-batas kehidupan bersama? Apa pula manfaatnya memiliki fisik yang tegap nan sempurna, jika toh pada akhirnya ia merusak diri sendiri dan orang lain?
Dalam konteks kebudayaan Yunani kuno, pendidikan dapatlah diilustrasikan sebagai pengolahan tanah pertanian. Dimana benih dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah.
Tampak di sini bahwa pendidikan merupakan usaha terpadu untuk memanusiakan manusia, juga membentuk karakter, sehingga menghasilkan “pribadi” yang sejatinya dapat memiliki keutamaan.
Jadi melalui pendidikan, setiap individu mampu membangun sinergi konstruktif bagi pengaktualan potensi kecerdasan dalam diri mereka.
Maka salah satu tujuan pendidikan di Yunani Kuno adalah suatu proses dalam menumbuhkan kesadaran diri warga negara akan seperangkat aturan dan tanggung jawabnya kepada Negara.
Pada zaman renaisans, tepatnya pemerintahan Paus Pius II, dia juga mendefinisikan pendidikan sebagai proses menanamkan kebiasaan yang terbukti baik untuk masa depan anak didik (siswa).
Sehingga pada masa itu pendidikan banyak diarahkan pada proses pembentukan keutamaan dan kebijaksanaan yang berdasarkan pada pengelolaan hati i dari nsan pendidikan.
Pengolahan Hati
Pentingnya “pengolahan hati” dalam proses pendidikan, merupakan hak natural setiap manusia. Melalui kebebasan hati, setiap individu
Tampak di sini bahwa pendidikan merupakan usaha terpadu untuk memanusiakan manusia, juga membentuk karakter, sehingga menghasilkan “pribadi” yang sejatinya dapat memiliki keutamaan.
Jadi melalui pendidikan, setiap individu mampu membangun sinergi konstruktif bagi pengaktualan potensi kecerdasan dalam diri mereka.
Maka salah satu tujuan pendidikan di Yunani Kuno adalah suatu proses dalam menumbuhkan kesadaran diri warga negara akan seperangkat aturan dan tanggung jawabnya kepada Negara.
Pada zaman renaisans, tepatnya pemerintahan Paus Pius II, dia juga mendefinisikan pendidikan sebagai proses menanamkan kebiasaan yang terbukti baik untuk masa depan anak didik (siswa).
Sehingga pada masa itu pendidikan banyak diarahkan pada proses pembentukan keutamaan dan kebijaksanaan yang berdasarkan pada pengelolaan hati i dari nsan pendidikan.
Pengolahan Hati
Pentingnya “pengolahan hati” dalam proses pendidikan, merupakan hak natural setiap manusia. Melalui kebebasan hati, setiap individu
dibentuk untuk berani bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Melalui pendidikan hati, setiap individu yang mengenyam pendidikan, tidak hanya mengetahui kebenaran, tapi juga mampu mencintai dan melakukan kebaikan.
Artinya bahwa, setiap peserta didik tidak hanya menjadi orang pintar secara akal budi, tapi juga menjadi orang yang cerdas dan baik secara hati nurani dan perasaan (bijaksana).
Karena itu, pendidikan tidak boleh hanya menyangkut persoalan transfer pengetahuan dan informasi semata, tetapi ia juga harus membentuk ‘hati nurani’. Sehingga dapat membantu setiap siswa untuk bisa mengendalikan sikap dan perbuatannya dalam mengekspresikan diri secara lebih proporsional dan memadai.
Pendidikan hati bertujuan untuk mengolah setiap potensi-potensi yang dimiliki seseorang untuk menjadi lebih manusiawi dan imajinatif. Agar dapat memampukan setiap individu membangun sikap kesadaran diri yang kritis atas apa yang telah terjadi dalam diri dan lingkungannya.
Idealnya, pendidikan hati mampu menyentuh aspek pribadi individu, yakni dalam membentuk integritas, moralitas, mentalitas dan pribadi yang unggul (berkeutamaan).
Pendidikan semacam ini mampu mengembangkan kepribadian seperti olah pikir, olah rasa, dan olah karsa. Tentunya, hasil pendidikan hati akan membuat setiap siswa bisa mempraktikkan nilai-nilai kebenaran (verum), keindahan (pulcrum), dan kebaikan (bonum).
Itu sebabnya, pendidikan bukan soal kemampuan otak dan tangan saja, tetapi juga soal hati dan jiwa (ruh). Sebab pendidikan mencakup pengembangan logos, eros, ethos, dan pathos.
Artinya, dalam proses pendidikan, aspek intelektualitas, kreativitas, dan integritas serta solidaritas, haruslah dikembangkan secara integral, yang kesemuanya berpusat pada ortopedagogik hati nurani yang proporsional.
Sehingga benarlah apa yang diungkapkan Hedricks (1987) bahwa mengajar dengan kepala sangatlah mudah, tetapi mengajar dengan hati jauh lebih sulit; meski dengan pasti akan selalu lebih bermanfaat. Sebab sesungguhnya itulah prinsip mengajar yang mengubah hidup.
Oleh: Abdy Busthan
Karena itu, pendidikan tidak boleh hanya menyangkut persoalan transfer pengetahuan dan informasi semata, tetapi ia juga harus membentuk ‘hati nurani’. Sehingga dapat membantu setiap siswa untuk bisa mengendalikan sikap dan perbuatannya dalam mengekspresikan diri secara lebih proporsional dan memadai.
Pendidikan hati bertujuan untuk mengolah setiap potensi-potensi yang dimiliki seseorang untuk menjadi lebih manusiawi dan imajinatif. Agar dapat memampukan setiap individu membangun sikap kesadaran diri yang kritis atas apa yang telah terjadi dalam diri dan lingkungannya.
Idealnya, pendidikan hati mampu menyentuh aspek pribadi individu, yakni dalam membentuk integritas, moralitas, mentalitas dan pribadi yang unggul (berkeutamaan).
Pendidikan semacam ini mampu mengembangkan kepribadian seperti olah pikir, olah rasa, dan olah karsa. Tentunya, hasil pendidikan hati akan membuat setiap siswa bisa mempraktikkan nilai-nilai kebenaran (verum), keindahan (pulcrum), dan kebaikan (bonum).
Itu sebabnya, pendidikan bukan soal kemampuan otak dan tangan saja, tetapi juga soal hati dan jiwa (ruh). Sebab pendidikan mencakup pengembangan logos, eros, ethos, dan pathos.
Artinya, dalam proses pendidikan, aspek intelektualitas, kreativitas, dan integritas serta solidaritas, haruslah dikembangkan secara integral, yang kesemuanya berpusat pada ortopedagogik hati nurani yang proporsional.
Sehingga benarlah apa yang diungkapkan Hedricks (1987) bahwa mengajar dengan kepala sangatlah mudah, tetapi mengajar dengan hati jauh lebih sulit; meski dengan pasti akan selalu lebih bermanfaat. Sebab sesungguhnya itulah prinsip mengajar yang mengubah hidup.
Oleh: Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar