Teologi Pembebasan Gustavo Gutiérrez
Abdy Busthan
-
03.47
Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam gerakan Teologi Pembebasan di awal tahun 1970-an, adalah Gustavo Gutiérrez. Tokoh utama dalam gerakan Teologi Pembebebasan ini menjadi terkenal sejak bukunya yang berjudul “A Theology of Liberation” untuk pertama kalinya di publikasikan ke ruang publik dengan tujuan untuk memperkenalkan kepada dunia teologi dalam sebuah bentuk dan metode berteologi yang peka terhadap kaum miskin.
Gutiérrez mengusung suatu konsep teologi yang lebih terstruktur dan berdasarkan pada pengamatan langsung terhadap orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Gutierrez menyatakan bahwa kemiskinan adalah sebuah kondisi yang tidak di kehendaki oleh Tuhan. Sebab menurut Guiterrez, kemiskinan sesungguhnya merupakan masalah teologis, dan bukan merupakan masalah etika dan moral. Karena itu, kemiskinan adalah tantangan yang harus di hadadapi bersama-sama oleh setiap orang Kristen. Tentu saja hal ini berarti bahwa solidaritas yang dilakukan dengan kaum miskin adalah merupakan perwujudan suatu sikap dan pola hidup Teosentris dan Kristosentris—berpusat pada Allah dan Kristus.
Gutiérrez dalam pengamatannya, melihat bahwa realitas adalah ‘konteks’ yang sekaligus merupakan sebuah ‘titik berangkat’ bagi seseorang untuk berteologi. Sebab dunia ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dosa yang terus menerus menciptakan ‘jurang pemisah’ antara orang kaya dan orang miskin.
Dalam hal ini dunia secara terus menerus mendeklarasikan materi, kekayaan, dan kekuasaan yang sesungguhnya bertolak belakang dengan cara kerja Allah dalam diri Kristus yang pertama kalinya mendeklarasikan kedatangan Kerajaan Allah melalui mereka yang miskin dan terbuang serta melalui kaum yang terlupakan.
Karena itu, khotbah Yesus di bukit yang menyatakan kalimat: ”Berbahagialah mereka yang miskin dihadapan Allah” adalah sebuah pemberian hak istimewa kepada orang miskin untuk dapat memahami makna kehadiran kerajaan Allah ‘secara nyata’ di muka bumi ini. Sebab sesungguhnya, berita tentang kerajaan Allah adalah sebuah berita ‘pembebasan’ bagi kaum yang tertindas.
Guiterrez berkata bahwa kemiskinan “adalah sebuah pertanyaan tentang kematian ... dan penghancuran pribadi-pribadi, manusia, budaya dan tradisi”. Karena itu, berita tentang kedatangan Kerajaan Allah yang diprakarsai oleh Kristus sendiri, adalah sebuah berita yang bersifat subvertif, dimana perhatian yang lebih mengagungkan dunia beserta kekayaan dan kekuasaannya, haruslah dialihkan kepada perhatian yang lebih mengarah kepada orang-orang yang dianggap tidak penting oleh dunia ini.
Sebagaimana keterangan di atas, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa Teologi pembebasan yang diprakarsai oleh Gutiérrez, lebih mengarah kepada pengentasan di bidang politik dan sosial. Sekalipun bermula dari pemahaman politik, namun ini bukanlah sebuah fakta penyusutan akan paham iman kekristenan, tetapi lebih merupakan refleksi iman yang malampaui refleksi sosial dan politik. Sehingga pada konteks itu teologi yang di gagas berpusat pada yudaisme Yesus Kristus secara historis.
Sebagaimana Gutiérrez menyatakan bahwa sang pembebas Yesus Kristus adalah "kaum orang miskin" yang disamakan dengan orang-orang yang tertindas saat ini di dunia. Tentu saja, hal ini didasarkan pada prinsip Alkitab yang terdapat dari Injil Matius 5:10. Sebab sesungguhnya, menurut Gutiérrez, ‘pembebasan’ yang dilakukan Yesus Kristus di kayu salib, memerankan dua aspek sekaligus, yaitu membebaskan manusia dari penindasan duniawi (kehidupan fisik sosial politik) dan penindasan iman (dosa, kematian, kefanaan, dsb).
Dalam hal lainnya, Gutiérrez juga berteologi dengan merefleksikan kehidupan Ayub yang bergumul dengan kisah sengsaranya, dimana kisah ini dipandang oleh kaum Teodise sebagai kejahatan. Sehingga dalam konteks Ayub ini, Gutiérrez memandang bahwa kejahatan dan penderitaan bukan berasal dari Allah, tetapi lebih mengarah kepada sebuah nilai moral yang melampuai hukum manusia.
Dalam kisah itu, tampak pula kejadian, dimana Ayub berdebat dengan para sahabatnya yang mengatakan bahwa penderitaan Ayub adalah akibat dosa, maka pandangan ini secara otomatis tidak bersifat mutlak lagi, Karena sesungguhnya penderitaan dan kejahatan adalah peleburan cinta kasih Allah melalui kasih yang tak bersyarat.
Oleh Abdy Busthan
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2014). Pendidikan Kristen yang Membebaskan. Kupang: Inara
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Postingan Populer
- Realisme Pendidikan:Implikasi Filsafat Realisme dalam Pendidikan
- Keluarga Tebai-Rumbrawer Datangi Polres Nabire, Minta Yakobus Dumupa Segera di Tahan
- Bendera Merah Putih Sepanjang 1000 Meter Berkibar di Kabupaten Nabire, Sambut HUT RI ke-76
- Jaga Kebersihan, Sejumlah Pedagang Kaki Lima Bersihkan Sampah di Pantai Nabire
- Ketua DPC Partai Garuda Siap Kawal Perubahan Untuk Kabupaten Nabire
- Gubernur Papua Lantik Mesak-Ismail Jadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Nabire
- Diduga Mengalami Pencurian dan Kekerasan, Seorang Kakek Ditemukan Tewas di Jalan Jayanti Nabire
- 123 Mahasiswa Fateksa Uswim di Yudisium, Satu diantaranya adalah Wakil Bupati Dogiyai
- Korlantas Polri Segera Memasang Kamera e-TLE di Seluruh Indonesia
- Fenomena Penampakan Awan Menyerupai Yesus Terjadi di Kota Nabire
Tidak ada komentar
Posting Komentar