BREAKING NEWS
latest

728x90

Ads

468x60

header-ad

Fokus Mingguan

Slider
Tampilkan postingan dengan label Artikel Anda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Anda. Tampilkan semua postingan

Indonesia Sebagai Negara Hukum Demokratis, Oleh. Dr. phil. Reza A.A Wattimena


Sebagai sebuah komunitas politik, Indonesia lahir dari kesepakatan hukum yang mengikat. Ia menghubungkan ribuan pulau dengan beragam budaya dan agama. Ia adalah apa yang disebut ‘kesepakatan orang-orang yang terhormat’ (gentleman´s agreement). 

Ada dua hal yang menjadi dasar dari ikatan tersebut. Yang pertama adalah kesamaan nasib sebagai bagian dari nusantara. Pengalaman sebagai bangsa terjajah juga menjadi dasar ikatan tersebut. Yang kedua adalah kesamaan tujuan, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur untuk semua. Dengan bekerja sama, tujuan tersebut dianggap lebih mudah untuk dijangkau.

Para pendiri bangsa Indonesia, yang juga adalah para pemikir yang amat brilian pada masanya, memilih untuk mendirikan negara hukum demokratis. Bentuk negara ini dianggap lebih mampu mewujudkan tujuan keadilan dan kemakmuran untuk semua, jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk negara lainnya, seperti monarki (kerajaan), teokrasi (negara agama) ataupun komunisme (pemerintahan dengan menggunakan dasar pemikiran Karl Marx dan Lenin). 

Indonesia sebagai negara hukum demokratis, dengan demikian, tidak lahir dari kekosongan. Menurut Trevor Robert Seaward Allan dari Universitas Cambridge, ada empat prinsip yang penting untuk terus diingat, ketika kita berbicara soal negara hukum demokratis.

Empat Prinsip Utama
Pertama, di dalam negara hukum demokratis, hukum adalah panglima. Semua warga negara harus taat pada hukum, tanpa kecuali. Jabatan, agama dan status sosial ekonomi tak memainkan peranan disini. Semua warga berdiri setara di hadapan hukum.

Kedua, negara hukum demokratis juga mampu menghindarkan negara dari tirani. Kekuasaan tidak boleh dipegang oleh satu orang ataupun satu kelompok secara mutlak. Kekuasaan adalah tugas yang diberikan oleh rakyat, dan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat juga. Negara hukum demokratis ditandai dengan kontrol kekuasaan oleh berbagai lembaga negara yang berdiri sama tinggi (eksekutif, legislatif dan yudikatif), sekaligus oleh rakyat secara langsung.

Ketiga, negara hukum demokratis berpijak pada konsep keadilan prosedural. Artinya, semua proses untuk merumuskan hukum dan kebijakan haruslah adil. Ia terbuka untuk kepentingan semua pihak yang nantinya akan terkena dampak dari hukum dan kebijakan yang ada. Kebijakan dan hukum tidak dibuat di dalam ruang-ruang rahasia, ataupun hanya menguntungkan sebagian pihak semata.

Keempat, di dalam negara hukum demokratis, martabat manusia adalah dasar utama. Manusia tidak boleh dikorbankan demi kepentingan lain, misalnya kepentingan bisnis ataupun politik sempit tertentu. Dengan martabatnya, manusia juga bebas untuk berpikir, berpendapat, memeluk agama sesuai nuraninya, dan hidup layak sebagai manusia. Keempat prinsip ini harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh.

Cita-cita Keadilan
Negara hukum demokratis dilihat sebagai bentuk negara yang mampu mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk semua. Di dalam filsafat hukum, keadilan adalah cita-cita tertinggi. Ia tidak dapat sungguh diraih, namun bisa terus didekati. Kiranya benar pendapat Derrida, bahwa keadilan adalah sesuatu yang selalu lolos dari pelukan manusia.

Keadilan adalah suatu patahan dari peristiwa. Ia bersifat unik dan tak tergantikan. Ia selalu „belum sampai“, dan „belum terwujud“. Manusia selalu bisa mendekatinya, tanpa pernah bisa sungguh memilikinya.

Teori diskursus Habermas kiranya bisa berperan disini. Hanya hukum yang dirumuskan lewat proses diskusi yang bebas dan setara antara orang-orang yang nantinya terkena dampak dari hukum itulah yang layak disebut sebagai hukum. 

Prinsip ini amatlah penting, supaya hukum sungguh mencerminkan keadilan untuk semua, dan bukan keadilan untuk segelintir orang semata. Walaupun, keadilan yang didambakan tidak akan pernah terwujud di dalam kesempurnaannya.

Tantangan Bangsa
Paham Indonesia sebagai negara hukum demokratis haruslah terus digaungkan. Ia tidak boleh terlupakan oleh berbagai peristiwa yang mengalihkan perhatian. Pemahaman ini justru semakin teguh di tengah berbagai tantangan bangsa. Ada tiga hal kiranya yang patut diperhatikan.

Yang pertama adalah korupsi. Di tingkatnya yang sekarang, korupsi bisa menghancurkan bangsa. Kemiskinan dan perpecahan akan semakin besar, akibat korupsi yang tak terkendali. Korupsi terjadi dari pemerintah pusat sampai ke tingkat desa dan RT di Indonesia. Ini sungguh memprihatinkan.

Yang kedua adalah radikalisme agama yang berujung pada aksi terorisme. Indonesia sudah kenyang dengan ini semua. Kejadian yang terus berulang, yakni kelompok radikal Islam menyerang Gereja dan tempat publik dengan berpijak pada alasan agama yang sesat. Pemerintah dan masyarakat luas harus sungguh bergerak cepat untuk mengatasi ini semua, sehingga aksi terorisme bernapaskan agama Islam radikal (ataupun agama lainnya) tidak lagi terjadi.

Yang ketiga adalah tantangan untuk mitigasi bencana. Di dalam kehidupan, bencana alam kerap kali tak terhindarkan. Namun, kita bisa menciptakan infrastruktur yang memadai, ketika bencana tiba, sehingga kerusakannya tidak besar. Berbagai bentuk bencana, mulai dari banjir, gempa bumi, tsunami sampai dengan pandemik, harus dianalisis dan ditanggapi seefektif serta seefisien mungkin.

Tentu saja, perbedaan pendapat pasti akan terjadi. Ketidaksetujuan adalah bagian dari kehidupan. Di dalam ranah negara hukum demokratis, perbedaan pendapat dijembatani secara resmi dan terhormat melalui berbagai bentuk media, perwakilan rakyat dan demonstrasi damai. Semua ini haruslah digunakan, supaya perbedaan pendapat tidak berujung pada perpecahan dan konflik yang akan menghancurkan bangsa.

Di dalam peliknya masalah, kita cenderung lupa akan siapa diri kita sebenarnya. Ini kerap terjadi pada bangsa Indonesia. Justru di tengah badai tantangan, identitas kita sebagai negara hukum demokratis harus diingat dan diperkuat. Prinsip-prinsip diperdalam dan diterapkan dengan efektif serta efisien. Hanya dengan begini, bangsa Indonesia bisa melampaui segala tantangan yang ada, dan mencapai tujuan utamanya, yakni menciptakan keadilan dan kemakmuran untuk semua, tanpa kecuali.

Oleh. Dr. phil. Reza A.A Wattimena

Hubungan Stimulus-Respon (S-R) dalam Teori Belajar Behavioristik



Prinsipnya bahwa teori behavioristik tidak mempermasalahkan norma-norma yang berlaku pada manusia: bahwa apakah seorang manusia tergolong baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun irasional. Karena dalam konteks ini teori behavioristik hanya ditekankan pada bagaimana perilaku manusia menunjukkan perubahan sebagai akibat dari berinteraksi dengan lingkungannya, dan pola interaksi tersebut harus bisa diamati dari luar. 

Sehingga dapat dikatakan bahwa belajar dalam teori behavioristik adalah akibat hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar, dengan respons yang ditampilkan dari dalam diri individu. Respons tertentu akan muncul dari dalam diri individu jika diberikan stimulus dari luar—S singkatan dari Stimulus, dan R singkatan dari Respons.

Pada umumnya, teori belajar yang masuk dalam rumpun teori belajar behavioristik, memandang manusia sebagai organisme yang netral-pasif-reaktif terhadap stimuli dalam lingkungannya. 

Seorang akan bereaksi, jika ia diberikan rangsangan oleh lingkungannya. Demikian juga jika stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang cukup lama, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan perilaku dalam diri individu—pelaku belajar. 

Unsur-Unsur dalam Pola Stimulus-Respon
Dengan demikian maka terjadinya proses belajar dalam pola hubungan stimulus-respon (S-R), disebabkan oleh adanya 4 (empat) unsur, yaitu: (1) dorongan (drive), (2) rangsangan (stimulus), 3) respons, dan 4) penguatan (reinforcement).

1. Dorongan (Drive)

Unsur pertama, adalah sebuah ‘dorongan’ dari dalam diri individu, yang merupakan keinginan dalam diri seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan yang sedang dirasakannya. 

Misalnya seorang anak yang merasakan adanya kebutuhan akan tersedianya sejumlah uang untuk membeli buku bacaan, maka anak tersebut terdorong untuk membelinya dengan cara meminta uang kepada ibu atau bapaknya. 

Unsur “dorongan” ini ada pada setiap orang, meskipun kadarnya tidak sama—ada yang kuat menggebu, ada yang lemah dan tidak terlalu peduli akan terpenuhi atau tidaknya.

2. Rangsangan (Stimulus)
Unsur kedua, adalah ‘rangsangan’ atau stimulus, yang datang dari luar diri individu, dan tentu berbeda dengan dorongan yang datangnya dari dalam. 

Mengenai rangsangan, misalnya bau masakan yang lezat, atau segala sesuatu yang bisa menimbulkan rangsangan untuk tujuan tertentu. Contohnya, dalam kegiatan mengajar di kelas, ketika banyak di antara siswa mulai jenuh, bosan atau tidak tertarik pada materi yang disampaikan guru sehingga ada yang mengantuk, maka sang guru sebagai instruksional, bisa merangsangnya dengan sejumlah cara dan usaha yang dilakukan, misalnya dengan bertanya tentang masalah-masalah tertentu yang sedang trendy pada saat ini, atau bisa juga dengan mengadakan sedikit humor segar untuk membangkitkan kesiagaan peserta didik dalam belajar. 

Dari adanya rangsangan atau stimulus ini, maka timbul reaksi di pihak sasaran atau komunikan (siswa). Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada situasi, kondisi, dan bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari seseorang akibat dari adanya rangsangan dari luar inilah yang disebut dengan respons dalam dunia teori belajar behavioristik.

3. Respons
Unsur ketiga, adalah ‘respons’, dalam hal ini respon ini bisa diamati dari luar. Respons ada yang positif dan ada pula yang negatif. Respon yang positif disebabkan oleh adanya ketepatan seseorang melakukan respons terhadap stimulus yang ada, dan tentunya sesuai dengan yang di harapkan. Sedangkan yang respon negatif adalah apabila seseorang memberi reaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan.

4. Penguatan 
(Reinforcement)
Unsur keempat, adalah ‘penguatan’ (reinforcement). Unsur ini datangnya dari pihak luar yang ditujukan kepada orang yang sedang merespons. Apabila respons telah benar, maka diberikan penguatan agar individu tersebut merasakan adanya kebutuhan untuk bisa melakukan respons lagi. 

Sebagai contohnya, terdapat seorang anak kecil yang sedang mencoreti buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba di bentak dengan kasar oleh kakaknya, maka tentu dia bisa terkejut dan bahkan bisa menderita guncangan sehingga berakibat buruk pada anak tadi. Memang pada akhirnya, mungkin anak tadi sudah tidak mencoreti buku lagi, namun akibat yang paling buruk dikemudian hari adalah hal ini bisa menjadi ‘trauma’ untuk tidak mencoreti buku karena takut di bentak. Bahkan yang lebih dikhawatirkan lagi, akibatnya adalah jika ia tidak mau bermain dengan buku lagi atau alat tulis lainnya, karena rasa "ketakutan". 

Nah, inilah yang dikatakan penguatan yang salah dari seorang kakak terhadap adiknya yang masih kecil ketika sedang mau memulai menulis buku. Barangkali akan lebih baik jika kakaknya tadi tidak menggunakan cara dengan membentak secara kasar, akan tetapi dengan bicara yang halus sambil membawa alat tulis lain berupa selembar kertas kosong sebagai penggantinya. Misalnya dengan berkata: “Bagus sekali, coba kalau menggambarnya di tempat ini, pasti lebih bagus”. Dengan cara penguatan seperti ini, anak tidak merasa dilarang menulis. Sehingga hal inilah yang dinamakan sebagai “penguatan positif”. 

Contoh lain dari penguatan positif seperti misalnya terdapat seorang anak yang mendapatkan ranking bagus di sekolahnya. Kemudian orang tuanya memberikan hadiah tas baru atau sepatu baru, atau setidaknya di puji oleh orang tuanya, maka kemudian anak akan terus berusaha mempertahankan rankingnya pada masa yang akan datang.

Oleh: Abdy Busthan

Keyakinan Mendahului Pengetahuan: Apakah Keyakinan Bisa Menjawab Yang Hal Tidak Diketahui Sebelumnya?



Ada pertanyaan sederhana, apakah keyakinan kita terhadap sesuatu bisa menjawab segala hal yang tidak kita ketahui terlebih dahulu?Pengetahuan kita akan sesuatu dimulai dengan keyakinan kita terhadap sesuatu itu sendiri. Jika kita tidak meyakini sesuatu, maka kita tidak mungkin mengetahui sesuatu. Semua penelitian dan pengajuan ilmiah dalam bentuk apapun, akan selalu didasarkan pada "keyakinan". Sebelum ilmuwan menyelediki ilmu apapun yang ada di alam ini, maka ia akan memiliki satu set praanggapan yang didasarkan pada keyakinan terdalam.

Ketika seseorang menyelidiki suatu hal, maka terlebih dahulu ia yakin dan memiliki kepercayaan bahwa nantinya ia pun dapat mengetahui. Sehingga dengan dorongan itu, maka ia mulai menyelediki sesuatu. Pada titik ini, maka keyakinan mendahului pengetahuan.

Setiap siapa saja yang melakukan studi dan kajian ilmu (baik itu para ilmuwan, peneliti, filsuf, dan kaum terpelajar, tanpa terkecuali), entah ia menggunakan metode ilmiah apa saja, seperti metode induksi maupun deduksi, maka tanpa ia sadari, ia pun akan masuk pada hakikat dasar (yang terdalam) yaitu "keyakinan-nya" terhadap sesuatu. Artinya bahwa di dalam melakukan penyelidikan, seseorang pasti akan menginginkan bukti.

Tetapi ingat bahwa sebelum bukti itu muncul, orang tersebut telah memulainya dengan suatu praanggapan yaitu keyakinan (meyakini).

Misalnya metode deduksi dan silogisme dari filsuf Aristoteles yang menggunakan 3 (tiga) tahap silogisme dalam hal menemukan kebenaran dengan rasio: yang pertama, disebutkan sebagai "premis mayor", kedua "premis minor" dan ketiga adalah "kesimpulan".

Sebagai contohnya:
Semua manusia bisa mati (premis mayor)
Budi adalah manusia (premis minor)
Maka Budi bisa mati (kesimpulan)

Premis minor dalam silogisme seperti kalimat di atas, sebenarnya telah dimulai dengan suatu keyakinan. Kalimat yang menyatakan "semua manusia bisa mati", adalah keyakinan yang belum pernah dibuktikan.

Ketika seseorang mengatakan bahwa, "Saya melihat memang semua manusia akhirnya mati", maka kalimat ini bukanlah suatu kebenaran, karena yang melihat sendiri belum mati. Berarti, belum "semua" manusia mati. Jika diri yang melihat sudah mati, maka sebenarnya ia sendiri tidak akan dapat membuktikan apa-apa, sebab ia sudah mati.

Jadi, jika seseorang melihat semua orang yang sudah mati, tetapi ia belum pernah melihat kematian orang yang sesudah ia mati, maka teori ini belum dapat terbukti dengan benar!

Maka dalam hal ini premis mayor (semua manusia bisa mati) yang dijadikan dasar untuk rasio berpijak untuk dapat mencari suatu pembenaran, belum dapat dibuktikan sama sekali, maka hal ini bukan bukti, tetapi sebuah "keyakinan". Maka dapatlah dipahami bahwa apapun bentuk ilmu pengetahuan dan rasio, maka ia tidak akan bisa terlepas dari "keyakinan".

Misalnya kalimat yang mengatakan: "Buktikan baru saya percaya", adalah kalimat yang juga sebenarnya menunjukkan "keyakinan" itu sendiri. Jika terbukti baru dapat dipercaya, adalah hal yang belum pernah dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlunya bukti untuk dapat mempercayai sesuatu, maka ini adalah Keyakinan.

Jadi, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah bahwa keyakinan kita terhadap sesuatu tentu akan menjawab segala hal yg tidak perlu kita ketahui terlebih dahulu....

Salam Wassalam.. Hormat di bri.
(Ditulis oleh: Abdy Busthan)

Filsafat Ilmu Pengetahuan: Pendekatan Pemahaman Filosofis Dalam Empat Pertanyaan Ilmiah



Berdasarkan sudut pandang filosofis, filsafat ilmu pengetahuan dapat dipahami berdasarkan empat pendekatan dengan menggunakan empat pertanyaan ilmiah berikut ini:

Pertama. Apakah pengetahuan itu? Pertanyaan jenis ini membutuhkan jawaban berupa “hakikat” (isi arti hakiki) yaitu sebuah bentuk “pengetahuan subtansial” tentang apa dan bagaimana itu ilmu pengetahuan.

Kedua. Mengapa ilmu pengetahuan itu ada? Bahwa pertanyaan ini membutuhkan jawaban tentang sebab-akibat dari keberadaan atau “pengetahuan kausal” ilmu pengetahuan.

Ketiga. Bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa ada? Pertanyaan seperti ini memerlukan jawaban mengenai “metode” untuk dapat mengetahui objek yang berupa “pengetahuan metodis” ilmu pengetahuan.

Keempat. Untuk apa ilmu pengetahuan itu ada? Bahwa pertanyaan ini membutuhkan jawaban berupa “manfaat” ilmu pengetahuan untuk kehidupan manusia sebagai makhluk yang berpikir, yaitu berbentuk “pengetahuan normatif” ilmu pengetahuan.

Dari keempat pertanyaan di atas, jika dirunut berdasarkan susunan kata, maka dapat dipahami bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi filsafat yang objek materinya berupa ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis, bentuk, dan sifatnya. Dapatlah meliputi pluralitas ilmu pengetahuan (ragam ilmu pengetahuan). Sedangkan objek formanya adalah “hakikat” (intisari) ilmu pengetahuan.

Sebagaimana menurut Suparlan Suhartono (2011) bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi filsafat yang mempelajari segala macam jenis, bentuk, dan sifat dari ilmu pengetahuan.

Senada dengan hal di atas, Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013) juga menyatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempersoalkan dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Dalam hal ini, tema yang dipersoalkan adalah apa itu kebenaran? Apa metode ilmu pengetahuan? Manakah metode yang paling bisa diandalkan? Apa kelemahan metode yang yang ada? Apa itu teori? Apa itu hipotesis? Apa itu hukum ilmiah?

Pengertian Pengetahuan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, pengetahuan berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).

Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013) menyatakan bahwa, pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya.

Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu. Juga mencakup praktik atau kemampuan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibakukan secara sistematis dan metodis.

Karena itu, filsafat pengetahuan berkaitan dengan upaya mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan manusia pada umumnya, terutama menyangkut gejala pengetahuan dan segala sumber pengetahuan manusia.

Sehingga timbul beberapa pertanyaan tentang bagaimana manusia bisa tahu? Apakah manusia bisa sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti? Apakah pengetahuan yang pasti itu mungkin? Apa artinya mengetahui sesuatu? Bagaimana manusia bisa tahu bahwa ia tahu? Dari mana asal dan sumber pengetahuan manusia itu? Apakah pengetahuan sama dengan keyakinan? Dimana letak perbedaannya?

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui dan yang diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu.

Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia bersikap dan bertindak. Jadi, pengetahuan lebih dikaitkan dengan segala sesuatu yang diketahui oleh manusia berkaitan dengan proses mempelajari sesuatu.

Pengertian Ilmu pengetahuan
Ilmu Pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia, dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.

Segi-segi yang dimaksudkan di atas, dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan pasti. Ilmu dalam hal ini memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu yang ditelusuri, diperoleh dari keterbatasan yang ada.

Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.

Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih dalam dan lebih jauh tentang pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.

Menurut Sonny Keraf & Mikhael Dua (2013), bahwa ilmu pengetahuan adalah merupakan keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis.

Ilmu pengetahuan dalam hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menjelaskan hubungan antara berbagai hal dan peristiwa dalam alam semesta ini secara sistematis dan rasional (masuk akal).

Misalnya ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja). Ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari.

Demikan dengan halnya dengan ilmu psikologi yang hanya bisa meramalkan perilaku setiap manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.

Oleh: Abdy Busthan

Filsafat Manusia: Suatu Kajian Tentang Dunia Yang Paradogsal



Filsafat manusia merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas mengenai makna menjadi manusia (Louis Leahy, 1984). Filsafat manusia menjadikan manusia sebagai objek studinya (Baharrudin Salam, 1988).

Pembahasan dalam cabang ilmu filsafat manusia ini adalah tentang bagaimana manusia selalu mengajukan pertanyaan mengenai dirinya sebagai manusia.

Filsafat manusia terus berkembang karena manusia adalah objek yang penuh dengan misteri. Titik tolak filsafat manusia adalah pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang melingkupinya. Dalam sejarah, ada beberapa istilah yang mendahului filsafat manusia, yaitu psikologi filsafat, psikologi rasional, eksperimental dan empiris.

Apakah Manusia Itu?

Filsafat manusia adalah filsafat yang mengupas apa arti manusia. Pertanyaan pokoknya: apakah kekhasan manusia di tengah makhluk yang lain? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi.

Manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal dan dinamis. Maka, tidak mengherankan jika pandangan terhadap manusia menjadi beraneka ragam. Sehingga keanekaragaman pandangan ini, tampak pula dalam keanekaragaman definisi tentang manusia. Mungkin yang paling terkenal adalah definisi dari Aristoteles yang mengatakan: “Manusia adalah animal rationale” (hewan berakal budi).

Pandangan filsafat lainnya juga merumuskan bahwa manusia adalah animal loquens (makhluk yang berbicara). Keunggulan manusia dalam hal bahasa, sangatlah nyata, di mana bahasa manusia berebda dengan bahasa hewan. Manusia mampu berbicara dalam bahasa lisan dan mampu mengembangkannya dalam bahasa tulisan.

Beberapa filsuf lainnya juga merumuskan manusia sebaga “a symbolic animal“. Sebuah simbol bersifat multidimensional. Bahasa simbol sangat khusus berperan dalam bahasa cinta dan bahasa religius.

Lain hal lagi dengan Karl Marx. Ia menemukan keunggulan manusia dalam pekerjaannya. Maka, manusia juga disebut makhluk yang bekerja. Banyak definisi-definisi lainnya yang juga muncul merumuskan kekhasan manusia di tengah makhluk lainnya di dunia ini. Misalnya, manusia dirumuskan sebagai an ethical being, sebagai an aesthetical being, dan a metaphysical being, serta a religious being, dsb.

Namun sesungguhnya definisi-definisi yang telah dilontarkan banyak filsuf ini, masih saja membawa berbagai keambiguan dan kesulitannya sendiri-sendiri.

Misalnya Aristoteles yang mengatakan bahwa ciri khas manusia adalah sebagai animal rationale atau dikuasai oleh kekuatan rasionya dan bukan oleh nafsu atau naluri, maka sulit dimengerti untuk bisa menjelaskan terjadinya suatu keserakahan kapitalisme, peperangan dunia, terorisme yang selalu memakan banyak korban dan membunuh ibu dan anak-anak dalam peradaban kita sekarang.

Mungkin saja, seseorang bisa mengatakan bahwa itu semuanya terjadi justru karena penggunaan sebuah rasio yang semakin canggih, yang disalahgunakan dan diselewengkan.

a. Manusia & Kemampuan Refleksi Diri
Teilhard de Chardin dalam “The Phenomenon of Man” (Anthony Pattipo's, 2012), menjawab kesulitan definisi dari ciri khas manusia ini. Ia mengatakan bahwa “Hewan mengetahui, tetapi hanya manusia mengetahui bahwa ia mengetahui.”

Manusia memiliki kemampuan refleksi diri atau kesadaran reflektif. Hewan di sisi lain, tidak mampu untuk berefleksi tentang dirinya. Mereka tidak memiliki kemampuan refleksi mengenai tindakan berpikir itu sendiri.

Kesadaran diri atau refleksi diri itu merupakan ciri khas manusia yang menentukan. Refleksi diri juga merupakan aktivitas manusia yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan menjadikan dirinya sebagai pusat refleksi, manusia menarik diri dari lingkungan dan dari orang lain yang berada dalam lingkungannya.

Kemampuan refleksi diri yang menjadi kekhasan manusia ini, juga menjadi sumber dari berbagai ciri lainnya: rasionalitas, ingatan kembali, kesadaran akan kematian, kemampuan bunuh diri, aspirasi religius dan lain-lain. Refleksi-diri juga merupakan aktivitas yang membedakan diri manusia sendiri dengan orang lain.

Dengan kemampuan refleksi-nya, maka manusia memiliki keterbukaan terhadap dunia (openness to the world), dan tidak dibatasi oleh naluri dan stimulus spesifiknya. Sehingga manusia menjadi mampu untuk mengimbangi kelemahan nalurinya dengan kebebasan dan rasionalitas.

Kemampuan reflektif membuat manusia mampu menghadapi dirinya dan realitas lainnya sebagai objek. Manusia akan dapat mengambil atau mengatur jarak terhadap lingkungannya. Dengan demikian kemampuan refleksi diri manusia merupakan dasar dari perbedaan-perbedaan yang lain dengan binatang.

b. Manusia dalam Teori Evolusi

Tradisi Kristiani dan metafisik, menempatkan kekhasan manusia pada jiwa yang tidak dapat mati, yang membuat martabat manusia mengatasi seluruh kosmos.

Dalam perkembangannya, filsafat modern tidak lagi mencari kekhasan manusia menurut tradisi Kristiani yaitu dalam kerangka hubungan manusia dengan kosmos atau Allah.

Pada abad ke-19 diusahakan untuk mengatasi dualisme badan-jiwa dengan melihat keunikan manusia dalam kejasmaniannya. Kekhasan manusia itu di cari melalui refleksi mengenai tempat manusia di dalam alam semesta dan terutama dalam perbandingan manusia dengan binatang. Pendekatan ini seolah-olah kembali pada pendekatan kaum Stoa yang memahami manusia dalam kerangka tertib kosmik sebagai mikrokosmos.

Selaras dengan teori evolusi Darwin, antropologi mengandaikan kontinuitas hewan dan manusia, yang kemudian mencoba menentukan tempat khas manusia dalam kontinuitas ini dan bukannya memasukkan prinsip asing ke dalam alam.

Pendekatan ini dipelopori oleh J.G. Herder dan Friederich Nietzsche serta pendekatan psikologi yang tidak lagi mempelajari psyche melalui introspeksi tetapi melalui observasi perilaku ekstrim. Cara pandang seperti ini disebut perspektif “antropo-biologi”.

Secara sederhana, dapatlah dikatakan bahwa, pendekatan ini merupakan cara pandang fenomenologis yang mencari kekhasan manusia sebagaimana terlihat dalam perilaku dan kejasmaniannya. Pendekatan ini lebih-lebih dilakukan oleh behaviourisme Amerika di satu sisi, dan sisi lain oleh penelitian “antropologi filsafat” yang bertolak dari penelitian biologis atas prilaku manusia.

c. Manusia & Teori Behavioristik
Pendekatan behaviouristik yang digagas oleh para ahlinya seperti: J. B. Watson, B. F. Skinner, dan Ivan P. Pavlov, dalam menggambarkan perilaku sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang didasarkan pada hukum stimulus-respons, sebenarnya mereduksi kegiatan manusia hanya sebatas pada perilaku terobservasi yang dirangsang dari luar (eksternal).

Pendekatan behavioristik Pavlov misalnya, dengan melakukan pengujian terhadap seekor anjing, kemudian ia mendapatkan banyak kritik sebab menyamakan kedudukan manusia dan hewan dalam belajar. Diantaranya adalah kritik dari Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa “stimulus yang sama dapat menghasilkan respons yang berbeda bila diinterpretasikan secara berbeda oleh yang memberi respons.” Hal ini membawa pergeseran dari pendekatan yang melului empiristik kepada suatu interpretasi perilaku yang didasarkan pada adanya apriori atau skema perilaku bawaan yang disebut ”apriori”, karena skema itu telah ada sebelum suatu pengalaman terjadi.

Interpretasi ini berkembang dalam tradisi filsafat Jerman yang dipengaruhi oleh Imanuel Kant, di mana ia berpendapat bahwa semua pengalaman tergantung pada forma apriori. Pandangan Kant ini mempengaruhi Lorenz yang berusaha menunjukkan bahwa forma atau kategori apriori yang memungkinkan semua pengalaman manusia terkait dengan forma organ tubuh kita (internal).

d. Manusia & Humanisme

Filsuf Heidegger, memandang konsepsi manusia dalam kerangka paham humanisme. Humanisme menolak suatu asumsi mengenai manusia yang naturalistik dalam artian, bahwa “esensi manusia merupakan organisme binatang”.

Humanisme memandang manusia terutama sebagai suatu entitas yang berada di dalam dunia bersamaan dengan entitas yang lain, dan kemudian dari situ dicarikan ciri-cirinya yang khas. Humanisme mencari definisi mengenai manusia yang tidak memadai itu dengan merangkaikan “jiwa” dengan “badan”, dan akal budi dengan jiwa.

Heidegger berpendapat bahwa selama filsafat modern menjadikan kesadaran sebagai titik tolak, maka konsepsi manusia akan tetap didasari oleh humanisme.

Di dalam semua bentuk humanisme, manusia ditempatkan di antara berbagai realitas dunia lainnya; manusia sebagai animal rationale juga dipandang dalam hubungannya dengan entitas dan justru bukan di dalam hubungannya dengan “kebenaran Ada”.

Inilah maksudnya jika dikatakan bahwa esensi manusia terletak pada eksistensinya. Tubuh manusia secara esensial berbeda dari organisme hewan. Menurut Heidegger apa yang kita anggap sebagai animalitas pada manusia tidak dapat diperbandingkan dengan hewan, tetapi harus didasarkan pada esensi dari eksistensinya.

Manusia tidak seperti entitas lainnya. Entitas lain hanyalah ada. Entitas itu hadir, tetapi tidak “mencapai” dirinya, artinya “tidak memiliki kesadaran-diri”; entitas lain tidak “hadir pada dirinya”. Hanya atas dasar “kehadiran-pada-dirinya-sendiri” dari eksistensi, maka entitas lainnya dapat hadir. Inilah yang bagi kaum eksistensialis, menjadi semacam pengalaman asasi yang menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah makhluk yang lain.

Oleh: Abdy Busthan

Toleransi versus Intoleransi



Oleh: Abdy Busthan

Setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, setidaknya membentuk warna-warni dalam berbagai aspek kehidupan. Baik itu aspek ekonomi, budaya, psikologi, agama, dan lain sebagainya. Warna-warni kehidupan ini memang harus terjadi dalam satu garis lurus kehidupan masyarakat plural (jamak)—lebih dari satu. Ini adalah kenyataan aksiomatis.

Kendati demikian, dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, warna dan warni kehidupan ini tidak dengan serta-mertanya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebab perbedaan demi perbedaan yang muncul, bertendesi membentuk apa yang kita kenal dengan “konflik”. Ini sangat beralasan! Mengingat berbagai konflik horizontal bahkan vertikal, kerapkali datang menghancurkan tatanan kehidupan bersama.

Ironisnya, dalam derajad tertentu, tidak jarang negara terjebak dalam kontrolnya yang berlebihan atas kehidupan beragama. Akibatnya, instrumen hukum pun menjadi rentan terhadap sesuatu yang multi-tafsir dan multi-spekulatif. Dampaknya adalah bahwa hukum agama kerapkali ditinggikan di atas hukum sipil yang semestinya bebas dari bias agama.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, rangkaian konflik akibat perbedaan agama memang menjadi kenyataan yang sulit terhindarkan. Perbedaan, yang sejatinya bisa menjadi roh kemajuan sebuah peradaban, justru menjelma sebagai lahan subur bagi bertumbuhnya pohon kekerasan, yang memecah belah umat beragama hingga berujung pada tragedi berdarah dan memakan banyak korban.

Dimana-mana kehidupan pun terasa penuh dengan ketegangan dan kecurigaan terhadap sesama. Umat tidak lagi melihat perbedaan agama sebagai sesuatu yang perlu dihargai melalui toleransi yang mendalam, tetapi perbedaan justru menjadi muara tempat mengalirnya intoleran yang sangat anarkistis. Pada titik ini, perbedaan akhirnya disingkirkan demi menegakkan prinsip Jihad yang tidak mengikuti Sunnah Rasul.

Intoleransi pun menyebar dalam bentuk kebencian, rasisme dan diskriminasi dalam berbagai wujud. Dalam keadaan demikian, maka sejatinya esensi “toleransi” dalam kehidupan bersama mesti didengungkan, sekaligus dimaknai kembali.

Pemahaman Toleransi
Secara etimologis, kata “toleransi” berasal dari kata “tolerare” dalam bahasa Latin, yang artinya: “dengan sabar membiarkan sesuatu”. Kemudian pengertian ini berkembang secara luas menjadi suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan yang berlaku di masyarakat, dimana seorang di tuntut untuk bisa menghargai atau menghormati setiap tindakan yang dilakukan orang lain (Busthan Abdy, 2017:20-21).

Seorang sejarawan politik Amerika, Zagorin Perez (2003), menjelaskan bahwa toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.

Contohnya toleransi beragama, dimana para penganut mayoritas dalam masyarakat, harus menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lain yang berbeda dengannya. Disamping itu, istilah toleransi dapat pula didefinisikan sebagai “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dll.

Rainer Forst (2003), filsuf dan ahli politik asal Jerman, merumuskan empat tingkatan toleransi dalam bukunya yang berjudul “Toleranz im Konflikt: Geschichte, Gehalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs”, yaitu sbb:

Erlaubnis, adalah tingkatan pertama yang “sekedar membiarkan ada” atau menerima “kehadiran” orang lain. Pada tingkatan awal ini, kelompok mayoritas hanya sekedar membiarkan adanya kelompok minoritas, dengan segala budaya dan cara hidupnya, tanpa pemahaman yang mendalam. Di tingkat ini, hubungan kekuasaan yang tidak adil masih amat terasa, namun setidaknya ada “penerimaan” akan kehadiran orang lain yang berbeda.

Koexistenz, adalah tingkat kedua yang adalah “berada bersama”, yaitu muncul dan terjalin hubungan yang setara dan beradab antara kelompok-kelompok yang berbeda budaya dan cara hidup.

Achtung, adalah tingkatan ketiga, yang ditandai dengan terjalinnya hubungan yang berpijak pada rasa hormat terhadap orang lain. Pada tingkatan ketiga ini, berbagai kelompok yang berbeda akan melihat satu sama lain sebagai setara (Gleichheit) dalam hal moral dan budaya.

Anerkennung
, adalah tingkatan tertinggi, yang lebih merupakan tingkat pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan. Termasuk didalamnya pengakuan dan penghargaan pada perbedaan budaya dan cara pandang di dalam bidang agama, politik dan ekonomi.

Rumusan empat tingkatan toleransi yang di gagas Forst di atas, saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Setiap tingkatannya berpijak pada tingkatan lainnya. Sederhananya, toleransi harus dimulai dari penerimaan akan keberadaan orang lain terlebih dahulu, hingga mencapai pengakuan dan penghargaan yang mendalam pada setiap perbedaan yang dihadirkan orang lain.

Prinsip mendasar toleransi adalah bahwa kita tidak akan mungkin menghargai orang lain (anerkennung) tanpa terlebih dahulu menerima (erlaubnis), menjalin hubungan (koexistenz), dan menjadi setara dengan yang lain (achtung). Singkatnya, setiap perbedaan yang dihadirkan orang lain, haruslah di hargai dalam tatanan kehidupan bersama. Jika tidak, toleransi sulit mendapatkan tempat untuk bersemayam di situ.

Demokrasi Minus Toleransi
Istilah “demokrasi” berasal dari kata Yunani, yaitu dengan penggabungan dua katanya: demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), sehingga demokrasi adalah kekuasaan oleh rakyat. Sederhananya, apapun yang terjadi, rakyat adalah penentu kekuasaan. Pada titik ini, kesetaraan dan keterbukaan merupakan hal urgen yang harus dilaksanakan.

Menurut Busthan Abdy (2017:24), teori demokrasi selalu berdiri pada satu garis start yang sama, yakni kesetaraan diantara insan manusia. Setiap individu, dalam dirinya, mempunyai harkat dan martabat yang tetap sama. Karenanya, setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang kaya atau orang miskin, pria atau wanita, kulit putih atau hitam, bahkan agama minoritas atau agama mayoritas. Dari kesetaraan tersebut, selanjutnya lahirlah sebuah keterbukaan.

Dalam transisi demokrasi dunia, negara Indonesia disamping negara Turki, selalu dianggap sebagai “maskot” dari perkembangan demokrasi yang berjalan dalam iklim mayoritas penduduk Muslim. Anggapan ini bisa benar, tetapi bisa juga tidak. Benar, jika demokrasi itu berjalan dengan semestinya, tanpa adanya diskriminasi suku, agama, status sosial dan lain sebagainya. Tidak benar, jika terjadi hal sebaliknya, di mana diskriminasi suku, agama, status sosial dan lain sebagainya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, fakta realitas tentang pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (baca: demokrasi) ini rasanya bagaikan seorang menulis di atas air.

Bagaimana tidak, demokrasi Indonesia ibarat emblem kosong yang tak bermakna. Ya, demokrasi terlihat berjalan tanpa toleransi! Demokrasi tidak menyentuh sisi terdalam tentang bagaimana manusia harus beradaptasi dengan hal-hal yang berbeda dengannya. Pada keadaan seperti begini, kebebasan hak dan kewajiban pun dimarjinalisasikan dengan nyaris sempurna.

Demokrasi, menurut filsuf Karl Popper (1957) dalam bukunya berjudul Open Societies and Its Enemies, adalah masyarakat terbuka. Ia akan menentang segala bentuk pemaksaan, baik menggunakan suap ataupun todongan senjata. Ia akan memberikan ruang kehidupan untuk semua orang, apapun latar belakangnya.

Dalam masyarakat demokratis di negara Indonesia, dua prinsip di atas terus berada dalam ancaman. Manusia kerapkali di dibeda-bedakan menurut ras dan agamanya. Yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Orang-orang dengan latar belakang tertentu juga tidak bisa terlibat di dalam pemerintahan, semata karena ras, agama ataupun keyakinan politiknya yang berbeda.

Sebut saja persoalan diskriminasi yang di sertai aksi rasisme terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang yang terjadi bulan lalu. Tindakan persekusi serta rasisme terhadap mahasiswa Papua yang dilakukan beberapa kalangan ini sebenarnya sudah menghancurkan tatanan nilai-nilai kebersamaan di medan merdeka ini!

Seharusnya perbedaan ras di junjung tinggi dalam iklim demokrasi di negara ini. Namun justru rasisme dialami oleh masyarakat Papua secara fisik, ekonomi, perilaku, serta cara pandang masyarakat terhadap orang Papua.

Ya, rasisme ini terjadi karena adanya generalisasi atau stereo type negatif masyarakat terhadap orang Papua seperti: “tidak berpendidkan”, “tukang mabuk”, “kasar" dan lain sebagainya. Stigma inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan mendalam, dan berpotensi dijadikan legitimasi bagi oknum masyarakat untuk melakukan tindakan rasisme terhadap ras dan suku Papua.

Hal lainnya lagi, tentu masih teringat di ingatan kita, Basuki Tjahya Purnama, alias Ahok, yang pada tahun 2017 di demo oleh kelompok FPI karena berasal dari etnis dan agama minoritas. Orang keturunan Cina nyaris tak mungkin terlibat di dalam politik guna mempengaruhi pembuatan keputusan politik.

Orang beragama minoritas juga nyaris tak dapat terlibat di dalam sistem pemerintahan negara, apalagi menjadi pemimpin di negeri ini. Inilah diskriminasi terstruktur. Ya, diskriminasi adalah udara sehari-hari yang selalu saja dihembus oleh kelompok minoritas di Indonesia, mulai dari ras minoritas, agama minoritas, sampai dengan kaum wanita, yang juga tergolong dalam minoritas.

Kedua fenomena di atas, adalah contoh dari sekian banyak fenomena yang melukiskan wajah demokrasi Indonesia. Sebuah demokrasi yang konon ‘katanya’, datang dengan segelintir harapan akan persamaan hak dan kewajiban. Juga yang ‘katanya’ hadir dengan kesetaraan dan keterbukaan akan perbedaan dari keragaman suku, etnis, budaya, adat istiadat, serta agama dalam masyarakatnya.

Namun kenyataannya, semuanya ini hanya fatamorgana semata. Harapan demi harapan seakan redup dalam bayang-bayang intoleran dari kelompok-kelompok yang haus akan kekuasaan. Bahkan lenyap oleh diskriminasi kekuasaan dari kolaborasi sang penguasa dan si pengusaha sebagai habitat utama dalam negara ini.
Jika saja, toleransi dikembalikan kepada tempat asalnya (baca: makna sebenarnya), maka ia akan selalu menjadi sebuah keniscayaan yang terus dikobarkan di medan merdeka ini. Sehingga bukan tidak mungkin bangsa ini akan tetap terkenang dengan kemakmuran dalam keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Dikutip dari buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
(halaman 19-26)
Penulis: Abdy Busthan
Tahun terbit: 2017
ISBN: 978-602-6487-05-6
Penerbit: Desna Life Ministry
Kota Penerbit: Kupang

Pancasila Yang Semakin Utopis, Suatu Paradoks Berbangsa



Apakah Pancasila tetap sakti? Apakah kesaktian Pancasila masih dapat diandalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini? Teolog Kristen Protestan, Yonky Karman (2010:115), mengatakan bahwa sejak kelahiran Pancasila sebagai dasar negara Indonesia hingga enam dekade kemudian, bangsa Indonesia tak pernah beranjak menjadi lebih sejahterah dan bermartabat.

Lebih lanjut dikatakan Karman, China dan India tanpa Pancasila, tetapi tampil sebagai penyandang julukan dua negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, dimana mereka bisa bangkit dari ketertinggalan, dan melesat maju mengubah peta kekuatan ekonomi dunia.

Pancasila adalah mutlak ideologi bangsa! Sekaligus dasar dan pedoman dalam menyelenggarakan pemerintahan negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya penataan jalannya hukum negara. Hal yang perlu dipahami bahwa, sejak disahkan secara yuridis konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia

Pancasila telah berakar penuh pada nilai-nilai budaya luhur bangsa, yang berasal dari kehidupan rakyat yang telah berabad-abad lamanya di bumi Indonesia, semenjak zaman Nusantara. Sebab itu, seyogyanya Pancasila mempersatukan kebhinekaan suku, kelompok, agama dan bahasa dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Melalui perbedaan-perbedaan yang ada, terbentuklah kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wujud Bhineka Tunggal Ika: berbeda-beda namun tetap satu juga. Artinya, bahwa meskipun berbeda-beda, tetapi di dalam dan melalui ideologi Pancasila, kita semua menjadi dipersatukan. Demikianlah semboyan manis dan indah ini.

Profesor filsafat, Armada Riyanto (2011) mengingatkan bahwa Pancasila juga sangat identik dengan filsafat emansipatoris (yang membebaskan) manusia-manusia Indonesia dalam konteks kulturalitas dan religiusitas yang luar biasa plural. Itu sebabnya, Pancasila adalah fondasi tata hidup bersama yang menginspirasi pembebasan dari alienasi satu sama lain dalam lautan keanekaragaman suku, budaya, tradisi dan agama yang kaya.

Mari kita kembali lagi pada pertanyaan awal di atas, masihkah kesaktian Pancasila diandalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini?

Jawaban dari pertanyaan di atas dapat kita lihat pada judul utama bagian ini: “Pancasila Kian Utopis”. Ya, Pancasila semakin terlihat utopis; ia ibarat sebuah lukisan yang indah namun sulit diwujudkan.

Konstruksi luhur dalam berbhineka tunggal ika yang terkandung dalam kesaktian ideologi Pancasila, justru kian babak belur dan terasa luntur. Pancasila bahkan sudah mencapai titik ‘lemah syahwat’ di negeri ini! Pelanggaran hak-hak asasi manusia, korupsi, kolusi, nepotisme, diskriminasi agama, hingga berujung pada pengkotak-kotakkan status sosial, suku, budaya dan etnis tertentu, kian menjadikan Pancasila jauh berjalan dari tempat asalnya.

Kekerasan bangkit melawan kekerasan, dan dengan sangat beringasnya melenyapkan kaum-kaum lemah. Bahkan ironisnya, “kekerasan” semakin menjadi produk multimedia yang terus-menerus tersohor dimana-mana.

Dan pada akhirnya, kekerasan pada level ini menjelma menjadi tontonan pornografi yang amat mengasikkan dan juga menggiurkan. Sehingga pada kondisi seperti ini, kekerasan sangat "doyan" dinikmati semua kalangan secara diam-diam.

Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi negara. Ketika Pancasila menjadi ideologi, maka ia adalah kumpulan nilai-nilai atau norma yang berdasarkan sila-sila yang terdapat dalam Pancasila.

Itu sebabnya, hukum dan segala doktrin agama apapun, tidak mungkin dapat disejajarkan ke dalam lima sila yang sudah tercantum di dalamnya. Sebab, agama dan ideologi adalah dua hal yang sangat berbeda.

Meminjam Yewangoe (2011), bahwa dari sekian banyak kemungkinan yang terjadi dengan agama-agama adalah bahwa agama tersebut dapat diturunkan derajatnya menjadi ideologi. Menyambung pendapat ini, maka ketika ajaran sebuah agama menjadi ideologi Pancasila, dapat dipastikan beberapa elemen bangsa akan tertekan dan tidak akan sanggup menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila secara jujur dan objektif.

Bahkan, bukan tidak mungkin bangsa ini akan terkubur dalam ideologi kapitalisme (transnasional) yang konon memang dirancang untuk diberlakukan sebagai satu-satunya nilai yang mumpuni dalam mempersatukan umat manusia. Dimana ideologi kapitalisme ini secara operasional berwujud demokratisasi, HAM dan pasar bebas yang lebih banyaknya bersandar pada individualisme dan mulai populer disemua kalangan dunia internasional saat ini.

Paradoks Berbangsa
Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa memang sesudah Konstituante, Pancasila lebih banyaknya di giring masuk ke dalam karakter kekuasaan yang totaliter.

Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga periode Reformasi, totaliter setidaknya bukan hanya milik karakter penguasa saja, tetapi ia kemudian menjangkiti kelompok-kelompok elit daerah, kelompok massa, dan kelompok agama yang cenderung melakukan deviasi terhadap Pancasila.

Meminjam Dwikarya, bahwa memang telah terjadi deviasi Pancasila dasar negara dalam dua kategori: tematis dan operatif. Deviasi tematif adalah seperti pengurangan, penambahan, substitusi, dan kontradiksi substansi Pancasila. Sedangkan deviasi operatif adalah yang berbentuk kontradiksi terhadap sikap-sikap permanen yang dituntut Pancasila.

Hingga memasuki 17 tahun setelah reformasi tahun 1998, berbagai bentuk kekerasan mulai terus bergulir ibarat bola panas. Hantu-hantu penguasa Orde Baru yang konon militeristik pun masih bergentayangan di era sekarang ini. Bahkan dalam kekerasan terstruktur, masih saja negara terjerumus dalam sistem dan legitimasi yang kian utopis.

Atas nama ajaran agama mayoritas, moral yang sejatinya sebuah wilayah yang sangat privat, kemudian ditelanjangi dengan sangat sempurna. Bahkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan peistis, semakin bersemayam abadi ke dalam sangkar emas logika hukum mayoritanisme.

Memang, pada masa Orde Baru, bangsa Indonesia cenderung menganut sistem unifikasi hukum yang lebih berporos pada kesatuan dan keseragaman (baca:kesamaan), sehingga ketika memasuki masa reformasi, masyarakat bangsa ini kemudian sedikit terjebak dalam suatu babak baru tentang pluralisme asas hukum.

Hal ini ditandai dengan mencuatnya keinginan kuat dari masyarakat agama untuk menasioanalisasikan hukum agamanya, serta masyarakat adat yang juga berupaya semaksimal mungkin menerapkan hukum adatnya.

Bahkan ironisnya, pluralisme dalam era reformasi ini justru lebih mematikan dari pluralisme di zaman kolonial. Sebab semua kelompok yang ada, menginginkan agar pahamnya yang harus diterapkan secara universal.

Sungguh paradoks jika Pancasila yang sejatinya harus mempersatukan setiap keragaman yang ada dalam ke-lima silanya, justru diseragamkan oleh paham kelompok-kelompok tertentu. Apalagi jika hal ini juga melibatkan para penguasa sebagai bagian dari oligarki politik.

Dan lebih meresahkan lagi, jika ruang-ruang privat keagamaan dan kepercayaan, juga semakin tidak luput dari tirani penguasa yang semakin membabi buta ini.

Oleh karenanya, semua harus kembali kepada falsafah hidup bersama, yaitu dengan meluhurkan Pancasila sebagai ekakarsa yang menyatukan segenap komponen bangsa dan negara ini.

Sebab mau di giring kemana negeri ini? Jika Pancasila sudah tidak lagi bisa mempersatukan kita di bawah pohon toleransi dan sungai keharmonisan? Sudah saatnya semua warga negara (tanpa terkecuali) sebagai elemen bangsa, untuk lebih memahami survival Pancasila dengan tepat.

Harus dipahami bahwa, Pancasila tidak bisa dijadikan produk kompromi organisasi atau kelompok apapun di negara ini. Memang, pengimplementasian Pancasila memiliki panorama tantangan peradaban zaman yang silih berganti, namun Pancasila sejak kelahirannya, tak pernah berubah sedikit pun.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, dan Kerakyatan serta Keadilan Sosial, tetap akan selalu bergantung pada seberapa jauh Pancasila bisa kita jadikan sebagai sebuah bangunan ideologi yang kokoh, nyata dan hidup, serta terinternalisasi dalam segenap perilaku pemerintahan dan warga negaranya.

Oleh: Abdy Busthan

*******
Tulisan ini di ambil dari Buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
Penulis: Abdy Busthan
ISBN: 978-602-6487-05-6
Tahun terbit: 2018
Penerbit: Desna Life Ministry
Alamat Penerbit: Kupang