BREAKING NEWS
latest

728x90

Ads

468x60

header-ad

Fokus Mingguan

Slider
Tampilkan postingan dengan label Hukum dan Keadilan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum dan Keadilan. Tampilkan semua postingan

Hukum Dan Keadilan



Pengertian hukum yang paling sederhana adalah aturan (sifatnya mengatur). Ketika hukum harus mengatur, maka ia dilaksanakan dengan seperangkat aturannya yang mengatur. Siapapun yang berada dalam wilayah ketika hukum tersebut diberlakukan, ia harus taat dan tunduk terhadap aturan yang tercantum dalam hukum tersebut.

Tujuannya adalah menghadirkan keadilan. Sebab hukum yang baik adalah hukum yang mampu menghadirkan keadilan bagi semua individu yang diaturnya.

Murid Socrates, Plato, pernah menegaskan dalam karyanya “Republik”, bahwa, konsep “adil” adalah menyangkut relasi manusia dengan yang lain. Memberikan keadilan bagi orang lain, berarti mengatakan kebenaran.

Karena itu, lanjut Plato, tempat terbaik untuk melihat keadilan adalah dalam skala besar, yaitu di dalam kota yang adil. Dalam “Kota Adil”, apa yang benar pada orang tertentu, seharusnya memberikan kebenaran bagi orang lain. Sebab manusia bukanlah makhluk yang cukup pada dirinya (Plato, 1992).

Plato benar. Hukum setidaknya diberlakukan atas dasar ideologi kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, yang tidak semata-mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka, tetapi yang memperhatikan keadilan sosial dengan mencerminkan perlindungan hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam Konstitusi UUD 1945.

Hukum harus benar-benar diciptakan melalui proses yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan mengacu pada kepentingan semua orang dan keadilan sosial. Tanpa adanya hukum yang berkeadilan, baik yang dibuat oleh badan legislatif, eksekutif maupun yudisial, akan sulit di terima dan dijadikan panutan bersama.

Setidaknya dapat dipahami bahwa hukum adalah sesuatu yang rasional dan dapat dijangkau semua kalangan yang hidup dalam masyarakat secara sadar. Hukum tidak dapat diberikan sembarang arti, atau diberikan arti sesuai selera oleh sembarang orang, terlebih jika disalahgunakan.

Jadi, hukum dan keadilan tetap merupakan dua sejoli yang paling romantis dalam sebuah altar kehidupan bangsa dan negara yang berasaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Tanpa keadilan, hukum akan berjalan tanpa arah dan tujuannya. Tanpa keadilan, hukum adalah sebuah keraguan terdalam. Tanpa keadilan, hukum berlaku seperti sebuah sarang laba-laba, sebagaimana dikatakan Anarchasis di zaman Romawi enam ratus tahun sebelum masehi. Atau, seperti yang juga dinyanyikan kaum Sofist, bahwa “Justice in the interst of the Stronger" (Hukum merupakan hak penguasa).

Oleh: Abdy Busthan

Hukum Syariat: Xenofobia Di Jalan Demokrasi



Dalam bentuk kajian apapun, hukum Syariat tidak bisa diperkenankan untuk diberlakukan dalam tatanan kehidupan bangsa yang menjunjung prinsip Demokrasi-Konstitusional (Constitutional Democracy). Apalagi jika hukum agama tersebut harus dipaksakan untuk mengatur moral setiap individu melalui negara. 

Moral adalah urusan agama dari masing-masing individu. Negara sama sekali tidak berhak mengatur moral seseorang. Itu sebabnya, hukum negara dan hukum agama, mutlak tidak dapat digabungkan. Hukum agama bersifat absolut, sedangkan hukum negara bersifat dinamis-relatif yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Syariat dan Halakha dalam konteks Kristen
Umat Kristen sedikitnya memiliki sikap yang ambivalen terhadap apa yang disebutkan dengan “Hukum”. Dalam generasi Kristen pertama, yang hidup diantara orang Yahudi, yang mereka akui sebagai hukum adalah hukum Taurat yang dibawa oleh Musa. Hukum Taurat terbagi menjadi dua, yaitu Taurat tertulis yang adalah “Tanakh” dan Taurat lisan yaitu “Halakha” (Busthan Abdy, 2017)

Taurat tertulis adalah apa yang disebutkan dalam kalangan Kristen sebagai Perjanjian Lama, yang terdiri dari Hukum, Para Nabi, dan Kitab-Kitab. Sementara hukum tak tertulis yaitu Halakha, adalah hukum yang dijalankan tetapi menjadi perdebatan panjang diantara para ulama Yahudi. Tetapi hukum Halakha sedikitnya memiliki wibawa tersendiri sebab ada anggapan pula yang mengatakan bahwa hukum ini juga dibawa oleh Musa.

Namun ketika di zaman Yesus, kritik-kritik yang sering dilontarkan Yesus lebih diarahkan terhadap Taurat lisan ini dan para ulamanya (ahli Taurat dan kaum Farisi). Sebab mereka membuat rumit dan memberatkan Taurat bagi umat, sehingga hal ini menjadi beban yang paling berat. Misalnya, kritik Yesus terhadap pemahaman yang keliru tentang fungsi hari Sabat: apakah hari Sabat dibuat untuk manusia ataukah manusia dibuat untuk Sabat?

Syariat lebih mirip dengan Taurat lisan yang di sebut dengan Halakha yang juga sudah dibukukan ke dalam Talmud. Kata Halakha dan Syariat memiliki pengertian yang sama, yakni “jalan menuju Allah sebagai sumber kehidupan”.

Olaf Schumann (2011), seorang Teolog lintas agama asal Jerman, mengatakan bahwa, apa yang semula dipahami sebagai pengarahan, bimbingan atau hidayah, dan hikmat dengan akar katanya sama dengan hukum, oleh para ulama, dijadikan seperti sebuah “kereta” yang digerakkan di jalan keselamatan. Namun yang dibawa menuju keselamatan hanyalah para penumpang kereta itu, di mana pemiliknya adalah para ulama. Sebaliknya, orang lain yang bergerak di jalan yang sama, seolah-olah dihalangi mencapai ujungnya kepada Allah.

Berbeda halnya dengan Yesus, yang justru datang membongkar kereta yang menjadi tumpangan orang-orang tersebut. Sehingga jalan itu tetap ada. Artinya bahwa mereka yang mengikuti Yesus akan berjalan dengan kakinya sendiri untuk berjalan bersama-sama dengan Yesus, dan bukan menjadi hanya sekedar penumpang suatu kendaraan yang dikemudikan dan diarahkan ke ujung jalan. Dan pada akhirnya, Yesus menyebutkan diri-Nya sebagai “Jalan” (Yohanes 14:6), yang bukan sebagai kereta atau jenis kendaraan yang lain.

Syariat Sebuah Xenofobia?
Jika Syariat Islam diberlakukan dalam masyarakat yang mengandung pluralisme agama, seperti di Indonesia, maka ia tentu akan menekan mereka-mereka yang non-Muslim. Mengapa? Tentu saja hak-hak beragama mereka akan mengalami diskriminasi dalam bentuk tekanan dan berakhir dengan munculnya xenofobia (ketakutan, was-was) terhadap kehidupan yang mereka jalani. Akibatnya, agama bukan lagi menjadi bagian yang menyejukkan hati, tetapi cenderung menjadi tempat yang nyaris menakutkan.

Semenjak Syariat Islam dideklarasikan sampai hari ini, pelaksanaannya masih menyimpan sejumlah masalah yang selalu dicarikankan solusinya. Seluruh lini masih menyisakan berbagai polemik yang melahirkan berbagai macam persepsi tentang syariat Islam itu sendiri. Ditambah lagi dengan persoalan-persoalan lain yang timbul dan ikut menghadang pemberlakuan Syariat Islam ini secara kaffah. Misalnya saja, pemberlakuan Syariat di Nanggroe Aceh Darussalam.

Sebagaimana diketahui bersama, Syariat Islam telah lama berkembang di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya hukum-hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang kemudian di salin dalam “Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As-Salam” atau lebih dikenal dengan “Adat Meukuta Alam”.

Dengan peraturan inilah, Po Teumeuruhom menjalankan syariat Islam saat itu, dengan dibantu fatwa-fatwa dari ulama kenamaan, Abdurrauf As-Singkily (Syiah Kuala) yang ketika itu berperan menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Maka akhirnya, ajaran Islam pun menjadi menyatu di dalam kehidupan dan keseharian masyarakat, baik dalam hal peribadatan, adat, hukum, sosial, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya. Hal ini tercermin dari beberapa petuah bijak Aceh seperti,”Hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut.” Atau “Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala. Gadeh aneuk meupat jeurat gadeh adat ho ta mita”.

Pada masa pemerintahan Soekarno, pergolakan Aceh dibawah komando Tgk. Muhammad Daud Beureuah terjadi. Soekarno yang pernah menjanjikan penerapan Syariat Islam di Aceh tak pernah merealisasikannya.

Salah satu solusi yang diberikan untuk menghentikan pergolakan tersebut adalah dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang ditandatangani oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri I/Ketua Misi Pemerintah ke Aceh pada tanggal 26 Mei 1959). Keputusan tersebut terkenal dengan sebutan “Missi Hardi”.

Keputusan ini memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang sekaligus: agama, pendidikan dan peradatan. Sehingga akhirnya Aceh menyandang gelar Daerah Istimewa (DI). Janji ini menurut Al Yasa’ Abu Bakar, layak diberikan karena perjuangan rakyat Aceh sejak awal peperangan melawan Belanda antara lain didorong untuk melaksanakan Syariat Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Bahkan tuntutan agar Aceh menjadi sebuah Provinsi terpisah, merdeka katakanlah, juga karena keinginan melaksanakan Syariat Islam di seluruh wilayah Aceh ini.

Memasuki masa pemerintahan Orde Baru, Undang Undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini, nasib penegakan Syariat yaitu keistimewaan yang diberikan kepada Aceh tidak disinggung lagi.

Kendati pemerintah telah melupakan Daerah Istimewa (DI) dengan keistimewaan agama didalamnya, pemerintah daerah Aceh tetap berupaya menjalankan keistimewaan tersebut. Ini dibuktikan dengan dikeluarkan beberapa peraturan daerah yang berkenaan dengan penerapan Syariat Islam.

Waktupun bergulir hingga masa Reformasi. Pada akhirnya Presiden Habibie yang menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan.

Tentang keistimewaannya, maka bidang agama didefinisikan dengan penerapan Syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Undang-undang ini sedikit meredam kekecewaaan masyarakat Aceh.

Berlanjut hingga masa pemerintahan ibu Megawati, lahirlah Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang lebih dikenal dengan Undang undang Otonomi Khusus. Undang-undang ini membenarkan pembentukan Mahkamah Syariat, baik di tingkat rendah ataupun tingkat tinggi. Wewenangnya meliputi seluruh bidang Syariat yang berkaitan dengan peradilan, dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum.

Akhirnya, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 ini, maka menandai momentum penerapan Syariat Islam secara kaffah di bumi bersyariat Aceh, dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh, di mana pada 1 Muharram 1423 H dinyatakan sebagai awal penerapan Syariat Islam secara kaffah. Mengaktualisasi penerapan Syariat Islam secara kaffah, maka lahirlah beberapa qanun yang dijadikan pegangan secara yuridis formal dalam penegakan Syariat di Aceh.

Awal diterapkannya Syariat Islam di Aceh setelah disahkannya UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, memang berdampak positif. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya kegiatan-kegiatan religius. Namun dengan berjalannya sang waktu, penerapan Syariat Islam kemudian menghasilkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat Muslim.

Ketika Syariat Islam dibicarakan, mereka akan segera membayangkan sesuatu sangat menakutkan, seperti: hukum cambuk, potong tangan, qishahsh, ta’zir dan beragam hukuman lainnya. Sekiranya mau meneliti hukum Islam lebih dalam, bentuk hukuman-hukuman ini bukanlah hal pertama yang perlu disosialisasi dan bukan pula asas dari Syariat Islam itu sendiri. Karena hal-hal itu hanyalah suatu bagian dari cabang di dalam fiqh Islam.

Sebagaimana dikisahkan Liza Fathia (2009), seorang dokter yang bertugas di kota Banda Aceh, bahwa terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh. Pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah dampak meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh.

Atas nama Syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan yang tidak manusiawi, berupa penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, di arak-arak keliling oleh masa dengan tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya: kasus pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh para oknum Polisi Syariat).

Lebih jauh lagi ditegaskan Liza, bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh saat ini harus mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai kaum Islam yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi harus menjadikan Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin.

Apa yang ditakutkan Lisa ini dapat dibenarkan. Sebab bukan tidak mungkin konsekuensi akibat penerapan hukum Syariat di kemudian hari, banyak menimbulkan kecemasan tersendiri dalam masyarakat. Akhirnya masyarakat bukannya takut akan hukuman Tuhan, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang sangat merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Sehingga fenomena ini akan menimbulkan kondisi “xenofobia” yang sangat berkepanjangan dalam diri setiap masyarakat terhadap dirinya sendiri, tetapi juga terhadap sesamanya manusia.

Refleksi Bersama

Hukum Islam terutama terkait dengan perihal aturan dalam perundang-undangan Indonesia, tidak sepenuhnya memiliki muatan-muatan dasar Islam. Namun dengan getolnya beberapa kalangan ulama kemudian menarik makna substantif dan mencoba mengintegrasikan hukum Positif Nasional dengan hukum Syariat ini. Sehingga terkesan tidak terdapat masalah yang kontras antara keduanya. Namun sesungguhnya hal ini adalah sebuah pembodohan dalam konteks beragama.

Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa memang banyak hal kontras yang terjadi antara hukum Syariat dan hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Misalnya dalam kasus pencurian. Menurut Syariat, hukumannya adalah potong tangan, sedangkan KUHP tidak mengakuinya. Syariat Islam dan khilafah, cenderung mengarah pada gerakan penerapan kembali ‘Piagam Jakarta’, atau Hizbut Tahrir DI/TII dan lain sebagainya.

Ada perbedaan substantif antara hukum Syariat dan hukum Positif. Sebagai contoh, di awal abad ke-21, Panglima Laskar Jihad, bernama Ja’far Umar Thalib, pernah memberlakukan hukuman rajam hingga mati terhadap Abdullah yang mengaku sudah memperkosa seorang wanita. Tidak jelas betul proses dan prosedur yang ditempuh, tapi pelaksanaan hukuman rajam itu melanggar hukum Positif.

Menurut hukum Positif, pemberlakuan hukuman rajam sama halnya dengan pembunuhan, karena itu Ja’far melanggar pasal 359 KUHP tentang penganiayaan sampai meninggal dan pasal 156 KUHP tentang penyebaran rasa permusuhan. Fenomena ini menunjukkan adanya “konflik hukum” antara hukum Positif nasional dan hukum Islam, karena pelaksanaan hukuman ini atas pemahaman yang tidak integratif antar hukum positif nasional.

Dari fenomena penerapannya yang sudah dibahas di atas, sebagaimana yang sudah terjadi di daerah Aceh, tentu mengindikasikan bahwa ternyata penerapan Syariat Islam di negara Indonesia, bukanlah masalah sederhana. Jika pada beberapa percobaan sebagaimana dijelaskan di atas tidak bisa diterapkan secara menyeluruh, maka untuk mengkaji kembali kemungkinan keberhasilannya pada masa sekarang, dengan konteks yang jauh lebih rumit dan sangat kompleks, maka akan sangat lebih sulit lagi, bahkan tidak mungkin.

Kasus pemberlakuan Syariat Islam di Aceh misalnya, mencerminkan seperangkat komplikasi-komplikasi di antara berbagai kerangka yang sangat rumit di dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia. Oleh karena itu, meminjam Munawir Sjadzali (Menteri Agama RI ke-13), penerapan hukum Syariat Islam dalam negara Indonesia, memerlukan rekonstruksi Syariat itu sendiri. Tanpa itu, maka seruan untuk penerapan hukum Islam, hanyalah respon kultural defensif belaka terhadap perubahan struktural yang terus terjadi di kalangan masyarakat

Oleh: Abdy Busthan

Referensi
  1. Busthan Abdy (2017). Negara Bukan Agama! Agama Bukan Negara!. Kupang: Desna Life Ministry
  2. Fathia Liza. (2009). Syariat Islam: Solusi atau Polemik? http://liza-fathia.com/syariat-islam-solusi-atau-polemik/diakses tanggal 6 Februari 2017, pukul 18.16
  3. Olaf H Schumann. (2011). Agama-Agama: Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)



Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah buah dari Reformasi. Korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang sangat merajalela di era Orde Baru memasuki hampir seluruh bidang kehidupan termasuk lembaga-lembaga penegakan hukum. Maka kalau nilai-nilai reformasi hendak diterapkan di mana termasuk membersihkan korupsi secara tuntas, dibutuhkan sebuah lembaga baru yang diyakini bersih. Lantai yang kotor tidak bisa dibersihkan dengan sapu yang kotor. Tetapi memang lembaga itu harus bersifat ad hoc, artinya fokus kerjanya adalah pada pemberantasan korupsi. 

Karena korupsi adalah extraordinary crime (kejahatan luar biasa), maka memang harus diperangi dengan cara luar biasa pula. Itulah alasannya KPK diberi kewenangan istimewa seperti tidak adanya SP3, independent dalam arti tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Saya kira sampai di situ kita bisa memahami keberadaan lembaga anti rasuah ini.

Dalam perjalanannya KPK tidak sepi dari berbagai "intervensi". Terutama dari DPR yang ingin mengajukan revisi UU KPK. Dengan segera muncul berbagai pendapat bahwa upaya DPR itu tidak lain dari keinginan memperlemah KPK. Alasan ini bisa masuk akal karena cukup banyak oknum anggota DPR yang kena jaring KPK. Kasus E.KTP misalnya adalah salah satu kasus yang sangat menonjol. Rakyat juga sangat mendukung KPK dan ikut berpendapat apapun yang dilakukan DPR thdp KPK adalah tidak lain dari upaya memperlemahnya. Dalam hal ini KPK sangat firm.

Tetapi sementara itu juga mulai bermunculan suara-suara sumbang terhadap KPK. Misalnya KPK hanya mengandalkan OTT sehingga yang dijaring hanyalah kasus-kasus kecil. Untuk bisa melakukan OTT maka penyadapan tilpon sangat diandalkan. Sementara itu kasus-kasus besar yang merugikan negara sangat besar dibiarkan tidak tersentuh semisal persoalan Bank Century, BLBI, dan seterusnya. KPK ditengarai tebang pilih artinya hanya menangani kasus-kasus yang dianggap dapat menaikkan citranya. Dgn melakukan OTT, demikian kritik itu KPK hanya mau memperlihatkan bahwa mereka masih bekerja. 

Tuduhan yang lebih berat adalah bahwa di dalamnya ada oknum-oknum yang mulai bermain politik praktis. Kita tidak tahu pasti apakah tuduhan-tuduhan macam ini benar atau tidak. Selanjutnya "kekuasaan" para pegawai yang tergabung dalam sebuah persatuan sangat besar. Mereka yang sudah "menetap" di sana jauh lebih menentukan ketimbang 5 orang komisioner yang hanya bekerja secara periodik yaitu 5 tahun. Karena itu, demikian dikatakan siapapun Pimpinannya, mereka tidak akan mempunyai peranan yang menentukan. Kita juga mendengar adanya OTT tetapi tidak diketahui oleh pimpinannya.

Semua ini makin mematangkan situasi bagi diterbitkannya Revisi UU KPK. Akhirnya terjadi. UU itu disyahkan dengan sejumlah perbaikan di dalamnya seperti adanya wewenang SP3, dibentuknya Dewan Pengawas, para pegawainya harus berstatus ASN , dan seterusnya. Tentang Dewan Pengawas ditengarai ini akan menggerus status independensi KPK. Presiden sendiri, sbgmn kita ikuti di media massa dan media sosial menegaskan bahwa beliau tidak bermaksud melemahkan KPK. Sebaliknya dengan adanya revisi itu kinerja KPK makin diperbaiki dan diperkuat.

Namun penjelasan-penjelasan ini tidak mampu mencegah maraknya demo-demo di tanah air yang sayang sekali disertai dengan perusakan-perusakan fasilitas umum. Terutama para mahasiswa bergerak dan mereka menegaskan bahwa tujuan mereka fokus kpd persoalan UU KPK, RUU KUHP. Namun kita juga mendengar yel-yel, "Turunkan Jokowi". Jelas ini menyimpang dari tujuan demo semula. Selain itu disinyalir pula adanya anasir lain yang mempunyai agenda lain. Menko Polhukam antara lain menyatakan itu. Kalau gelombang demo terus berlangsung sudah pasti ini akan menganggu kegiatan sehari-hari masyarakat.

Sore ini para tokoh masyarakat menemui Presiden. Mereka menghimbau Presiden untuk menerbitkan PERPPU. Presiden, demikian diberitakan akan mempertimbangkan penerbitan PERPPU tersebut. Mudah-mudahan dgn adanya PERPPU itu gelombang demo bisa dihentikan.

Kalau PERPPU itu ada, kita mengharapkan LEMBAGA KPK betul-betul diperkuat. Termasuk dalam penguatan itu adalah mencegah OKNUM-OKNUM tertentu memakai salah Lembaga ini guna memperkuat interesa kekuasaan pribadi dan golongan mereka. Lembaga harus diperkuat tetapi orang-orang yang memperalat lembaga ini bagi kepentingan pribadi dan golongannya harus dibersihkan. Dengan demikian kita akan mendapatkan sebuah lembaga ad hoc yang kredibel bagi pemberantasan korupsi yang memang dipercayai masyarakat.

Oleh: Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe

Tirani Lembaga Keagamaan: Korupsi, Mafia Birokrasi dan Kekerasan


Agama dan negara sudah lama berselingkuh di republik ini. Keduanya getol menjalin perselingkuhan secara diam-diam. Bahkan mendalam! Keduanya memang saling terpikat satu dengan lainnya. Negara selalu menggoda agama untuk menyetubuhinya dengan beragam fantasi brutal dalam bentuk-bentuk penindasan terstruktur seperti: korupsi, kolusi, nepotisme, dll, demi melanggengkan status quo. Begitupun sebaliknya. Akhirnya, tak ada kata yang pantas lagi selain mengatakan bahwa: Agama adalah sebuah tirani! Ya, agama adalah tirani dalam negara!

Benar, apa yang dikatakan Yewangoe (2011:239) bahwa, agama adalah sebuah gejala kemanusiaan. Artinya, hanya manusialah yang mampu menyatakan perasaan dan praksis keberagamannya. Karena itu, agama sangat melekat pada manusia dan intensitas manusia menjalani praksis keberagamannya itu sendiri. Sehingga agama dengan segala atributnya jika tidak dipahami dengan arif, maka ia akan menjadi tempat yang paling mengasikkan untuk bercokolnya tirani-tirani kekuasaan. Kekokohan tirani ini yang kemudian dengan gagahnya berdiri dengan mengatasnamakan Tuhan.

Akhirnya, muncullah kolaborasi liar dan brutal antara agama dan kekuasaan, demi melenyapkan kebebasan dari mereka yang berbeda paham religius, bahkan yang bersinggungan paham politik dengannya. Bahkan, seakan mendewakan pahala, mereka lalu menghalalkan ambisi demi merindukan surga kehidupan yang semu.

Inikah keagungan religius? Apakah penindasan sesama selalu di atas segalanya? Inikah titah Sang Semesta? Jika sebuah kekuasaan memang bagian dari dakwah, alangkah indah seandainya dunia tanpa agama.

Lembaga Keagamaan dalam Tirani
Max Weber (2012), dalam pembahasan panjang lebar tentang sosiologi agama, pernah menyatakan bahwa, kecenderungan teknologi dan birokrasi akan muncul dan melenyapkan agama sehingga ia pun dapat menguasai masyarakat modern, yang akhirnya muncullah hegemoni dan pemikiran sekuler.

Lebih lanjut dijelaskan Weber bahwa, hilangnya peran agama ditengah masyarakat dunia terutama diakibatkan oleh ciri religiusitas yang paling mendasar, yaitu hubungan sosial dan meyakini “hari depan”. Pada titik ini, korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi dalam bentuk apapun akan merugikan kepentingan orang lain dengan skala yang luas.

Dengan demikian, koruptor dan mafia birokrasi telah menunjukkan diri mereka sebagai bukan ciri mahluk yang sekuler apalagi religius. Alhasil, koruptor dan mafia birokrasi tidak akan lagi mempertimbangkan “hari depan” sebab mereka tidak memandang masa depan generasi berikutnya.

Merujuk pengertian korupsi yang dikemukakan oleh Hogwood & Peters (1985) dalam bukunya The Pathology of Public Policy, bahwa korupsi merupakan perilaku yang termanifes dalam penggelapan dana atau materi yang seharusnya untuk kesejahteraan publik tetapi digunakan memperkaya diri sendiri sehingga menimbulkan kerugian di pihak yang lebih luas.

Karenanya, maka kedua penulis buku tersebut menggolongkan korupsi sebagai pathologies of budgeting. Sedangkan manipulasi adalah publikasi terhadap kebijakan publik.

Mari kita sinkronkan pemahaman ini ke dalam fakta realitas Lembaga Keagamaan di bumi Pertiwi ini.

Dalam perkembangan realitas bangsa Indonesia, tidak jarang lembaga-lembaga negara terjerumus dalam aneka tirani birokrasi dengan korupsi dalam skala besar-besaran. Selain kasus suap impor daging yang melibatkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Patrialis Akbar baru-baru ini, tentu masih banyak lagi rentetan kasus-kasus korupsi yang banyak sekali menggandeng lembaga-lembaga negara lainnya, seperti penyimpangan Lembaga Keagamaan Republik Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini.

Sebut saja beberapa kasus korupsi yang beberapa diantaranya belum tuntas keputusannys sampai detik ini, seperti: kasus korupsi Departemen Agama di kota Jayapura-Papua di tahun 2009, terkait dengan dana bantuan Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI yang diperuntukkan untuk 22 pondok pesantren yang ada di Papua.

Begitupun korupsi pengadaan perlengkapan laboratorium IPA Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah senilai Rp 77 milyar di tahun 2010. Tidak kalah pentingnya juga dengan korupsi pengadaan Kitab Suci Al-Quran di tahun 2011-2012, yang disinyalir merugikan negara hingga Rp 27 miliar, di mana kasus ini banyak sekali menyeret pejabat tertinggi di Kementerian Agama.

Tak luput pula kasus korupsi pada Koperasi Pegawai Republik Indonesia Departemen Agama Sidoarjo di tahun 2013, yang dilakukan oleh Lilik Handayani, mantan Kepala Tata Usaha (KTU) di Departemen Agama daerah Sidoarjo Surabaya.

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan Lembaga Kementerian Agama ini, tidak hanya sampai di situ saja. Pada tahun 2012 misalnya, ditengah segala upaya pengungkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus proyek IT Laboratorium komputer dan pengadaan Alquran di Kementerian Agama, akhirnya dari hasil penelusuran PPATK, terbongkarlah kepemilikan Rekening Gajah oleh Pejabat Kemenag.

Dan berbuntut penepatapan KPK atas bekas Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji periode 2012-2013 pada tanggal 22 Mei 2014, yang melakukan penyelewengan akomodasi haji dengan anggaran totalnya lebih dari Rp 1 triliun, di mana kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,8 triliun.

Di saat yang sama, Suryadharma Ali juga diduga menyalahgunakan wewenang karena membawa rombongan haji gratis yang terdiri atas keluarga dan koleganya serta anggota DPR.

Dari kasus-kasus di atas, bisa kita simpulkan bahwa korupsi merupakan salah satu bentuk patologi sosial yang selalu ada dalam setiap peradaban. Tidak peduli peradaban kuno, modern atau pasca modern sekalipun, korupsi selalu hadir dan terkait dengan kepentingan banyak orang.

Korupsi juga tidak mengenal status sosial maupun latar belakang keagamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sekarang ini korupsi sudah menjadi semacam agama baru. Hal lain yang juga menarik adalah korupsi bukan saja terjadi dalam institusi-institusi sekuler, melainkan juga dalam institusi keagaman, seperti kasus yang dijabarkan di atas.

Ternyata korupsi benar-benar tidak mengenal aliran keagamaan dan iman apapun. Kapanpun, siapapun, dan di mana saja, hantu korupsi selalu siap mengerogoti martabat orang-orang yang konon disebut ‘beriman’. Di dunia politik apalagi. Ada tendensi, korupsi sudah menjadi ‘program utama’ partai, maupun pelaku politik. Praktek korupsi juga sudah menjadi semacam pekerjaan pokok para pejabat mulai dari pusat sampai desa-desa di seluruh wilayah negeri tercinta ini.

Fenomena penyimpangan masif birokrasi dari Kementerian Agama (Kemenag) seperti kasus-kasus di atas, sesungguhnya memberi sinyal yang sangat akurat bahwa peranan Kementerian Agama telah melenyapkan eksistensi agama, seperti pendekatan Weber yang sudah dijelaskan di atas. Ya, kasus seperti ini memberikan sinyalemen bahwa lembaga agama di republik tercinta ini memang sudah tidak dapat lagi dipercaya sebagai agen pembawa dakwah dan muara serta mata air kesejukan bagi umat.

Harus dipahami, bahwa mafia birokrasi berlebel Kementerian Agama adalah merupakan masalah krusil, sebab mengingat peran Kementerian Agama sendiri adalah bagian dari penyelenggaraan perlindungan hak asasi manusia yang pengamalannya melalui negara, dan yang dibatasi pula oleh Konstitusi dengan seperangkat alat perundang-undangan, demi untuk tercapainya tujuan negara.

Di Indonesia misalnya, lahirnya UU No. 1/PnPs/1965 dimaksudkan mengatur untuk pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama jo. UU No. 5 Tahun 1969 yang mengatur segala bentuk pernyataan berbagai penetapan dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, yang lebih banyaknya dimaksudkan melindungi segala penodaan dan penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran suatu agama.

Berbagai perilaku korup mafia birokrasi Kementerian Agama tentu saja akan berbeda dampaknya dibandingkan birokrasi lain, karena institusi ini bersinggungan langsung dengan teritori yang sangat sensitif. Korupsi Kemenag juga berimplikasi pada pelanggaran HAM, yang secara sengaja dan terbuka menyatakan penodaan dan penistaan ajaran agama.

Alhasil, mafia birokrasi di Kementerian Agama tidak hanya menempatkan umat beragama sebagai korbannya, tetapi juga telah menyandera Pancasila dan Konstitusi sebagai rujukan Kemenag untuk mengintervensi teritorial Agama. Kementerian Agama bersifat khusus karena teritorial agama mengatur ritual dalam beribadah (Syariat) semua umat agama.

Di era otonomi saat sekarang ini, korupsi justru telah berpindah situs, dari Jakarta ke daerah-daerah. Walaupun, Jakarta masih menjadi top scorer terbesar di negeri ini. Pertanyaan yang sangat menggelitik untuk dicermati adalah, mengapa korupsi tidak bisa lenyap, bahkan semakin menggila? Mengapa Persepsi Indeks Korupsi Indonesia belum memperlihatkan perkembangan yang signifikan?

Sebagai bahan refleksi menghadapi beragam tirani kekuasaan, mafia birokrasi, korupsi, kekerasan, dll, yang getol menggandeng lembaga keagamaan, pemerintah harus konsisten dan tegas kepada siapa saja yang mau merusak moralitas negara dan agama. Sehingga tirani-tirani ngaur ngidul tidak lagi menjamur dalam wilayah religius. Sebab jika tidak, niscaya agama akan berganti nama menjadi tirani. Ya, tirani itu bernama lembaga agama!

(Oleh: Abdy Busthan)

Keadilan, Hukum, Dan Fakta Kebenaran Buat Ahok



Oleh: Abdy Busthan

Ketika vonis 2 tahun dijatuhkan kepada Ahok, sebagian kalangan yang kontra (menolak) Ahok, mungkin menilai bahwa vonis yang diberikan hakim kepada Ahok adalah cermin sebuah keadilan. Artinya Ahok memang pantas di hukum karena positif bersalah, dan sebagai akibatnya maka Ahok harus di tahan selama 2 tahun, atau mungkin—menurut mereka—bisa saja 5 tahun.

Benarkah demikian? Jika benar, lantas bagaimana persisnya gambaran hubungan keadilan dan hukum atas dakwaan kepada Ahok tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, serta demi meluruskan anggapan sebagian kalangan di atas, maka kita harus bisa membedakan secara akurat, perbedaan hukum dengan keadilan.

Hukum bukanlah keadilan. Pada prinsipnya, hukum dan keadilan itu dua hal yang sangat berbeda. Hukum hanya bagian usaha untuk meraih keadilan dalam masyarakat saja, tetapi dia tidak sama persis dengan keadilan. Sedangkan keadilan memang mencakup hukum, namun hukum bukan satu-satunya cara menciptakan keadilan. Inilah yang mestinya dipahami terlebih dahulu.

Seharusnya, konstitusi negara Indonesia ini lebih berdasarkan pada keadilan, dan bukan berdasarkan pada hukumnya. Sederhananya, keadilan untuk hukum, bukan hukum untuk keadilan. Mengapa? Sebab hukum itu sangat rentan digunakan sebagai justifikasi atau apologi untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu serta segelintir orang. Dan memang, fakta yg sesungguhnya terjadi di negara ini adalah, bahwa hukum hanya dijadikan sebagai produk politik semata.

Terkait dengan tuntutan hukum kepada Ahok, jika saja kita berdiri dalam posisi yang netral, maka tentu kita tidak dengan serta-mertanya membenarkan tuntutan tersebut. Mengapa? Sebab, ada banyak fakta kebenaran yang tidak dimunculkan sebagai bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Berikut beberapa fakta kebenaran yang tidak diperhatikan Hakim dalam mengambil keputusannya.

a. Hukum Kausalitas (Sebab-Akibat)
Kasus Ahok bisa kita kaji berdasarkan substansi hukum kausalitas, yang menegaskan: apa yang mengakibatkan apa, adalah juga sebab dari yang mengakibatkan. Dalam filsafat, kausalitas (boleh dibaca: sebab-akibat) merupakan kenyataan di mana setiap fakta peristiwa adalah yang disebabkan oleh asal, penyebab, dan prinsip. Penyebab dari suatu peristiwa B misalnya, maka ia harus memenuhi 3 kondisi berikut:

Bahwa A terjadi sebelum B.
Yang selalu terjadi adalah B.
A dan B dekat dalam ruang dan waktu.

Demikian juga dalam kajian fisika, istilah kausalitas menggambarkan hubungan antara sebab dan akibat. Khusus fisika klasik, diasumsikan bahwa semua peristiwa hanya disebabkan oleh entitas (orang) sebelumnya. Klaim ini pada tingkat tertinggi, dapat ditemukan dalam laporan seorang ahli matematika dan astronom Perancis, Pierre Simon Laplace (1749-1827), yang mengatakan bahwa, jika Anda mengetahui keadaan dunia dengan presisi, seseorang dapat memprediksi setiap peristiwa di masa depan (ke depan). Pandangan ini disebut determinisme, atau tepatnya determinisme kausal. Jadi, prinsip kausalitas mendalilkan bahwa setiap efek—semua event—datangnya dari penyebab yang mengakibatkan.

Nah, jika hukum kausalitas seperti yang dijelaskan di atas, kemudian digunakan dalam kasus Ahok, maka Buni Yani adalah sebab yang menyebabkan akibat. Penggalan video editan Yani adalah fakta kebenaran yang tidak terbantahkan untuk menyatakan bahwa Yani adalah pelaku perbuatan tidak menyenangkan tersebut.

Berdasarkan hukum kausalitas atau sebab-akibat, Yani memiliki andil besar sebagai ‘penyebab’ yang mengakibatkan. Dapat dianalogikan bahwa, Yani adalah sebab B, yang membawa akibat A menjadi B. Artinya, dialah yang menyebabkan ‘perbuatan tidak menyenangkan’ dengan mengutip dan mengurangi kata-kata Ahok dalam pidato di Kepulauan Seribu pada tahun 2016 secara tidak tepat. Sebagaimana terungkap bahwa Yani mengunggah editan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, disertai dengan transkipsi yang tidak sesuai dengan kata-kata Ahok. Sehingga muncul reaksi keras masyarakat yang sangat beragam kepada Ahok.

Jadi, sumber persoalannya adalah penggalan video yang mulanya berdurasi 40 menit, lalu di edit Yani menjadi potongan video berdurasi 13 detik. Video editan dengan durasi singkat inilah, yang membuat persoalan kemudian menjadi kian membesar. Bahkan menimbulkan reaksi keras masyarakat terhadap Ahok, yang pada akhirnya Ahok pun harus menerima kegagalan dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Seharusnya, perbuatan Yani yang dapat dijadikan dasar dalam membebaskan Ahok dari perkara ini. Sebab Yani adalah sebab yang mengakibatkan, seperti ditegaskan hukum kausalitas di atas.

b. Ketentuan ‘a quo’
Jika kita harus menempatkan diri pada posisi netral, kita akan menyadari bahwa ada proses yang terlewatkan ketika Ahok menjadi tersangka dan di vonis bersalah oleh hakim di pengadilan.

Secara subtantif, kasus ini seharusnya mengacu pada Penetapan Presiden No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pada Pasal 2 ayat (1) peraturan a quo, disebutkan bahwa barang siapa yang melakukan penodaan agama maka diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu, dalam satu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya pada Pasal 3 ditegaskan bahwa jika ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) tidak diindahkan maka otomatis pelaku akan dipidana penjara selama-lamanya 5 tahun.

Nah, merujuk pada peraturan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa jika ada orang yang melakukan penodaan agama maka hal yang paling utama adalah diberikan “peringatan” terlebih dahulu oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, yaitu dalam bentuk surat keputusan bersama. Jika orang tersebut kemudian tidak mengindahkannya, maka orang itu harus dipidanakan dengan ancaman hukuman 5 tahun.

Artinya bahwa, ketentuan a quo sesungguhnya lebih mengutamakan tindakan preventif atau pencegahan, ketimbang tindakan represif. Hal ini tentu sejalan dengan filsafat pemidanaan, yang tercantum dalam kalimat.. nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur, yang artinya seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa.

Jadi, jelaslah bahwa dalam kasus Ahok, kita tidak melihat sama sekali “peringatan” yang diberikan terlebih dahulu. Ahok tidak diberi peringatan keras oleh negara melalui Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Karena itu, proses hukum terhadap Ahok sesungguhnya merupakan contradictio interminis dengan peraturan a quo. Sehingga tidak memenuhi prinsip rule of law. Dengan tidak adanya peringatan keras, maka menunjukkan bahwa negara telah dengan sengaja membiarkan pelanggaran proses hukum secara objektif kepada seorang Ahok. Adilkah ini?

c. Prinsip Normatif
Harus dipahami bahwa secara normatif, karakter penodaan agama berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Tidak akan mungkin terdapat kerugian individu secara langsung atas penodaan agama, kecuali terganggunya ketertiban dalam beribadah dan bermasyarakat. Atas dasar inilah maka seharusnya negara mesti memberi teguran terlebih dahulu sebelum memproses seseorang terpidana dengan hukum yang berlaku.

d. Kontradiktif Putusan Hakim
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah, kita harus mengajukan pertanyaan mendasar, apakah vonis Hakim sesuai dengan dakwaan Jaksa? Sebab terdapat setidaknya tiga pertimbangan majelis Hakim yang sangat kontradiktif di sini. Berikut ulasan singkatnya.

Pertama. Majelis hakim memberikan vonis kepada Ahok 2 tahun penjara dan langsung di tahan, yaitu dengan berpedoman pada Pasal 156a KUHP.

Sebelum diputuskan, Ahok telah dituntut oleh Jaksa dengan Pasal 156 KUHP, yang berupa pidana penjara 1 tahun, masa percobaan 2 tahun. Dan tidak ditahan. Meskipun dalam dakwaannya, Jaksa menggunakan dakwaan alternatif dengan menempatkan Pasal 156a KUHP sebagai dakwaan utama dan Pasal 156 sebagai dakwaan alternatif pertama, namun dalam tuntutannya, Jaksa justru menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP.

Apa artinya? Artinya Jaksa sangat menyadari, bahwa mereka tidak memiliki bukti yang akurat untuk menuntut Ahok dengan pasal penodaan agama. Tegas bahwa, dakwaan penodaan agama dalam perspektif Jaksa tidak dapat terbukti, sehingga dialihkan pada dakwaan alternatif pertama, yakni Pasal 156 KUHP.

Nah pertanyaannya, mengapa majelis hakim justru memberikan vonis kepada Ahok dengan menggunakan Pasal 156a KUHP? Sepertinya majelis Hakim berpatokan pada bukti pidato Ahok yang menyinggung Surat Al Maidah di Kepulauan Seribu sebagai alat bukti utama, yang kemudian dikuatkan dengan alat bukti keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Padahal jika Hakim ini objektif, seharusnya mereka menyadari bahwa ada friksi yang sangat tajam antara pendapat ahli JPU dengan ahli dari terdakwa.

Hal lainnya lagi, terkesan bahwa majelis Hakim ini justru secara diam-diam berusaha mengkonstruksi alat bukti sendiri, yang mana sebelumnya JPU sendiri justru sudah tidak yakin dengan alat bukti yang diajukannya. Nah, inilah bukti nyata bahwa kita memang sulit melihat hukum berjalan tegak berdiri dalam kasus Ahok. Sebab sesungguhnya hukum akan berkelindan dengan intervensi politik dan kekuasaan.

Kedua. Perintah penahanan Ahok murni pelanggaran kebebasan terhadap individu. Ahok tidak bisa ditahan karena kuasa hukumnya sudah menyatakan banding. Artinya, putusan hakim belum bersifat tetap atau berkekuatan hukum tetap, sehingga Ahok belum saatnya untuk di tahan.

Hal lainnya bahwa, Majelis hakim memerintahkan agar terdakwa segera di tahan. Secara kasat mata, kita dapat melihat bahwa sejak awal Ahok sangat kooperatif dan sopan saat menghadiri persidangannya. Maka seharusnya, pada tahap penyidikan dan penuntutan, Ahok tidak harus ditahan. Lalu mengapa putusan Hakim menegaskan Ahok harus ditahan? Sekali lagi, Ahok tidak perlu ditahan! Sebab ia pejabat publik yang sulit untuk melarikan diri, serta tidak mungkin ia merusak atau menghilangkan barang bukti, apalagi mengulangi tindak pidana sebagaimana disebutkan Pasal 21 ayat (1) KUHP.

Ketiga. Kasus ini berjalan dengan irama politis. Pertimbangan yang memberatkan Ahok justru di luar akal sehat, di mana katanya, ia sebagai gubernur seharusnya tidak melakukan penodaan agama. Pertimbangan ini kelihatannya sangat kontradiktif dalam konteks tindak pidana penodaan agama. Karena justru seharusnya yang menjadi pertimbangan hakim adalah, karena Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta yang sudah banyak diakui keberhasilannya dengan segudang prestasi yang di raihnya dan jelas berprestasi membangun Ibu Kota NKRI yakni Jakarta. Hal inilah yang seharus menjadi alasan untuk meringankan Ahok, dan bukan justru membuat putusan yang sangat memberatkan.

Tentu saja, pertimbangan majelis Hakim seperti di atas memang sangat rancu, sebab pertimbangan seperti itu hanya tepat jika digunakan dalam memutus tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes. Dalam artian bahwa, pejabat publiknya tidak bermoral dan tidak amanah–merampok uang negara–sehingga menjadi alasan kuat untuk memberikan hukuman yang berat.

Tulisan ini di kutip dari Buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"
Nomor ISBN: 978-602-6487-08-7
Tahun terbit: 2017
Nama Penerbit: Desna Life Ministry
Kota tempat Penerbit: Kupang

Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!



Apakah agamamu? Inilah pertanyaan pertama dan terutama yang harus dijawab jika Anda mau menjadi pemimpin di negara yang syarat dengan syariat. Ya, negara yang syarat hukum syariat, adalah Negara-Agama, di mana agama dijadikan status resmi sebagai identitas dan falsafah utama dalam bernegara.

Tentunya, hal ini tidak dapat berlaku dalam Negara-Pancasila. Sebab posisi antara Negara-Agama dengan Negara-Pancasila, tetap terkungkung dalam wilayah hitam-putih (baca: berseberangan).

Namun, dalam alam realitas berbangsa dan bernegara, rasanya sulit menghindari kekacauan akibat menempatkan hukum agama dan hukum negara secara simultan. Begitulah yang kini terjadi di negara tercinta kita, Indonesia.

Perkenankan saya membuka lembaran awal coretan ini dengan mengajak kita bersama-sama sekedar kembali memahami lebih dalam lagi kalimat sederhana ini: “Agama adalah bagian dalam kehidupan berbangsa, dan bukan bangsa yang menjadi bagian dari kehidupan beragama”. Kalimat seperti ini semestinya di cerna secara hati-hati dan bijaksana, sehingga kita tidak dengan serta-mertanya menegarakan agama, dan mengagamakan negara.

Dalam bentuk pemerintahan demokrasi, ajaran agama bukanlah “pandangan hidup” dari negara, tetapi ia hanya sebatas penuntun hidup golongan tertentu dalam satu negara. Penuntun hidup suatu golongan tertentu ini tidak bisa di klaim sebagai penuntun hidup bersama—semua golongan wajib dan harus mengikutinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lantas, seperti apakah relasi negara dengan agama itu? Tepat apa yang pernah diungkapkan Teolog Protestan, Yewangoe (2011) melalui karyanya berjudul “Tidak Ada Negara Agama”, bahwa tidak mudah untuk mengambil kesimpulan bagaimana relasi Negara-Agama itu harus diletakkan secara pas. Sebab selalu tersisa pertanyaan-pertanyaan muskil di dalamnya. Ini benar!

Sebut saja kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang membatasi laju imigran dan pengungsi dari tujuh negara Islam ke AS di awal tahun 2017 ini. Mungkin dalil Trump di balik kebijakan ini semata-mata untuk membatasi masuknya terorisme ke Amerika bisa diterima. Namun, dalam konteks bukan Negara-Agama, maka jelas kebijakan seperti begini kontraproduktif dan diskriminatif, serta sangat berpotensi melanggar konstitusi. Karena memilah-milah suatu kebijakan berdasarkan pada perbedaan agama.

Selain membatasi laju imigran dari tujuh negara Muslim, diketahui pula bahwa Trump juga berniat memberi prioritas bagi pengungsi Kristen dari Suriah. Jika negara harus memberikan pengecualian pada umat agama tertentu, maka hal ini adalah pelanggaran konstitusi yang nyaris sempurna.

Dalam ideologi negara Pancasila, relasi negara dengan agama juga kerapkali terperangkap ke dalam seperangkat hukum agama yang menjelma menjadi hukum positif. Di negara Indonesia, relasi antara negara dan agama semakin diperparah dengan terjerumusnya negara jauh ke dalam lubang-lubang inkonstitusional yang sepertinya tak berujung.

Beberapa diantaranya adalah larangan untuk pemimpin daerah yang beragama Non-Muslim, serta munculnya beberapa Perda berlabel Syariat yang kemudian masuk dan mengintervensi warga negara melalui UU Otonomi Daerah.

Perlu dipahami bahwa, di dalam UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman seluruh rakyat Indonesia. Berbeda dengan negara Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam.

Sekali lagi, negara Indonesia bukanlah merupakan negara Islam. Negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberadaan agama Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, selain agama Islam. Di mata negara, kedudukan semua pemeluk agama sama dan mempunyai hak yang setara, termasuk hak untuk memilih dan hak dipilih.

Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1, yang secara sah dan meyakinkan menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal 28 D Ayat 3 yang juga menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Demikian pun halnya dengan kebebasan beragama. Meskipun secara Konstitusi (UUD 45), kebebasan beragama sudah sangat jelas ditegaskan dalam Pasal 29—negara menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agama—namun pada level praksis, negara Indonesia sepertinya masih terkungkung dalam kehidupan beragama yang masih sebatas prosedural semata, dan bukan subtansial.

Berbagai konflik horisontal yang pernah terjadi di Maluku dan Poso, juga kasus pemboman gereja-gereja, hingga berujung pada tragedi pemberhentian ibadah Natal di daerah Sabuga-Bandung pada tanggal 6 Desember 2016, sesungguhnya menegaskan bahwa nilai-nilai luhur kehidupan beragama di medan merdeka ini tidak dikembangkan dalam sikap dan pengalaman hidup yang toleran terhadap kemajemukan (plural).

William James (1842-1910), seorang filsuf Amerika Serikat yang terkenal sebagai salah satu pendiri mazhab pragmatisme, menyatakan bahwa, agama adalah keyakinan tertentu yang merupakan tempat paling “hangat” dalam kepribadian manusia. Tempat itulah pusat kepribadian kita, sebab dari padanya kita hidup dan berkarya. Demi “set” keyakinan itu, kita melibatkan diri dengan segenap jiwa raga kita. Karenanya, James menyebut “set” keyakinan ini dalam kalimat: “the habitual centre of his personal energy".

Tentunya pada titik ini agama sebagai tempat terbentuknya kepribadian dalam keyakinan umat yang melibatkan dirinya secara total (segenap jiwa raga). Ini artinya bahwa, agama adalah urusan masing-masing individu dengan apa yang diyakininya secara total. Tidak ada campur tangan “yang lain” di luar diri manusia, yang mampu melibatkan diri secara total, selain dirinya sendiri. Setiap individu berhak atas apa yang diyakininya sebagai kebaikan dan kebenaran, sehingga melalui apapun yang diyakininya itu, maka ia mampu untuk hidup dan berkarya bagi kehidupannya dan orang lain .

Dalam melibatkan diri secara total, meminjam Vergote (1967) dalam karyanya “Godsdienstpsychologie”, bahwa agama itu bersifat komuniter. Agama harus dapat mempersatukan manusia dalam satu roh persaudaraan dengan orang lain. Sebab orang sebetulnya baru dapat menghadap Allah secara otentik, jika ia sanggup melibatkan orang lain pula dalam kehidupan pribadinya. Tidak mungkin menghadap Tuhan sendirian. Oleh karena itu, kepekaan seseorang terhadap “kepentingan komunitas” merupakan tolak ukur yang baik untuk menilai sikap beragama seseorang.

Jadi, agama secara individualistis adalah keterlibatan total (mental) seseorang terhadap apa yang diyakininya tanpa campur tangan (baca: intervensi) yang lain, demi untuk melibatkan dirinya secara total ke dalam kehidupan bersama yang jauh dari kekerasan, dan menjunjung tinggi toleransi.

“Agama bukan Negara! Negara bukan Agama!”, demikian judul artikel ini, yang sengaja saya angkat demi suatu transformasi kemajemukan yang lebih beradab dalam iklim kehidupan bangsa Indonesia yang sosiodemokrasi.

Ini penting! Karena mengingat kedudukan amandemen UUD 1945 yang akhir-akhir ini seakan mulai terusik oleh serpihan ciutan “Piagam Jakarta” yang kerapkali dikumandangkan segelintir orang dalam kelompok radikal yang mencoba membentuk sebuah “quasi-agama” (baca: negara agama) di Republik tercinta ini.

Sekali lagi, mari kita katakan bersama-sama bahwa: “Agama bukan negara! Negara bukan agama!”.

Akhirulkalam, kiranya melalui goresan ini kita akan semakin menjauhkan dari fenomena makhluk beragama yang getol memuaskan hasrat kekanak-kanakkan melalui dan mengatasnamakan agama.

Sehingga apa yang pernah diragukan sang psikoanalisis, Sigmund Freud, tentang sebuah agama ilusi dengan seperangkat gangguan syarafnya, tidak dengan serta-mertanya terwujud dalam kehidupan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.

Salam Wassalam. Hormat di Bri...

****
Dalam derasnya hujan di malam hari,
Kota Kupang, awal Februari, 2017
Oleh: Abdy Busthan

Tulisan ini di ambil dari Buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
Penulis: Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd
ISBN: 978-602-6487-05-6