Feuerbach adalah seorang filsuf dan antropolog yang berasal dari negara Jerman. Dia terlahir sebagai anak laki-laki keempat dari keluarga hakim terkemuka Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach.
Nama lengkap yang diberikan orangtua Feuerbech kepadanya adalah: "Ludwig Andreas von Feuerbach". Dia dilahirkan di Landshut, Bavaria, pada 28 Juli 1804, dan meninggal dunia di Rechenberg dekat Nürnberg, Kekaisaran Jerman, pada tanggal 13 September 1872 di usinya yang ke-68 tahun
Ateisme Ludwig Feuerbach adalah filsafat model “tak lain daripada…”. Hal ini karena pemikiran yang diajukannya hanya melihat sesuatu yang terletak di balik, atau di belakang masalah yang dibicarakannya. Bukannya secara jujur mengungkapkan kebenaran dan kesalahan dari agama, tetapi ia langsung masuk ke dalam adanya sesuatu di balik layar dari agama itu sendiri,
..“bahwa agama tak lain daripada….”.
Landasan filosofis semacam ini sering disebut dengan nama “reduksionisme”. Feuerbach berpendapat bahwa agama adalah ‘proyeksi’ yang merupakan sebuah proses tak sadar manusia melalui rasio dan perasaannya. Dalam hal ini, manusia memproyeksikan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya yang tidak boleh diterima atas sesuatu di luar dirinya sendiri.
Cita-cita dan keinginan tertinggi manusia, telah mendapat sebuah bentuk dan nama, yakni Allah. Hanya ada satu kenyataan yaitu manusia. Kenyataan duniawi meliputi manusia, sesama manusia dan alam tempat manusia hidup dan berada.
Manusia ada karena alam; manusia ada karena sesama manusia. Manusia adalah “homo homoni Deus”—manusia adalah ‘ilah’ untuk sesama manusia.
Manusia ada karena alam; manusia ada karena sesama manusia. Manusia adalah “homo homoni Deus”—manusia adalah ‘ilah’ untuk sesama manusia.
Lebih arogan lagi, Feuerbach menyatakan bahwa teologi telah menjadi antropologi dan sebaliknya, antropologi menjadi teologi. Feuerbach menyatakan dengan tegas: “dengan menerjunkan teologi ke antropologi, saya memang menaikkan antropologi ke teologi”. Selanjutnya, Feuerbach menyatakan ....“Allah itu buku di mana manusia menulis nama-nama yang paling terkasih dan yang paling suci .....“ Allah adalah esensi manusia. Tetapi Allah itu bukan asal manusia, manusia justru asal Allah, sebabnya, Allah ‘diciptakan’ oleh manusia itu sendiri.
Jadi, permulaan, pusat, dan kesudahan agama, adalah manusia. Manusia tidak hanya percaya akan ilah-ilah sebab manusia memiliki fantasi dan perasaan. Karena itu manusia kemudian menciptakan ilah-ilahnya sendiri, yaitu untuk memberikan realitas kepada keinginannya masing-masing. Dan seperti keinginan-keinginan itu berbeda-beda, maka otomatis, ilah-ilah manusia juga berbeda-beda.
Sebab itu, agama adalah proyeksi manusia. Memuaskan keinginan-keinginan manusia dalam suatu fantasi agama, hanyalah suatu mimpi kekanak-kanakan. Manusia harus bangun dari impian itu, dan memulai dengan realisasi dari isi fantasinya. Manusia harus memulai dengan hidup secara berbahagia. Supaya hal itu berhasil, maka alam harus ditaklukkan dengan kebudayaan dan ilmu-ilmu.
Paradoks RasioBertrand Russel (2013:15-16) dalam karyanya berjudul “Bertuhan Tanpa Agama”, menyatakan bahwa, jika dikatakan bagian tertentu dari pikiran manusia bersifat ketuhanan, maka hal ini bisa saja disebutkan sebagai “facon de parler” yang menandakan bahwa tidak berarti terdapat Tuhan dalam arti dimana umat Kristen sampai saat ini percaya kepada-Nya. Karena itu, kebaikan mungkin sangat diperlukan untuk membuat kejahatan yang lebih besar. Jika dunia yang sebagian besar menjadi jahat karena diciptakan oleh Tuhan yang sepenuhnya baik hati, maka dunia yang sebagian baik mungkin diciptakan oleh Tuhan yang sepenuhnya jahat.
Friedrich Nietzsche (1988) selanjutnya bertanya dengan lantang, “apakah manusia hanyalah suatu kesalahan besar Tuhan, atau Tuhan hanyalah suatu kesalahan besar manusia?”. Pertanyaan Nietzsche ini sebuah paradoks rasio. Mengapa? Manusia bukanlah kesalahan Tuhan. Sebab melaluinya (manusia), Tuhan mendeklarasikan hakikat kebenaran absolut melalui gambar dan rupa-Nya kepada manusia. Itu sebabnya, manusia adalah makhluk yang segambar dan serupa dengan Tuhan. Dan ini adalah kebenaran!
Ateisme
Kaum “ateis” kemudian mengklaim bahwa Tuhan tidak dapat dibuktikan keberadaan-Nya—Tuhan tidak ada. Ateisme mempertahankan prinsip bahwa tidak ada suatu Allah, yaitu bahwa, kalimat “Allah ada” menyatakan suatu proposisi yang salah. Karenanya maka konsep ateisme berbeda dengan agnotisisme yang bersikap netral. Agnotisisme lebih mempertahankan apakah Allah ada, yaitu apakah kalimat “Allah ada” menyatakan suatu proposisi yang benar, tidak diketahui atau tidak dapat diketahui (relatif). Jadi, dapat dipahami bahwa agnotisisme itu cenderung skeptis, sedangkan ateisme biasanya sangat dogmatis.
Istilah “ateis” berasal dari bahasa Yunani yaitu “atheos”, yang berarti “tidak diakui sebagai dewa, dimana istilah “ateisme” dalam signifikansinya yang lebih luas berarti penolakan terhadap teisme atau keyakinan pada satu atau lebih dewa.
Itu sebabnya, istilah “ateis” hanya dikenakan pada orang-orang yang mempersoalkan “adanya Tuhan”. Padahal, persoalan ini tidak relevan bagi mereka, karena memang mereka tidak percaya. Untuk apa mempersoalkan sesuatu, jika tidak percaya? Jika tidak percaya tentang sesuatu, apa yang dipersoalkan tentang sesuatu?
Ateisme kemudian mulai diberikan landasan rasional ilmiah, ketika Ludwig Feuerbach menerbitkan karyanya berjudul “The Essence of Christianity”, dan melakukan kritik agama, khususnya agama Kristen.
Itu sebabnya Ludwig Feuerbach dikenal sebagai orang pertama yang memberikan landasan rasional ilmiah terhadap ateisme. Dia juga adalah salah satu pendukung filsafat dialektis Hegelian. Namun alih-alih mendukung sepenuhnya konsep Hegelian, hal yang menurutnya bertentangan antara dirinya dengan konsep Hegel adalah tentang sesuatu yang nyata dan rasional.
Bagi Feuerbach, manusia adalah nyata dan rasional, sedangkan roh semesta (yang dinyatakan oleh Hegel dan diasosiasikan dengan Tuhan/Allah) adalah sesuatu yang tidak nyata. Karenanya, Feuerbach menyatakan bahwa agama adalah proyeksi manusia atas keterasingan dirinya. Agama kemudian menjadi tempat bagi manusia untuk mengasingkan diri dari kehidupannya.
Sebagai proyeksi, agama tak lain dari sesuatu yang diberikan penghargaan positif terhadap dirinya. Segala konsep tentang Tuhan, Malaikat, Surga, dan neraka yang ada dalam agama, tak lain daripada hasil proyeksi manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia yang mengkonsepkan hal-hal itu. Manusialah yang terlebih dahulu menciptakan Tuhan, dan bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Agama berdampak positif bagi hidup manusia. Segala sesuatu yang Maha, misalnya Maha Adil, Baik, Penyayang, Pengampun, dll, yang ada dalam Tuhan-agama, tidak lain daripada proyeksi manusia itu sendiri. Hal itu sebenarnya telah ada dalam eksistensi manusia.
Namun, bukannya menjadikan sesuatu yang Maha itu menjadi milik manusia, manusia justru terjebak dalam pemujaan dan penyembahan kepada agama dan Tuhan, yang sebetulnya telah berada dalam dirinya dan menjadi miliknya. Karena itu, manusia harus mengambil kembali ke-Maha-an itu ke dalam dirinya sendiri. Agama dan Tuhan bukan lagi merupakan sesuatu yang menjadi pusat bagi manusia, tetapi justru manusialah pusat dari segalanya. Demikian pemikiran Sang tuan Ateis, Ludwig Feuerbach.
Oleh: Abdy Busthan
Jadi, permulaan, pusat, dan kesudahan agama, adalah manusia. Manusia tidak hanya percaya akan ilah-ilah sebab manusia memiliki fantasi dan perasaan. Karena itu manusia kemudian menciptakan ilah-ilahnya sendiri, yaitu untuk memberikan realitas kepada keinginannya masing-masing. Dan seperti keinginan-keinginan itu berbeda-beda, maka otomatis, ilah-ilah manusia juga berbeda-beda.
Sebab itu, agama adalah proyeksi manusia. Memuaskan keinginan-keinginan manusia dalam suatu fantasi agama, hanyalah suatu mimpi kekanak-kanakan. Manusia harus bangun dari impian itu, dan memulai dengan realisasi dari isi fantasinya. Manusia harus memulai dengan hidup secara berbahagia. Supaya hal itu berhasil, maka alam harus ditaklukkan dengan kebudayaan dan ilmu-ilmu.
Paradoks RasioBertrand Russel (2013:15-16) dalam karyanya berjudul “Bertuhan Tanpa Agama”, menyatakan bahwa, jika dikatakan bagian tertentu dari pikiran manusia bersifat ketuhanan, maka hal ini bisa saja disebutkan sebagai “facon de parler” yang menandakan bahwa tidak berarti terdapat Tuhan dalam arti dimana umat Kristen sampai saat ini percaya kepada-Nya. Karena itu, kebaikan mungkin sangat diperlukan untuk membuat kejahatan yang lebih besar. Jika dunia yang sebagian besar menjadi jahat karena diciptakan oleh Tuhan yang sepenuhnya baik hati, maka dunia yang sebagian baik mungkin diciptakan oleh Tuhan yang sepenuhnya jahat.
Friedrich Nietzsche (1988) selanjutnya bertanya dengan lantang, “apakah manusia hanyalah suatu kesalahan besar Tuhan, atau Tuhan hanyalah suatu kesalahan besar manusia?”. Pertanyaan Nietzsche ini sebuah paradoks rasio. Mengapa? Manusia bukanlah kesalahan Tuhan. Sebab melaluinya (manusia), Tuhan mendeklarasikan hakikat kebenaran absolut melalui gambar dan rupa-Nya kepada manusia. Itu sebabnya, manusia adalah makhluk yang segambar dan serupa dengan Tuhan. Dan ini adalah kebenaran!
Ateisme
Kaum “ateis” kemudian mengklaim bahwa Tuhan tidak dapat dibuktikan keberadaan-Nya—Tuhan tidak ada. Ateisme mempertahankan prinsip bahwa tidak ada suatu Allah, yaitu bahwa, kalimat “Allah ada” menyatakan suatu proposisi yang salah. Karenanya maka konsep ateisme berbeda dengan agnotisisme yang bersikap netral. Agnotisisme lebih mempertahankan apakah Allah ada, yaitu apakah kalimat “Allah ada” menyatakan suatu proposisi yang benar, tidak diketahui atau tidak dapat diketahui (relatif). Jadi, dapat dipahami bahwa agnotisisme itu cenderung skeptis, sedangkan ateisme biasanya sangat dogmatis.
Istilah “ateis” berasal dari bahasa Yunani yaitu “atheos”, yang berarti “tidak diakui sebagai dewa, dimana istilah “ateisme” dalam signifikansinya yang lebih luas berarti penolakan terhadap teisme atau keyakinan pada satu atau lebih dewa.
Itu sebabnya, istilah “ateis” hanya dikenakan pada orang-orang yang mempersoalkan “adanya Tuhan”. Padahal, persoalan ini tidak relevan bagi mereka, karena memang mereka tidak percaya. Untuk apa mempersoalkan sesuatu, jika tidak percaya? Jika tidak percaya tentang sesuatu, apa yang dipersoalkan tentang sesuatu?
Ateisme kemudian mulai diberikan landasan rasional ilmiah, ketika Ludwig Feuerbach menerbitkan karyanya berjudul “The Essence of Christianity”, dan melakukan kritik agama, khususnya agama Kristen.
Itu sebabnya Ludwig Feuerbach dikenal sebagai orang pertama yang memberikan landasan rasional ilmiah terhadap ateisme. Dia juga adalah salah satu pendukung filsafat dialektis Hegelian. Namun alih-alih mendukung sepenuhnya konsep Hegelian, hal yang menurutnya bertentangan antara dirinya dengan konsep Hegel adalah tentang sesuatu yang nyata dan rasional.
Bagi Feuerbach, manusia adalah nyata dan rasional, sedangkan roh semesta (yang dinyatakan oleh Hegel dan diasosiasikan dengan Tuhan/Allah) adalah sesuatu yang tidak nyata. Karenanya, Feuerbach menyatakan bahwa agama adalah proyeksi manusia atas keterasingan dirinya. Agama kemudian menjadi tempat bagi manusia untuk mengasingkan diri dari kehidupannya.
Sebagai proyeksi, agama tak lain dari sesuatu yang diberikan penghargaan positif terhadap dirinya. Segala konsep tentang Tuhan, Malaikat, Surga, dan neraka yang ada dalam agama, tak lain daripada hasil proyeksi manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia yang mengkonsepkan hal-hal itu. Manusialah yang terlebih dahulu menciptakan Tuhan, dan bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Agama berdampak positif bagi hidup manusia. Segala sesuatu yang Maha, misalnya Maha Adil, Baik, Penyayang, Pengampun, dll, yang ada dalam Tuhan-agama, tidak lain daripada proyeksi manusia itu sendiri. Hal itu sebenarnya telah ada dalam eksistensi manusia.
Namun, bukannya menjadikan sesuatu yang Maha itu menjadi milik manusia, manusia justru terjebak dalam pemujaan dan penyembahan kepada agama dan Tuhan, yang sebetulnya telah berada dalam dirinya dan menjadi miliknya. Karena itu, manusia harus mengambil kembali ke-Maha-an itu ke dalam dirinya sendiri. Agama dan Tuhan bukan lagi merupakan sesuatu yang menjadi pusat bagi manusia, tetapi justru manusialah pusat dari segalanya. Demikian pemikiran Sang tuan Ateis, Ludwig Feuerbach.
Oleh: Abdy Busthan
Tidak ada komentar
Posting Komentar