SASKRIM 5 IS adalah model pembelajaran yang di runut berdasarkan hukum-hukum pembelajaran discovery learning dari Jerome Bruner (1915).
Bruner menjadi sangat terkenal, ketika dia peduli terhadap proses belajar daripada hasil belajar. Metode yang digunakannya adalah ‘metode penemuan’ (discovery learning). Metode discovery learning dari Bruner ini merupakan model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran, tetapi menggunakan prinsip-prinsip konstruktivitas, dimana dalam proses belajar, dibedakan tiga fase, yakni (1) informasi, (2) transformasi, dan (3) evaluasi (pengkajian pengetahuan).
Berdasarkan 3 (tiga) tahapan pembelajaran yang dijabarkan Bruner di atas, maka model SASKRIM 5 IS kemudian mengembangkan 3 tahapan tersebut secara lebih sistematis dan efektif, dimana pada fase pertama, yakni tahap informasi, dikembangkan menjadi satu bagian yaitu ‘strategis’. Sementara untuk fase kedua, yaitu transformasi, dikembangkan menjadi tiga bagian penting yaitu ‘analisis’, ‘skeptis’ dan ‘kritis’—sebab setiap aktivitas transformasi selalu dilakukan analisis yang sifatnya skeptis dan bernilai kritis.
Sehingga pada fase terakhir yaitu evaluasi, dikembangkan menjadi ‘pragmatis’, dengan maksud bahwa segala sesuatunya dapat di evaluasi secara singkat, padat dan tepat guna.
Berikut ke-lima bagian penting dari model “SASKRIM 5 – is” dalam pembelajaran, sebagaimana dikutip dari Busthan Abdy (2016:5-9)
Strategis, merupakan a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular education goal. Artinya bahwa, strategi dalam lingkup pembelajaran, merupakan sebuah perencanaan yang tersusun dengan baik, dalam rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam hal ini, segala bentuk pembelajaran, apapun bentuknya, setidaknya dimulai dengan rancangan terlebih dahulu. Rancangan yang baik, tentunya akan menghasilkan hasil yang baik, jika dibalik juga sama dengan itu.
Analisis, adalah langkah pertama setelah proses strategis (perencanaan), yang merupakan penguraian suatu persoalan (tema) atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta menghubungkan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat, guna pemahaman arti keseluruhan. Dalam pembelajaran, aktivitas menganalisis merupakan sesuatu yang aksiomatis untuk memecahkan persoalan-persoalan belajar.
Skeptis, merupakan suatu konsep yang merujuk pada “meragukan segala sesuatu”. Ketika mendengar satu pernyataan, seseorang tidak langsung menelan bulat-bulat pernyataan tersebut. Dengan kata lain, skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Sifat semacam ini penting dalam pembelajaran agar ditemukan suatu kepastian yang akurat dan seimbang. Jika guru menyatakan sebuah teori misalnya “Gelap itu hitam!”, maka siswa harus bertanya, mana buktinya? Sebab Ilmu selalu mempertanyakan bukti. Jika komunitas ilmuwan langsung mempercayai segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya tanpa bukti, maka ilmu pengetahuan akan dipenuhi hal-hal yang tidak bisa dipercaya kebenarannya.
Kritis, adalah ketajaman dalam menganalisis. Kemampaun berpikir kristis merupakan kegiatan penalaran yang reflektif dan kreatif, sehingga berorientasi pada proses intelektual yang melibatkan pembentukan konsep (conceptualizing), juga aplikatif dalam menilai informasi yang terkumpul (sintesis) atau yang dihasilkan melalui pengamatan, pengalaman, refleksi, serta komunikasi sebagai landasan terhadap keyakinan (kepercayaan) dan tindakan. Dalam proses pembelajaran, berpikir kritis adalah suatu keaktifan siswa yang berdampak pada penemuan ide dan gagasan baru terhadap tujuan tertentu. Siswa berpikir kritis untuk menemukan pemahaman yang dikehendakinya. Agar komunikasi dalam proses belajat-mengajar terjadi secara andragogik (bersifat dua arah) serta ambigu, maka sikap kritis ini memiliki 3 (tiga) prinsip, yaitu 1) sikap tidak mudah percaya, 2) berusaha selalu menemukan kesalahan, dan 3) rasa ingin tahu yang tajam.
Pragmatis, adalah bagian evaluasi yang harus bersifat praktis dan berguna secara universal. Dalam pembelajaran, tahap ini dilakukan pada bagian akhir dari proses pembelajaran. Tahapan ini lebih mengutamakan penilaian yang berdasarkan pada segi kepraktisan dan kegunaan atau kemanfaatan yang dilakukan berhubungan dengan nilai-nilai praktis (pragmatisme). Seperti dikatakan.......“pragmatism is thinking about or treating things in a practical way rather than according to general theories”. Dalam pemahamannya bahwa, setiap proses belajar-mengajar, seharusnya diakhiri dengan menempatkan segala sesuatunya dalam ranah praktik daripada hanya berdasarkan teori semata. Sebab hal ini akan menghindari penilaian yang sifatnya subjektif.
Oleh Abdy Busthan
Untuk lebih jelasnya, ke-lima bagian dalam model pembelajaran SASKRIM 5–is sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dapat dipelajari secara mendetail dalam buku ini.
(Kontak HP/WhatsApp: 081333343222)
Tidak ada komentar
Posting Komentar