Pengertian tentang Allah yang paling dalam adalah, seperti apa yang dikatakan Thomas Aquino, bahwa, “kita tidak tahu apa-apa tentang Dia”. Sementara Agustinus menegaskan, “Allah dimengerti lebih baik dengan tidak mengerti”. Allah itu “Yang tak-Terkatakan”; “Yang Tak-ternamai”; “Yang Tersembunyi”. Allah mengatasi semua nama dan konsep manusiawi (Hamersma Harry, 2014:11).
Bagian filsafat yang berbicara tentang Allah adalah “teologi kodrati” atau “teologi metafisik”. Dalam batas pemahaman bahwa teologi atau pembicaraan tentang Allah adalah berdasarkan pada akal dan pemikiran kodrati, tanpa bantuan wahyu.
Teologi kodrati di sebut juga “theologia naturalis” yang dalam tradisi Kristiani, pertama kalinya digunakan oleh Agustinus dalam tulisannya berjudul “De civitate Dei”, dimana dalam tulisan itu Agustinus kemudian membedakan tiga macam teologi, yaitu:
- Theologia Fabulosa, yang berbicara tentang mitos-mitos dan sekaligus merupakan wilayah pernyataan para penyair
- Theologia Civilis atau Politica, yang merupakan wilayah pemikiran menyangkut agama-negara
- Theologia Naturalis, yang disebut sebagai teologi kodrati, yaitu pengetahuan tentang Tuhan secara alami yang merupakan wilayah filsafat.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa pada masa itu pembedaan ketiga hal tersebut di atas, tidaklah relevan—sebab bagi Agustinus sendiri—tidak ada pertentangan antara iman dalam teologi dan dunia filsafat,—yaitu antara yang dipercaya dan yang dimengerti atas dasar akal.
Menurut Hamersma Harry (2014), sejak mula-mula, memang batas antara filsafat dan teologi tidak begitu jelas. Dalam banyak kebudayaan, batas ini sama sekali tidak ada. Demikian halnya dengan dunia Kristiani. Baru sejak Thomas Aquinas (1225-1274) mulailah dibedakan antara teologi sebagai pikiran gerejawi atas dasar wahyu, dengan filsafat sebagai pikiran manusiawi atas dasar pengalaman inderawi dan akal manusia.
Dalam konteks perbedaan inilah muncul istilah “filsafat Ketuhanan” yang lazim digunakan oleh mereka yang tidak mau mengakui otoritas dan kesahihan teologi.
Selanjutnya di zaman modern, muncul filsuf Jerman, Christian Wolff (1699-1754), yang membagi pemikiran filsafat—saat itu disamakan dengan metafisika—menjadi dua bagian besar metafisika umum, yaitu: 1) Ontologi atau filsafat tentang “ada” yang umum; dan 2) Metafisika khusus atau filsafat tentang “ada khusus”, yang meliputi tiga bidang, yaitu: kosmologi, antropologi dan teologi metafisik. Dimana menurut Wolff, ketiga hal ini sejajar pula dengan tiga wilayah dalam pertanyaan besar tentang segala zaman yakni: dunia (kosmologi), manusia (antropologi) dan Allah (teologi metafisik).
Dapat dipahami bahwa teologi metafisik adalah teologi kodrati yang merupakan wilayah filsafat yang membicarakan atau mempersoalkan tentang “Allah” dan menjadi salah satu bagian metafisika khusus tersebut.
Sejak kemunculannya, teologi metafisik selalu membicarakan bukti-bukti adanya Allah, sifat-sifat dan nama-nama ilahi, teodise atau dilema pembenaran Allah terhadap adanya kejahatan, ateisme, dan panteisme. Namun semua tema yang di usung, hanya berkisar antara dua pertanyaan utama, “Apakah Allah itu ada?” (pertanyaan mengenai eksistensi Allah), dan “Apakah dan bagaimanakah Allah itu ada?” (pertanyaan tentang esensi Allah).
Selanjutnya dengan dasar akal yang dimiliki manusia, maka ditelusurilah batas-batas antara apa yang dapat dikatakan tentang Allah dan apa yang tidak dapat dikatakan tentang Allah. Dan pada titik ini muncullah pernyataan dari kajian linguistic analysis atau ‘analisis bahasa’ yang menyatakan bahwa, “filsafat tidak membuktikan Allah itu ada, melainkan membuktikan bahwa ada dasar yang kuat untuk percaya”.
Filsafat dalam hal ini tidak membuka ruang untuk iman, tetapi iman yang membuka ruang untuk filsafat memahami akan keberadaan Allah melalui “keyakinan terdalam”.
Sebagaimana dijelaskan oleh kalimat berikut, .. “The sculptor does not make the statue, he removes what hid it” (Pseudo-Dionysius; dalam Hamersma Harry, 2014:13). Kalimat ini menjelaskan bahwa Allah bukan seolah-olah diciptakan oleh pikiran manusia, melainkan ditemukan oleh pikiran manusia. Sebab Allah sudah selalu di sana—dalam kedalaman yang tersembunyi—tetapi pikiran sering terhalang untuk melihatnya.
Oleh Abdy Busthan
Menurut Hamersma Harry (2014), sejak mula-mula, memang batas antara filsafat dan teologi tidak begitu jelas. Dalam banyak kebudayaan, batas ini sama sekali tidak ada. Demikian halnya dengan dunia Kristiani. Baru sejak Thomas Aquinas (1225-1274) mulailah dibedakan antara teologi sebagai pikiran gerejawi atas dasar wahyu, dengan filsafat sebagai pikiran manusiawi atas dasar pengalaman inderawi dan akal manusia.
Dalam konteks perbedaan inilah muncul istilah “filsafat Ketuhanan” yang lazim digunakan oleh mereka yang tidak mau mengakui otoritas dan kesahihan teologi.
Selanjutnya di zaman modern, muncul filsuf Jerman, Christian Wolff (1699-1754), yang membagi pemikiran filsafat—saat itu disamakan dengan metafisika—menjadi dua bagian besar metafisika umum, yaitu: 1) Ontologi atau filsafat tentang “ada” yang umum; dan 2) Metafisika khusus atau filsafat tentang “ada khusus”, yang meliputi tiga bidang, yaitu: kosmologi, antropologi dan teologi metafisik. Dimana menurut Wolff, ketiga hal ini sejajar pula dengan tiga wilayah dalam pertanyaan besar tentang segala zaman yakni: dunia (kosmologi), manusia (antropologi) dan Allah (teologi metafisik).
Dapat dipahami bahwa teologi metafisik adalah teologi kodrati yang merupakan wilayah filsafat yang membicarakan atau mempersoalkan tentang “Allah” dan menjadi salah satu bagian metafisika khusus tersebut.
Sejak kemunculannya, teologi metafisik selalu membicarakan bukti-bukti adanya Allah, sifat-sifat dan nama-nama ilahi, teodise atau dilema pembenaran Allah terhadap adanya kejahatan, ateisme, dan panteisme. Namun semua tema yang di usung, hanya berkisar antara dua pertanyaan utama, “Apakah Allah itu ada?” (pertanyaan mengenai eksistensi Allah), dan “Apakah dan bagaimanakah Allah itu ada?” (pertanyaan tentang esensi Allah).
Selanjutnya dengan dasar akal yang dimiliki manusia, maka ditelusurilah batas-batas antara apa yang dapat dikatakan tentang Allah dan apa yang tidak dapat dikatakan tentang Allah. Dan pada titik ini muncullah pernyataan dari kajian linguistic analysis atau ‘analisis bahasa’ yang menyatakan bahwa, “filsafat tidak membuktikan Allah itu ada, melainkan membuktikan bahwa ada dasar yang kuat untuk percaya”.
Filsafat dalam hal ini tidak membuka ruang untuk iman, tetapi iman yang membuka ruang untuk filsafat memahami akan keberadaan Allah melalui “keyakinan terdalam”.
Sebagaimana dijelaskan oleh kalimat berikut, .. “The sculptor does not make the statue, he removes what hid it” (Pseudo-Dionysius; dalam Hamersma Harry, 2014:13). Kalimat ini menjelaskan bahwa Allah bukan seolah-olah diciptakan oleh pikiran manusia, melainkan ditemukan oleh pikiran manusia. Sebab Allah sudah selalu di sana—dalam kedalaman yang tersembunyi—tetapi pikiran sering terhalang untuk melihatnya.
Oleh Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar